Kak Shafana-ku

38 2 0
                                    

Tiga Hari berlalu sejak kejadian salah paham antara Aruna, Eza, Daniel, Alfi dan Benua. Dua hari ini pula Aruna tidak pernah melihat Abangnya ada di rumah. Beda dengan Sekretarisnya yang tetap stay di rumahnya, menunggu perintah Benua yang tak kunjung memberi perintah. Hari Jumat sore ini, keluarga kembali berkumpul di taman belakang, seperti  biasanya. Mama Nayla akan menyediakan sepiring cake dan cangkir tea untuk mereka nikmati. Namun sore ini rasanya sedikit berbeda, sebab ada Shafana di tengah-tengah mereka. Shafana yang dengan senang hati menuang teh ke cangkir kakek, Melayani Papa Dava, Menegur papa Alan jika terlalu banyak makan gula dan memuji Mama Nayla karena cake-nya yang terlalu enak.

Shafana begitu telaten mengurus semua orang, Shafana begitu Pintar menanggapi setiap ucapan dan pertanyaan dari siapa saja yang ada disana, baik itu tentang perusahaan maupun pengetahuan umum. Shafana rasanya sangat pas jika benar-benar bergabung  dengan mereka.

"Zayn, mau nambah cake boleh mam?" Tanya anak laki-laki kecil yang sering menjadi bahan kejahilan kakak-kakaknya. Anggap saja dia adalah bungsu di keluarga ini. Adiknya Zia, anaknya Alan dan Meiysa.

"Zayn nanti perutnya tambah gendut. Stop makan kue!" Titah Zia

Adiknya itu nampak mengerucutkan bibirnya sembari pura-pura ngambek.

"Satu aja mam, boleh yah?" Ujarnya sedikit memohon, menatap Nayla agar diberi izin.

"Zayn, mama gak ada disini yah, jangan memaksa mama Nay menuruti semua keinginanmu" ujar Zia kembali.

"Satu aja kak, abis ini aku mandi deh, lalu belajar. Janji" katanya merayu kakaknya. Namun Zia tetap pada pendiriannya.

Lalu Shafana tersenyum, berdiri dari kursinya lalu mengambil sepotong cake di piringnya. Ia memberikannya pada Zayn lalu tersenyum.

"Untukmu" katanya.

Zayn begitu bahagia menerima sepotong kue coklat itu dari Shafana. Ia tersenyum pada mama Nayla dan papa Dava, lalu menjulurkan lidahnya pada kakaknya, Zia.

"Terima kasih kakak." Katanya lalu berlari meninggalkan kehangatan keluarga ini. Zayn masih kecil untuk memahaminya. Zayn mungkin saat ini hanya tahu tentang bermain dan bermain saja.

Shafana kembali duduk dan kembali bergabung dengan obrolan papa Dava dan Kakek mengenai harga saham yang naik turun bulan ini.

"Oh iya, kemarin malam ada yang pulang dari supermarket jam 11 malam yah." Celetuk Kakek yang membuat Aruna dan Zia seketika menegang di tempatnya. Padahal kakek mengatakannya dengan senyum paling manis di bibirnya.

"Siapa Pah?" Tanya Nayla

"Cucuku. Aruna dan Zia." Akunya jujur.

Aruna dan Zia Beridiri dari tempat duduknya seraya mendekat pada Papa, bersiap menerima hukumannya. Seperti biasa. Sedangkan Aruni sedikit meringis karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Zia dan Aruna.

"Kenapa sampai malam banget sampainya sayang?" Tanya Dava tak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Ada beberapa notifikasi yang masuk.

"Agak macet Pah. Dan kemarin juga Zia minta sama kakak buat nyetir Range Rover-nya, makanya agak lama." Katanya berbohong.

"Supermarketnya yang mana emang? Di luar kompleks kah?" Tanya Nayla, santai. Ia yang duduk di sebelah papa Dava justru mengarahkan pandangannya pada suaminya yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Di Sudirman mah." Jawab Aruna.

"Nyari apa emang sampai jauh begitu" tanya papa Lagi.

Aruna Menghelah napas pelan lalu kembali menjawab. "Aku nyari ehhm--- aku nyari---" katanya agak gugup. Karena jika ia ketahuan berbohong maka semuanya akan dapat hukuman. Aruna tidak ingin kesalahannya berimbas pada orang lain lagi.

Keputusan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang