64. Dua Puluh Tujuh

6.7K 1.2K 132
                                    

“Cerita ini fiktif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Cerita ini fiktif. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan”

© Story of “Surga di Balik Jeruji” by @NailaAfra
.
.
.
.
.
.
.
.

“Mungkin saja nanti hati kita akan seperti ini, saling berhadapan dan saling melihat. Tidak saling menatap kearah lain.”

***

Muhammad Sani tidak bisa menghentikan senyum yang terulas dari bibirnya. Peristiwa bersejarah terjadi beruntun hari ini. Bagaimana tidak, dua ambisi Muhammad Sani sebagai seorang polisi akhirnya terwujud.

Pertama dia berhasil menggerebek markas komplotan Aceng dan Raymond, butuh tiga tahun untuk melacak keberadaan markas yang selalu berpindah tempat dengan cepat. Hari ini dari mulut bosnya sendiri, Aceng, Sani mendapatkan lokasi markas tersebut.

Senyum Sani melebar, saat dia mengingat bagaimana polisi mengepung markas itu dan banyak komplotan dari Aceng yang mencoba melarikan diri. Meninggalkan pekerjaan mereka—mengepak narkoba dan judi ilegal yang bisa dijadikan sebagai bukti di lapangan. Dua puluh tiga orang tertangkap dan masih ada sembilan orang lagi dalam pengejaran. Sani bahkan tidak peduli kalau saat ini bosnya menggerutu karena sel di kantor kepolisian penuh kriminal karena ulahnya.

“Tinggal meratakan dengan tanah,” gumam Sani dan menganggukkan kepala.

Benar!

Setelah pengumpulan bukti dan reka kejadian selesai. Sani akan mengingat dalam otaknya akan membawa bulldozer dan menghancurkan tempat laknat itu.

Dan kedua.

Tentu saja Sani mendapatkan tangkapan besar hari ini, ikan yang sangat besar.

“Bahar Effendi!” seru Sani dengan girang dan memukul tinju ke udara.

Tingkah aneh dari Muhammad Sani menarik perhatian orang-orang, melirik bingung pada lelaki berseragam polisi yang berbicara dan tersenyum sendiri. Di lorong panjang rumah sakit, kehadirannya sudah mencolok di tambah lagi dengan tingkah lakunya.

Tapi Sani tidak peduli. Dia tidak bisa tidak tersenyum. Akhirnya dia bisa membuktikan pada orang-orang yang meragu kepada kinerjanya, bahwa dia bisa menangkap orang yang konon selalu dilindungi tirani terkuat di negeri ini.

Sani mendengkus. “Sekuat-kuat dan sebesar-besarnya kuasa manusia, tidak akan bisa menandingi kekuasaan Allah.”

Mata Sani beralih ke jendela-jendela di lorong yang memperlihatkan langit sore. Merah terang, tanpa ada awan. Sinarnya masuk tanpa terhalangi ke dalam rumah sakit.

Surga di Balik Jeruji | LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang