Happy reading all.
I'm sending you all my love from here. 😘
***
Aku berdiri tegap.
"Saya gak bisa pak!"
Pak Beni berdecak kencang dengan kedua tangan bertengger di kedua pinggangnya. Ia berjalan mendekat ke arahku kemudian matanya ia buka lebar-lebar.
Pak Beni marah besar.
"Jovelyn. Ini bukan main-main! Udah tanggung jawab lo untuk meliput berita apapun yang harus di liput. Lo gak bisa seenaknya aja nolak dengan alasan ini-itu. Mana tanggung jawab lo?! Udah bosen kerja di sini?"
Aku menghembuskan nafasku panjang. Berusaha keras agar tak ikut tersulut dengan amukan pak Beni.
"Bukan gitu, pak. Saya-"
"Bapak gak perduli Jov. Mau lo kenapa kek, atau apa kek. Yang penting itu, liputan lo ada! Bisa di kasih ke pihak editing supaya bisa terbit. Udah berpuluh kali lo nolak meliput berita kaya gini, dan kali ini lo udah gak bisa mangkir lagi!"
"Iya, pak. Tapi-"
"Bukan cuman kamu yang terancam di sini, temen-temen kamu, staf editing, bapak juga bakal kena sangsi dari bu Vika. Tanggung jawab Jov. Nama lo ada di sana, bukan Dirga, bukan juga Serena,"
"Pak."
Pak Beni mengangkat sebelah tangannya ke atas. Mengintruksikanku agar aku tidak menjawabnya lagi.
"Udah. Bapak gak perduli, pokoknya dalam dua hari. Laporan mengenai itu harus sudah kamu serahin ke pihak editing!"
***
Aku menarik nafasku panjang.
Sudah enam bulan, tepatnya enam bulan dua belas hari. Aku berhasil mencocokan jadwalku agar aku tidak bertemu dengan laki-laki itu.
Harapanku. tidak bertemu dengannya, sama dengan melupakan eksistensinya. Tetapi aku salah besar. Setiap hari, setiap jam, aku harus terus memikirkannya, mencocokan jadawalku agar aku tidak bertemu dengannya.
Dan itu berhasil. Aku sama sekali tidak bertemu dengannya selama kurun enam bulan itu. Aku mangkir dari acara keluarga, aku menolak ajakan jalan dari sepupu-sepupuku. Di tambah, aku harus mengorbankan diriku untuk di marahi pak Beni setiap kali aku menolak meliput dengan alasan maca-macam.
Sangat lelah. Harusnya aku tolak saja permintaannya malam itu. Tidak ada untungnya bagiku sama sekali.
Enam bulan aku berhasil menghindarinya. Enam bulan pula aku berusaha keras agar aku tidak di pecat dari pekerjaanku karena sering mangkir.
Tetapi hari ini. Di pusat kota, di tengah-tengah jalan protokol. Aku sudah tidak bisa mangkir lagi dari pekerjaanku. Tidak bisa lagi menepati janjiku.
Aku menarik nafasku panjang, mendongak menatap ujung gedung enam puluh lantai di hadapanku, kemudian menghembuskan nafasku keras.
Tulisan 'Widjaya Tower' tertulis besar-besar di sana.
Aku memejamkan mataku. Perkataan pak Beni tadi pagi terngiang-ngiang di kepalaku.
"Lo sudah bosan kerja di sini?"
"Mana tanggung jawab lo,"
Aku menjambak rambutku frustasi.
Masa bodo. Mau tidak mau, suka tidak suka. Aku harus meliputnya hari ini. Meliput peresmian gedung barunya itu. Lagian dari segitu banyak wartawan, tidak mungkin dia bisa menemukanku kan? Satu banding seribu, kemungkinannya. Atau seratus? Atau sepuluh?
KAMU SEDANG MEMBACA
Malfeliĉa
Romance(COMPLETED) . . Lucu. Takdir seakan sengaja menaruhku -yang tidak ada apa-apanya sama sekali, di tengah-tengah orang-orang super sempurna, seperti keluargaku yang lainnya. Dan membuat serangkaian kejadian yang membuatku semakin merasa tidak di butuh...