Haru

13 1 1
                                    

Sudah lebih dari 8 jam pasca operasi itu di lakukan, tetapi twins sama sekali belum ada tanda-tanda akan sadar, hal ini kembali membuat mereka semua dilanda rasa khawatir. mereka bahkan melupakan makan siangnya, melupakan makan malamnya, untuk menunggu mereka sadar. Hanya air mineral, itupun harus di paksa untuk Dava, Nayla dan Kakek. Mereka bertiga terlalu keras kepala untuk diminta mengisi perutnya.

"Ini sudah hampir jam 10 malam Nis, kenapa mereka belum sadar?" Ujar Dava pada Dokter Anisa yang duduk di salah satu bangku ruang tunggu di depan Ruangan twins.

"Dokter dan perawat sudah melakukan segala cara untuk membuat kesadaran mereka kembali, Dav" jawab dokter Anisa. Ia juga merasa tidak enak hati dengan situasi ini. Tetapi Anisa tidak bisa berbuat banyak.

"Lalu mereka menyerah?" Tanya Dava Sarkas.

Alan mendekat lantas berusaha menenangkan Dava.

"Kita masih punya satu alternatif lain Dav, dan ini adalah cara terakhir yang bisa kita lakukan." Ujar Anisa, sedikit frustasi namun yakin dengan keputusan ini. "salah satu diantara kalian boleh masuk lalu mengajaknya bicara. Ingatkan memori indah kalian, tapi Orangnya harus tepat untuk membantu mengembalikan kesadaran twins" ujar Dokter Anisa.

Semua orang saling memandang lalu menyorot ke arah Zia. Zia yang paham bahwa ia yang harus masuk menganggukkan kepalanya dan meminta izin. Selain dirinya, tidak ada yang masuk sebelumnya, dan Mereka semua berharap banyak dari Zia.

Zia menatap satu persatu mata orang yang ada di sini, semuanya terlihat menggantungkan harapan pada Zia. Sebelum masuk, Zia memeluk papa Dava, Mama Nayla lalu kakek,  tanpa kata lalu melangkah masuk. Berhenti di depan stand suster lalu memakai baju steril dan diantar ke tempat kedua kakaknya berada.

Zia duduk diantara keduanya, memandang pilu pada wajah dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Ia tersenyum tipis sebelum menyentuh tangan keduanya yang bebas peralatan kesehatan.

"Hai kak, gimana keadaan kalian? Semua orang menunggu kalian di luar. Mama dan papa sama Khawatirnya, mereka tadi bahkan menangisi kalian. Mereka menunggu kalian sadar." Ujar Zia di awal. Ia menyeka air matanya lalu menampilkan senyum manisnya pada kedua kakaknya. "Kakek tadi histeris banget, maaf karena harus ngadu ke kalian. Ku pikir kalian akan menyalahkan ku jika terjadi sesuatu pada Kakek tapi kalian tidak ku beri tahu." Zia kembali memberi jeda. Ia kembali menyeka air matanya. "Kak Aruna, kamu tahu? Kamu sudah berhasil donorin satu ginjalmu untuk kak Aruni, setelah kalian sadar, kak Aruni akan hidup selayaknya manusia normal. Operasi kalian berhasil kata dokter. Tapi---" Zia menggantung kalimatnya akibat desakan air mata yang tak bisa ia tahan. Zia menangis tersedu di depan kedua kakaknya. Jika seandainya mereka berdua sadar, Zia pasti akan di Katai cengeng dan ditertawakan oleh mereka.

"Kak, banyak yang menunggu kalian sadar, di Indonesia ada Eza yang menunggu kabar kalian, dia sangat khawatir kak"

Lalu terbersit di pikiran Zia untuk melakukan sesuatu, Zia menghapus air matanya lalu berdiri, berjalan cepat ke arah nurse station lalu berbicara kepada suster penjaga, usul Zia di setujui, lalu Zia kembali berjalan ke arah Brangkar kakaknya.

*

Semua pergerakan Zia di dalam sana tak lepas dari pantauan mereka yang ada di luar, Benua bahkan mengerutkan kening saat melihat Zia berbicara dengan suster lalu kembali ke arah Brangkar.

Zia mengeluarkan ponselnya, lalu mendial nomor seseorang yang ia harap bisa membantunya, Zia harap dia belum Terlelap sehingga Bisa terhubung dengannya, Waktunya kurang dari satu jam untuk membuat kakaknya sadar.

Panggilannya tersambung, orang di balik ponselnya terpekik kecil saat melihat apa yang Zia perlihatkan di layar.

"Za, gue lagi sama mereka. Gue di percaya untuk bisa membuat mereka sadar, tapi sejauh yang gue lakukan, tidak ada yang berubah di layar EKG," ujar Zia.

Keputusan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang