29. Doa Seorang Hamba

6.6K 1.2K 140
                                    

“Cerita ini fiktif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Cerita ini fiktif. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan”
© Story of “Surga di Balik Jeruji” by @NailaAfra
.
.
.
.
.
.
.
.

“Kutuliskan nama di pintu istana. Sebagai tanda, cintaku tak hanya pada dunia.”

***

“Kedengkian?” Alya tertarik.

Semua orang sekarang menaruh perhatian kepada Edy. Dengan siang yang tidak menampakkan terik dan angin dingin menyapa kulit. Suara dalam Edy berucap dengan berat, berkisah tentang hidup yang membuatnya mendekam di balik jeruji besi.

“Saya dulunya seorang pengusaha. Saya memulai usaha mebel bersama teman saya Satria. Kami cukup dekat dan kami saling mempercayai satu sama lain.”

Mata Edy menatap keranjang bambu yang lamban dibuat karena tangannya yang rematik.

“Usaha kami terbilang cukup sukses padahal baru beberapa tahun dirintis. Kami sudah mengekspor banyak membel keluar negeri. Saya berada di titik tertinggi. Memiliki segalanya dengan bergelimpangan harta. Tak ada yang tidak bisa saya beli. Sampai suatu hari teman saya Satria mengutarakan maksudnya untuk mendirikan usaha sendiri.” Bibir Edy membentuk senyum getir. “Ketika mendengar keinginan Satria waktu itu, saya setuju dan mendukungnya. Namun kemudian...”

“Kedengkian malah menyelimuti hati,” sambung Edy. Kedua tangan mengepal dan memutih. “Ketika saya melihat usaha Satria sebagai saingan. Ketika usaha Satria lebih unggul dan ternama. Dan ketika saya kehilangan pelanggan dan mereka beralih bekerjasama dengan Satria. Saya menumbuhkan rasa iri serta dengki. Mempersilakan ambisi menguasai diri.”

Jeda sejenak. Edy menarik napas panjang. Tidak ada satu orang pun berani menyela. Mereka menunggu.

“Saya menyuruh orang untuk melenyapkan Satria. Membakar perusahaannya dengan Satria di dalamnya. Dia meninggal dalam kobaran api. Terbenam oleh asap pekat. Hingga hanya tulang belulang yang dapat ditemukan kemudian.”

Edy melanjutkan dengan berat. Rasa bersalah serta malu tersirat begitu jelas. Dia meraih kalung salib yang melingkar di leher, menggenggamnya sebagai penenang diri.

“Karena kedengkian yang saya miliki membuat saya buta. Siapa pun yang menghalangi jalan saya, tersingkir dari dunia adalah pilihan yang saya tawarkan kepada mereka. Saya menerapkan hukum rimba di mana saya yang terkuat.” Edy mendengkus. “Sungguh, saya tak lebih hina daripada binatang.”

Edy mengambil bambu lagi untuk dirajut menjadi keranjang. Selama bercerita dia enggan memperlihatkan wajah. Terus merundukkan kepala.

Surga di Balik Jeruji | LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang