Jangan lupa vote yuk bantu author pemula ini berkembang, terima kasih.
Ada typo? Komentar ya makasih
Ratih, seorang gadis dengan wajah sederhana dan jiwa yang masih murni, sering kali menjadi sasaran eksploitasi oleh banyak orang.
Pondok Pesantren Qolby, sebuah tempat suci yang berlokasi di Jawa Barat, menjadi rumah barunya. Seiring berjalannya waktu, Ratih dibimbing dan diasuh oleh para guru di pondok pesantren tersebut.
Lima lembar uang merah menyala tergenggam erat di tangan kecil Ratih, cukup untuk satu bulan. "Ratih, ayo masuk. Kamu sekarang resmi menjadi santriwati," ajak seorang wanita, menuntun Ratih menuju kamar barunya.
"Ya Allah, betapa menyedihkannya nasib anak ini. Baru berusia segini dan hanya diberi uang sejumlah ini. Belum cukup untuk biaya pendaftaran, kitab, dan makan sehari-hari," batin seorang santriwati, menahan air matanya yang hendak jatuh.
"Mama mau kemana?" tanya Ratih dengan suara lirih, air mata mulai menggenang di matanya.
"Kamu akan tinggal di sini, belajar ilmu agama," jawab Mama.
"Aku rela, Ma. Aku bisa ngepel, masak, cuci baju, setrika, asalkan aku bisa pulang bersama Mama," ucap Ratih, air matanya kini jatuh membasahi pipinya.
"Kamu harus tetap di sini!" Mama menegaskan, wajahnya tampak kesal.
Mama melepaskan genggaman tangan Ratih dan pergi begitu saja, meninggalkan Ratih tanpa pelukan hangat.
"MAMA!" teriak Ratih, mengejar mobil yang dikendarai oleh kedua orang tuanya.
Ratih terjatuh, air matanya mengalir deras. "Bangun, sayang. Ayo masuk, kamu akan mendapatkan banyak teman di sini," ucap seorang santriwati berusia 18 tahun, menggendong Ratih menuju kamar barunya.
★✩★✩
Kamar Ratih berada di Blok F, dengan nomor tiga belas. Semua orang menatap Ratih dengan berbagai ekspresi, ada yang tajam, ada juga yang tersenyum.Ratih menangis tanpa henti, air matanya membasahi pipi. "Sudah, Neng, jangan menangis. Belajarlah untuk menjadi dewasa, tahanlah air matamu," ujar salah satu santriwati di kamar tersebut.
"Saya mondok di umur tujuh tahun dan tidak se-cengeng kamu," sindir seorang wanita berparas cantik.
"Hush, bicaramu terlalu keras. Dia baru saja menjadi santriwati, wajar jika dia menangis, apalagi dia baru berusia lima tahun," bela wanita cantik lainnya.
"Kenalan dulu ya, Nak. Ini Cantika, ini Raina, Fania, dan ini yang omongannya agak ketus, namanya Aulia. Saya sendiri namanya Liya."
"Ma-ka-sih sudah menerima Ra-tih di sini." Ratih yang masih gugup dan menangis membuat beberapa santriwati menatapnya dengan rasa jengah.
Hari pertama Ratih di pondok pesantren diwarnai dengan air mata. Betapa pedihnya hatinya ditinggalkan kedua orang tuanya di usia yang masih sangat muda.
Dia adalah Ratih Yanaya Humairah, seorang gadis kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya. Namun, keadaan memaksanya untuk berpisah dan belajar hidup mandiri di pondok pesantren.
Delapan tahun berlalu, dan kini Ratih sudah berumur delapan tahun. Sejak kecil, orang tuanya memintanya untuk tinggal di pondok. Uang jajan bulanannya hanya dua lembar uang merah yang tergenggam erat di tangannya.
Di awal bulan, Ratih diberikan lima lembar uang merah. Namun, seiring berjalannya waktu, nominal uang tersebut semakin berkurang.
Ratih adalah gadis pemalu, yang selalu merasa tidak enak hati untuk menolak permintaan orang lain. Dia bukanlah gadis yang terlalu pintar, namun juga bukan gadis yang bodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangisan Santriwati (SELESAI) ✅
Teen Fiction(FOLLOW DULU BARU BACA) Apa rasanya seorang anak yang tidak di anggap oleh kedua orang tuanya dan menitipkan di sebuah pesantren sejak berumur 5 tahun? Ratih menunjukan ia memilih air bunga itu. "Bagus saya sudah duga akan hal itu." Seorang...