LovePedia (12)

15 1 0
                                    

Aruna melangkah gontai masuk ke dalam rumah, mengucap salam yang langsung di jawab oleh Shafana. Wanita itu baru saja menuruni tangga dengan sebuah mug di tangannya. Mungkin mau ke dapur mengambil air minum atau Shafana sedang menikmati jus kesukaannya. Aruna tersenyum padanya, hendak melewatinya namun Shafana dengan semua kepekaan yang ia miliki justru menahan lengan Aruna di anak tangga paling bawah.

"Kamu sepertinya sedang tidak baik-baik saja, Aruna" tebak Shafana yang sialnya justru membuat Aruna menghelah napas.
"Mau bicara sama kakak?" Ujarnya menawarkan diri.

Aruna menggeleng lalu tersenyum. Hendak berlalu lagi.

"Kamu gak akan melakukan hal kayak kemarin kan? Di rumah hanya ada kakak dan maMey di kamarnya." Ujar Shafana Parno, kembali mengingat pada saat dimana Aruna terjun dari lantai dua rumah ini. Aruna kembali tersenyum lalu menggeleng. Ia terlihat menghelah napas lalu menyerah pada Shafana. Aruna membimbing Shafana kembali ke atas lalu masuk ke kamar Benua Dan Shafana.

"Jadi sudah siap cerita?" Tanya Shafana lagi.

Aruna meraih gelas di tangan Shafana lalu meminumnya. Tidak ada pilihan lain, Aruna memang butuh teman bicara sekarang. Tentang perasaannya, tentang egonya, tentang semua yang terjadi belakangan ini padanya.

"Aku---" ujarnya terpotong. Tenggorokannya serasa tercekat.

Shafana mengusap punggung adik iparnya lalu memegang erat sebelah tangannya, berusaha menyalurkan kekuatan padanya.

"Pelan-pelan Aruna" ujar Shafana.

Aruna menghelah napas berat lalu menyandarkan kepalanya di pundak kakak iparnya. Mengambil sedikit waktu untuk menikmati lebih dalam rasa yang membuncah di dadanya.

"Aku rasanya tidak seperti diri ku biasanya kak, aku merasa aneh pada diriku sendiri. Aku merasa muak pada keadaan, pada semua orang yang ku rasa akan merebut kebahagiaan ku, pada mereka yang bersikap manis tapi seolah busuk di pikiranku. Pada semua yang berpotensi merusak hal yang sudah ku jaga dengan baik selama ini. Aku kesal, aku marah, tapi aku sendiri tidak tahu kenapa aku bersikap seperti ini. Aku gak tau kak, aku gak seperti diriku yang dulu" ujarnya meluapkan emosi.

Shafana menghelah napas. Adik iparnya sedang tidak percaya diri. Shafana juga paham bahwa hal yang dialami Aruna ini adalah sebuah hal yang wajar bagi remaja seusianya. Yang masih labil, yang kadang masih sembrono, juga belum bisa mengambil keputusan sendiri.

"Kamu merasakan ini saat seseorang mengerjai Aruni atau Zia?"

Aruna menggeleng. "Tidak ada lagi orang yang berani mengerjai adik-adik." Katanya.

"Kamu merasakan hal aneh itu saat orang lain berusaha masuk di persahabatan kalian?"

Aruna mengangguk, tapi sedikit ada keraguan di dalamnya.

"Kamu merasakan hal itu ketika seseorang mendekati Eza?"

Aruna kembali mengangguk, kali ini lebih dari sekedar yakin.

"Dia tidak melakukan apapun yang merugikan kak, dia tidak melakukan hal buruk pada persahabatan kami, tapi aku selalu tidak tenang kalau ada dia. Selalu merasa tidak nyaman kalau dia dekat-dekat dengan kami."

"Dia menyukai Eza?" Tanya Shafana tepat sasaran.

Aruna mengangguk ragu.

"Aku pernah melihatnya merajuk pada Eza, tapi Eza hanya menanggapinya tak acuh. Saat itu aku marah pada Eza, hal yang seharusnya tidak ku lakukan sebab bukan Eza yang memulainya. Dan hari ini aku bahkan tidak bisa mengartikan perasaanku. Aku merasakan marah, kesal tetapi ku tunjukkan dengan sikap tenang. Aku diam saja bahkan ketika di depan mataku, aku melihat dia dan Eza sedang duduk bersama membicarakan rencana Reuni mereka. Aku marah tapi aku tidak sanggup mengekpresikannya. Aku gak tahu kak." Aruna mengusap air matanya. Iya, kali ini ia Menangis di hadapan Shafana.

Keputusan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang