36. Pohon Perbatasan

6.1K 1.1K 95
                                    

“Cerita ini fiktif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Cerita ini fiktif. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan”
© Story of “Surga di Balik Jeruji” by @NailaAfra
.
.
.
.
.
.
.
.

“Akhirnya ada satu tempat di bumi ini yang kamu sebut dengan rumah”

***

Hujan turun dengan deras. Tidak mau kalah angin kencang pun membarengi. Tidak punya pilihan—daripada memaksa mobil kuno Abizar; Monalisa melaju di jalanan licin—mereka memilih menepikan mobil dan berteduh di sebuah saung bambu tak berpenghuni. Beratapkan rumbia. Terkadang tetesan hujan tak mampu tertahan, menyusup masuk dan membasahi kepala.

“Kayaknya bakal awet nih hujan! Apa kita lanjut jalan aja?” tawar Abizar. “Takut kemalaman kita pulangnya. Ini sudah jam setengah enam loh!”

Fitri meringis. “Sekarang? Enggak! mending gue cari penginapan daripada pulang naik Monalisa. Gue masih pengen berumur panjang,” tolaknya tegas.

“Terdampar di tempat ini bukannya romantis?” sela Keyla. Dia bicara ngawur. “Andai aja ada Kak Halim di sini. Pas banget kan kayak drama korea.”

“Romantis darimana?” sahut Alif kesal. Dia membersihkan kemeja yang terkena lumpur dengan tisu basah. “Yang ada kita terus kecipratan air gara-gara mobil lewat. Kemeja putih kesayangan gue…”

“Coba si Mona di-service Bi! Atau dijual aja deh. Mobil reyot masih dipelihara,” saran Fitri kejam. Menunjuk Monalisa yang terparkir di samping saung.

“Ih, Kakak Fitri! Ngomongnya sadis banget.” Abizar menatap cemas kepada Monalisa. “Kalo Mona ngambek, dia bakal mogok dan kita nggak bisa pulang. Tolong saling jaga perasaan.”

Bibir Keyla berkedut. “Emang mobil punya perasaan? Bi, mending lo cepatan cari jodoh. Gue takutnya lo benaran masuk rumah sakit jiwa.” Dia menganjurkan.

Suara ribuan rintik hujan yang turun dari langit dan menerpa tanah, memercik begitu indah layaknya simponi. Walaupun terdampar di tempat terpencil dan membuat mereka kesal, tapi ketika mereka disajikan kemerduan orkestra hujan di mana Allah sebagai komposernya, tetap senyum terukir di bibir. Sulit menampik. Hujan di kala senja adalah sajian terbaik sebelum langit menjemput malam.

“Gue penasaran dengan perkataan Kak Daffa.” Abizar mengungkit kembali tentang interview mereka tadi di lapas. “Siapa yang menjadi penyesalan terbesarnya. Apa yang membuat Daffa Raffan merasa bersalah dibandingkan ketika dia masukkan ke dalam penjara karena kasus pembunuhan.” Matanya menatap ke langit kelabu.

Lima pasang kaki menjuntai ke bawah, hampir menyentuh tanah yang tergenang air. Kaki dari Abizar, Alif, Alya, Fitri dan Keyla, mereka duduk di tepian saung sedangkan mata mereka tidak beralih dari hujan yang tidak lelah membasahi bumi.

Surga di Balik Jeruji | LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang