6

122K 9.4K 120
                                    

Lets read all!!!

Jangan lupa Vote dulu biar semangat nulis!!! Maksa!!!

***

Aku menghela nafasku.

"Tapi kok aneh ya. Selama ini lo kayanya belum pernah ngewawancara orang-orang macem gitu. Tapi kenapa tiba-tiba lo di pilih sama bu Vika untuk wawancara G.A. Dan satu bulan kemudian, wich is hari ini lo tiba-tiba di kontak Samuel hanya untuk ngewawancara dia lagi?"

Aku menarik nafasku, kemudian menghembuskannya lagi dengan perlahan. Berusaha keras agar amukanku tidak keluar pada Serena yang sedari tadi membicarakan Geralt dan Samuel.

"Eh. Sebetulnya dari awal juga udah aneh si. Lo tiba-tiba bisa dapet beritanya si G.A secara lo kan-"

"Ren." Tegurku pelan

Serena yang sedang merapihkan beberapa alat perekam menoleh ke arahku "ya?"

"Bisa gak, lo berhenti buat nanya-nanya segala macem?"

"Loh kenapa?"

"Gw hanya punya waktu setengah jam untuk menemui Samuel di Serasa Kantin, dan lo tahu kan, kalau Selatan udah sore gini macet?"

"Oh, sorry-sorry," kata Serena sedikit canggung. Dan kembali membantuku merapikan kamera dan alat perekam.

Aku menghela nafasku pelan, tak bermaksud sama sekali untuk membuat Serena merasa tidak enak karena menanyaiku ini itu.

"Ren," panggilku

"Hmm..." Gumamnya.

"Nanti malam gw cerita. Janji," kataku, sebelum aku mencium kepalanya kemudian melenggang pergi, menemui pak Sardi dan berangkat ke Serasa Kantin.

***

"Mas Samuel," panggilku ketika aku mendorong pintu kayu, Serasa Kantin. Tidak susah menemui laki-laki itu. Saat ku buka pintu, wajah rupawanya langsung terlihat, silau seakan-akan langsung menyentak mataku.

Biasa, aura artis memang begitu.

Samuel mengangkat kepalanya dari ponsel yang sedang ia mainkan, kemudian melambai ke arahku.

Jujur, baru kali ini, dalam sejarah dua tahunku bekerja sebagai wartawan. Aku di telfon dan membuat janji temu secara langsung oleh artis yang hendak ku wawancarai. Dan hal itu hanya di lakukan oleh Samuel Handoko.

"Maaf mas, lama tadi-"

"Macet," kata Samuel memotong perkataanku seraya tersenyum "iya paham. Duduk dulu Mbak Jovelyn,"

Aku tersenyum canggung. Dan berguman terimakasih atas kemakluman ketelanku. Kemudian aku mengambil duduk di sebrang meja, tepat di hadapan Samuel Handoko.

"Jadi mbak Jovelyn, apa kabar?" Tanya Samuel.

"Jovie saja. Baik Mas, Kalau sakit saya ada di rumah sakit sekarang," kataku dengan nada bergurau

Samuel terkekeh "Benar. Kalau gitu Mau pesen apa?"

"Oh, enggak usah, Mas. Kita langsung wawancara aja, takut buang-buang waktunya mas Samuel,"

"Begitu, okedeh. Ngomong-ngomong, jangan panggil Mas, Sam aja biar akrab," kata Samuel

"Oh, oke," kataku dengan sedikit bingung.

Pasalnya, laki-laki ini benar-benar aneh, bukan aneh ke arah yang buruk, namun aneh ke arah yang lucu. Bukan, bukan aneh, mungkin kata Unik lebih cocok untuk pengganbaran Samuel.

Seperti kataku tadi, dia menjadwalkan sendiri wawancaranya, yang itu benar-benar terasa aneh. Yang kedua dia begitu amat sangat ramah. Dari mulai menanyakan kabar, hingga menyuruhku memanggilnya Sam.

Sangat memungkinkan juga itu hanya basa-basi.

Tapi, kalau di fikir-fikir, Mana ada artis yang meminta di panggil dengan nama akrabnya sendiri.

"Jadi. Pertanyaan pertama, Jovie," katanya, dan wawancara panjang kamipun di mulai.

***

Wawancaraku berakhir sangat lama. Bahkan pak Sardi sampai meminta izin pulang terlebih dahulu karena sudah terlalu larut.

Aku tak menyalahkan pak Sardi. Sejujurnya salahku juga karena tidak datang tepat waktu. Mungkin jika tadi aku berangkat agak siang aku sudah berada di rumah sembari rebahan di kasur sekarang.

"Pulang naik apa?" Tanya Samuel, yang tiba-tiba berdiri di sampingku.

"Naik taksi online," kataku sembari tersenyum sopan.

Samuel mengkerutkan keningnya "taksi online? Ini udah malem loh. Bahaya,"

"Tenang aja. Saya udah biasa kok, namanya juga wartawan, kadang-kadang malah saya gak pulang,"

"Hah?" Kata Samuel sembari memasang wajah terkejut.

"Ah, yang bener? Terus kalo gak pulang tidur dimana?"

Aku terkekeh "dimana-mana, di kantor, di lokasi shooting, paling sering tidur di mobil,"

Samuel menggelengkan kepalanya "bahaya banget pekerjaan kamu,"

"Ya gitu, namanya juga kerja, pasti banyak tantangan dan resiko yang harus di ambil,"

Samuel mengangguk-anggukan kepalanya "Terus sekarang udah dapet taksinya?"

Aku berdecak setelah melihat ponselku yang masih menampilkan gambar lingkaran berputar "belum. Emang suka gitu kalo udah malem, rada susah. Apalagi rumah saya jauh,"

"Mau saya anter aja?" Tawar Samuel.

Eh? Gimana?

"Bentaran paling juga dapet taksinya," tolakku sehalus mungkin.

"Oke, saya tungguin sampai dapet,"

Eh? Buat yang kedua kalinya.

"Gak papa, Sam?"

Samuel mengaggukan kepalanya. Kemudian laki-laki itu merogoh kantungnya dan mengeluarkan sekotak rokok. Ia menyodorkannya kepadaku, menawariku sebatang rokok.

Dan aku? Menerimannya tentu saja.

Asap rokok yang kuhisap, menghantam keras paru-paruku. Membuatku sejenak melupakan bahwa sekarang aku sedang bersama seseorang yang asing di sampingku. Mengesampingkan fakta jika seharusnya aku tidak merokok.

Tak berselang lama, mobil sedan berwarna putih menepi dan memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu Serasa Kantin. Dan wanita paruh baya dengan baju gemerlapnya keluar dari sana dengan tergesah-gesah.

Ku tebak, pasti dia pemilik restorannya. Dapat dilihat bagaimana dia berinteraksi dengan akrab, dengan sekuriti di sini.

Saat melintasi kami, ia sempat berhenti untuk beberapa detik. Memandangi lalu kemudian kembali bergegas kedalam.

Mungkin dia heran kenapa ada dua orang yang dengan seenaknya merokok di depan restoran miliknya di saat restorannya sudah bersiap-siap untuk tutup. Tetapi karena ia sedang terburu-buru, ia tak menghiraukan kami dan kemabali tergesah-gesah masuk ke dalam

Toh, aku juga bukannya ingin berlama-lama di sini, kan?.

Sekitar sepuluh menit kemudian, dengan keadaan, aku masih belum mendapatkan taksi online. Beberapa mobil lain datang, dan ikut memarkirkannya di sekitar restoran. Tiga mobil berwarna hitam. Setelahnya beberapa orang keluar dari masing-masing mobil itu.

"Udah, saya antar pulang aja. Sumpah saya bukan orang jahat, kalau kamu gak percaya, kamu boleh telfonan sepanjang jalan nanti sama temen atau keluarga kamu,"

Aku menoleh ke arah Samuel "Apa gak ngerepotin?" Tanyaku.

"Jovie," panggil seseorang.

Bukan, bukan Samuel. Melainkan suara laki-laki yang belum lama ini kukenal.

Aku menolehkan kepalaku cepat ke arah asal suara. Begitu terkejut ketika menemukan Geralt di depanku, lengkap dengan beberapa Bodyguardnya.

"Geralt,"

MalfeliĉaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang