Dear no one...
Bolehkah aku bertanya?
Bertanya kepadamu, tentang segala hal yang terjadi belakang ini kepadaku?
Bertanya tentang, apa rencana tuhan, hingga ia membuatku seperti ini?
Bertanya tentang keputusanku ini. Bertanya, apakah sudah benar aku berlari menjauh dan meninggalkan semua hal?
Atau apakah seharusnya aku tetap bertahan dan menunggunya? Karena sejujurnya, setelah aku lari, bukannya merasa baik, aku malah merasa semakin aneh. Bohong waktu aku bilang aku akan baik-baik saja setelah aku berlari.
Karena sejujurnya aku tidak.
Tapi, seandainya waktu itu aku tetap bertahan. Apakah aku sanggup? Terbelenggu dengan ketidak pastian laki-laki itu.
Sudah hampir tiga minggu aku melarikan diri ke rumah ibuku, dan berkat bantuan Dokter David, aku bisa mendapatkan tiket pesawat dengan penerbangan pertama waktu itu. dan sudah hampir tiga minggu pula semenjak hari pertama di mana aku datang ke rumah ini dan memeluk ibuku dengan erat, berharap semua kegundahan hatiku ini terangkat.
"Kak lo tuh sadar kan kalo lo jelek banget bengong begitu." Ejek Cavero adikku yang kedua.
Vero menggeleng dan berkata lagi dengan muka nista "jangan berani-berani lo ngayal muka lo berasa mirip Lilly Colins yang lagi menatap keluar jendela,"
Aku tahu, kalau barusan Vero hanya bergurau. Namun rasanya, Gurauan Vero barusan memang benar adanya.
Aku jelek. Tidak menarik. Dan bahkan sekarang aku sudah tidak punya satu halpun lagi yang bisa ku banggakan. Aku sudah rusak.
Aku menoleh ke arahnya kemudian menganggukan kepalaku "tau,"
Vero memundurkan kepalanya terlihat sedikit terkejut, wajahnya tampak konyol ketika dagunya ia tekan kebelakang "lo sadar?"
Aku mengangguk lagi "iya, gw jelek Vero,"
Vero membuka mulutnya besar, ia sempat terdiam beberapa saat kemudian laki-laki berumur dua puluh tahun itu berteriak dengan kencang
"YA TUHAN! JAVIER!!!!" Jeritnya, memanggil nama saudara kembarnya.
Aku mengalihkan pandangku dari adikku kemudian kembali menatap ke arah luar jendela lagi. Bersikap masa bodo dengan apapun yang hendak anak itu lakukan dengan saudara kembarnya.
"JAVIER!!" Pekik Vero lagi.
"APAAN!" Kata Havi dari lantai atas.
"KAKAK LO, VI! KAKAK LO!" Kata Vero.
Terdengar suara langkah kaki terburu-buru dari arah tangga. Havi mungkin sedang tergesah untuk turun karena di panggil oleh Vero dengan begitu kencang. Mungkin ia berfikir terjadi sesuatu kepadaku, makanya ia berlari terburu seperti itu,
Maklum, rumah ibu tidak besar, hanya rumah sederhana yang sangat nyaman di tempati. Jadi apapun yang kami lakukan di sini pasti samar-samar bisa terdengar satu sama lain.
"Apa! Kak Jovie kenapa?" Tanya Havi sedikit panik.
Vero menutup mulutnya sembari menunjuku dramatis "kakak lo Vi."
"Kenapa?" Tanya Havi dengan nafas sedimit tersengsal.
"Masa tadi dia bilang kalau dia sadar dia jelek." Vero melotot sembari menarik nafasnya keras "Kakak lo waras Vi,"
Havi menarik nafasnya keras, kemudian ia menghembuskannya dengan sangat kencang "lo bener-bener ya Ver,"
Vero menggeleng "gila-gila, kabar baik gak sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Malfeliĉa
Romance(COMPLETED) . . Lucu. Takdir seakan sengaja menaruhku -yang tidak ada apa-apanya sama sekali, di tengah-tengah orang-orang super sempurna, seperti keluargaku yang lainnya. Dan membuat serangkaian kejadian yang membuatku semakin merasa tidak di butuh...