37. Hitam, Putih ataukah Abu-abu?

6.1K 1.1K 56
                                    

“Cerita ini fiktif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Cerita ini fiktif. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan”
© Story of “Surga di Balik Jeruji” by @NailaAfra
.
.
.
.
.
.
.
.

“Rencana yang cacat patut disingkirkan. Layaknya memotong bagian tubuh yang membusuk”

***

“Sepertinya ada yang merindukan saya ketika saya pergi!” Aceng mendengkus. “Pak Jaksa kenapa tidak sekalian saja Anda bergabung dengan saya ke penjara Nusakambangan,” ajaknya.

“Berani banget lo!” seru Sani geram. Dia hendak maju mencengkeram Aceng namun Farhan menahan.

“Tahan emosi San. Jangan biarkan tenaga lo terkuras demi sampah tak berguna ini,” ledek Farhan. Dia duduk bersandar di kursi, menyilangkan kaki serta kedua lengan.

“Benar! Kami bakal kangen sama lo! Mengingat lo bakal di kirim ke penjara Nusakambangan. Kita nggak bakal bertemu. Untuk bertahun-tahun lamanya.” Sudut bibir Farhan kanan tertarik, membentuk seringai dingin. “Hanya ada sedikit penyesalan. Kenapa gue nggak membuat lo mendapatkan hukuman seumur hidup. Gue pengen lo mati membusuk di sana.”

Aceng sama sekali tidak terganggu dengan perkataan Farhan. Dia menangkupkan kedua tangan yang telah terborgol dan diletakkan di atas meja. Dia mencodongkan tubuh ke depan.

“Lalu kenapa Anda masih mendatangi saya lagi? Bukannya saya sudah mendapatkan hukuman seperti yang kalian inginkan,” tanya Aceng. Dia juga menatap kepada dua orang yang berdiri di belakang Farhan. Pada Muhammad Sani dan juga Muhammad Halim. “Kalian bertiga mengharapkan apa lagi sama saya?”

“Sebuah kebenaran,” sahut Halim cepat. “Elo pasti menyembunyikan sesuatu. Gue yakin.”

“Halim! Sipir Arisuma yang terhormat. Lo paling mengenal gue banget. Tiap hari bertemu. Apa yang gue sembunyikan?” sahut Aceng seraya mengangkat bahu. Wajahnya begitu tenang. Walaupun disudutkan oleh tiga orang.

“Tentang elo dan Bahar Effendi, apa alasannya berkunjung ke lapas beberapa waktu lalu?” tanya Halim.

“Bukannya gue sudah bilang. Bahar cuma kenalan. Kami cuma teman. Wajarkan seorang teman mengunjungi temannya yang berada di dalam penjara?” Aceng memperlihatkan raut terluka. “Atau penjara ini juga membatasi dengan siapa gue berteman?”

“Aceng, gue juga kenal lo banget!” kata Sani, dia membungkuk sehingga wajah mereka berhadapan. “Lo pasti nggak lupa sama gue, kan? Gue adalah polisi yang menjebloskan elo ke dalam penjara.”

Aceng mengangguk. “Bagaimana bisa? Polisi Muhammad Sani yang pemberani.” Dia menyingsingkan lengan baju. Memperlihatkan guratan luka. “Peluru yang Anda tembakkan masih menjadi penghias di tubuh saya. Bekas lukanya akan terus saya ingat sampai mati.”

Surga di Balik Jeruji | LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang