"Jovie, apa kabar?"
tanya Laura Marsudi, ketika aku mengajaknya untuk mengobrol di kursi taman belakang.
Bukannya bermaksud tidak sopan. Hanya saja kalau kita berbicara di dalam, aku takut semua keluargaku dengar dan, malah terjadi salah faham. Masalahnya, aku sudah malas untuk menjelaskan semuanya lagi kepada ibu ataupun saudaraku.
Aku tersenyum "baik," kataku "mama tau dari mana aku tinggal di sini?"
"Apakah menyeramkan kalau aku bilang, sedari awal kamu memesan tiket pesawat, keluarga Widjaya, sudah tau apa yang kamu lakukan? Bukan hal yang sulit untuk mencari keberadaan orang di keluarga itu,"
Aku mendengus sembari tersenyum kecil. Menhingat bagaimana berkuasanya keluarga itu. Kemudian aku menggelengkan kepalaku samar.
Aku menatap Laura "Mama apa kabar?"
Laura menghembusakan nafasnya seraya tangannya menggenggam tanganku "Jovie..." Panggilnya. Sembari menatapku dengan mata yang mengingatkanku dengan...
Stop! Jangan berfikir lagi Jovie. Kamu bisa Gila, kalau bayangan laki-laki itu terlintas di otak kamu lagi.
Aku mengulum bibirku kedalam, kemudian menghembuskan nafasku panjang. Bukannya sok tahu, tapi sepertinya aku paham dengan hal apa yaang akan di bicarakan oleh Laura.
"Geralt-"
"Mama," selakku "aku tidak mau membicarakan itu," kataku, mendahului, sebelum wanita cantik yang masih terlihat segar, di usianya yang sudah tidak muda itu berbicara. Kemudian aku tersenyum.
Laura membalas senyumku kemudian ia memejamkan matanya sembari menarik nafasnya panjang.
Untuk beberapa saat, yang dia lakukan hanyalah terdiam sembari menggenggam tanganku. Ia seakan sedang menahan sesuatu di dalam dirinya. Aku menarik nafasku sedikit sesak, ketika melihat bagaimana perempuan ini terlihat sedikit kacau.
Apa yang terjadi dengannya?
Tak berselang lama, perempuam itu membuka matanya, aku bisa melihat kalau matanya sudah berair.
"Mama..." Panggilku, tercekat.
Laura menggeleng dan tersenyum lagi "aku senang bisa melihat kamu lagi," katanya, terdengar sangat tulus.
"Aku juga senang," balasku, sedikit ketar-ketir. Masalahnya, perempuan ini sedang menangis di hadapanku.
"Aku benar-benar senang Jovie. Kamu tidak tahu sebagaimana leganya aku ketika aku bisa melihat kamu berdiri dengan sehat," katanya.
Aku tersenyum, tetapi alisku juga berkerut "Mama, aku bukannya tidak sopan. Tapi aku tidak bisa-"
"Can't i at least, talk to you about everything? Semua hal ini membuat aku tidak bisa bernafas," katanya terdengar menyedihkan.
Aku yang tidak tega melihat perempuan paruh baya ini terlihat menyedihkan seperti itu, akhirnya menganggukan kepalaku.
"Ada apa Mama?" Tanyaku.
Laura Marsudia menghembuskan nafasnya lega, tapi kemudian ia memejamkan matanya lagi "He's lost,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Malfeliĉa
Romance(COMPLETED) . . Lucu. Takdir seakan sengaja menaruhku -yang tidak ada apa-apanya sama sekali, di tengah-tengah orang-orang super sempurna, seperti keluargaku yang lainnya. Dan membuat serangkaian kejadian yang membuatku semakin merasa tidak di butuh...