jangan lupa tinggalkan jejak
Jangan lupa vote yuk bantu author pemula ini berkembang, terima kasih.
Semua orang terdiam, menunduk.
"Semua bubar! Jika ada yang berani mengolok-olok Ratih, saya akan laporkan ke Habib Makmur!" Tiara, seorang santriwati senior yang telah merawat Ratih sejak ia dititipkan di pondok, mengungkapkan kemarahannya.
Para guru santriwati pergi meninggalkan Tiara yang masih tampak marah dan kesal.
Hari Jum'at adalah hari libur para santriwati, mereka bergotong royong membersihkan pondok pesantren sesuai dengan pembagian kelompok masing-masing.
Ratih bertugas membersihkan kamar mandi, menggosok lantai, dan memungut sampah. Kata 'semangat' terus mengalir dalam pikirannya. Meski jatuh, ia akan bangkit dengan semangat karena ia tahu bahwa ucapan dan hinaan terhadap dirinya tidak sesuai dengan kenyataan. Lebih baik diam dan berjalan dengan tenang, seperti seorang ratu.
"Hee... nanti setelah ini, kita diminta berkumpul di lapangan jam sembilan pagi," ucap seorang santriwati yang mengumumkan pemberitahuan tersebut.
Jantung Ratih semakin berdebar, semalaman ia tidak bisa tidur, memikirkan bagaimana nasibnya setelah dihukum di depan banyak orang.Akhirnya tiba saat yang ditunggu-tunggu, saat Ratih dihukum di depan banyak orang.
Pak Kiai berdiri tepat di depan Ratih, semua santriwati berkumpul mengelilingi mereka berdua.
Benar apa yang dibicarakan para guru kemarin, bahwasanya Ratih akan dihukum dengan mandi menggunakan air selokan agar bisa belajar membersihkan najis.
"Kamu pilih mana, air selokan ini atau air tujuh bunga ini?" tanya Pak Kiai dengan suara lantang.
Ratih hanya menunduk, tidak berani menatap apalagi menjawab pertanyaan Pak Kiai.
"Seandainya kamu pilih air selokan ini, kamu akan bebas dari hukuman dan tugas-tugas yang diberikan oleh saya. Jika kamu memilih air bunga berisi tujuh jenis bunga ini, kamu akan saya berikan tugas yang tentunya tidak mudah buat kamu."
Ratih tidak berani mengangkat suaranya, napasnya saja sangat pelan, jantungnya berdetak dengan kencang.
"Padahal air selokan ini hanya gertakan Ratih," batin Pak Kiai.
"Gimana? Kamu tidak berani untuk ambil air bunga ini atau kamu memilih air selokan ini?" tanya Pak Kiai.
Ratih mulai menunjuk menggunakan tangan kanannya, ia memilih air bunga itu.
"Bagus, saya sudah menduga akan hal itu."
Seorang lelaki berparas tampan menatap Pak Kiai dan menghampiri nya.
"Ke sini Nak," pinta Pak Kiai melambaikan tangannya kepada lelaki tersebut dari kejauhan.
Semua santriwati terpesona akan ketampanan yang ia miliki.
Lelaki itu menunduk kepada Ayahnya. "Doakan ini, ember berisi air bunga ini, ayo," pinta Pak Kiai.
Lelaki itu memegang air bunga itu dan menundukkan kepalanya dan punggungnya. Setelah air itu didoakan oleh Gus Ikhsan, ia berdiri tegak menatap Ratih.
"Kamu, Mbak Tiara, mandikan dia pakai air bunga ini." Akhirnya, Ibu Tiara pun mengguyur Ratih menggunakan gayung sederhana, aromanya sangat menyengat.
Santriwati semuanya merasakan iri karena air bunga itu dipegang dan didoakan oleh Gus tampan.
Akhirnya, tubuh Ratih sudah dibasahi menggunakan air bunga tersebut. Pak Kiai dan anaknya sudah pergi dari lapangan sebelum guyuran Ratih dilakukan.
Ratih meneteskan air matanya. Semua santriwati membicarakannya dan ada yang merasa iri karena Gus telah mendoakan Ratih secara langsung.
"Huuu, lain kali ya Ratih, bikin heboh lagi sepondok ini! Kelakuanmu tidak ada habisnya."
"Ya, tahun kemarin dihukum di kelas, berdiri sekarang di lapangan. Mau hukuman apa lagi Ratih."
Semua santriwati membicarakan Ratih. Mereka secara terang-terangan mengungkapkan perasaan bencinya pada Ratih.
Semua Santriwati membubarkan diri, meninggalkan Ratih dan Tiara.
"Sabar ya Ratih, ini ujianmu di sini," ucap seorang santriwati, berusaha menguatkan Ratih.
"Ratih, kok kamu bisa-bisanya bertahan terus menerus di sini? Padahal kamu tahu sendiri kamu selalu dihukum tiap tahun dan kamu pun tidak mempunyai."
"Kamu ini bicara jangan seperti itu," tegur Tiara.
"Seandainya saya keluar dari pondok ini, mungkin orang tua ku tidak akan tahu keberadaan saya di mana. Sekalipun saya memaksa pergi, bagaimana nasib saya? Biaya dari mana? Saya belum mencoba untuk mulai bekerja," jelas Ratih sambil menangis.Ikhsan Rayidil Bintang adalah seorang lelaki tampan, sesuai dengan namanya.
"Kasihan dia, selalu dihukum oleh Ayah. Apakah dia benar-benar senakal itu atau ini hanya ulah seseorang yang membencinya," batin Gus Ikhsan.
"Abah sangat bosan dengan tingkah Ratih yang selalu dihukum setiap tahunnya," keluh Pak Kiai.
"Ini yang terakhir, Abah," ucap Gus Ikhsan.
"Kamu yakin akan hal itu?" Tanya Ayahnya dengan rasa heran.
"Saya yakin, betapa sakitnya ia selalu digunjing banyak orang."
Ayah dan anak saling berbicara di ruang tamu. Ayahnya dengan wajah kesal, sementara anaknya menunjukkan raut wajah bingung.
"Kamu tahu dari mana?"
"Rasa peka itu jawabannya, Abah. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Gus Ikhsan pergi ke kamarnya dan menatap sebuah pajangan di kamarnya yang penuh dengan sertifikat lomba qori, lomba cerdas cermat, lomba debat dan masih banyak lagi.
Kamarnya begitu luas. Pertama kali membuka pintu kamar, akan ada pemandangan sebuah lemari buku dan kitab tersusun rapi. Disetiap dinding terpampang sertifikat dan kata-kata motivasi.
Pandangan Gus Ikhsan berubah ketika melihat sebuah kerudung berwarna hijau mint.
"Kerudung wanita tadi, mengapa aku menyimpannya? Bagaimana jika Ayah tahu? Bagaimana cara mengembalikan kerudung ini?"
Gus Ikhsan tersenyum tipis menatap kerudung tersebut, mengingat kejadian pertama kali bertemu dengan Ratih.
"Bagaimana caranya membuat dia jera melakukan hal yang memalukan? Apakah ini murni perbuatan nakalnya ataukah dia hanya menjadi korban?"
Pikiran Gus Ikhsan mulai memikirkan bagaimana caranya agar Ratih tidak dihukum setiap tahunnya.
"Seminggu lagi aku berangkat mondok kembali di pesantren."
Gus Ikhsan memikirkan sesuatu untuk Ratih, agar ia terbebas dari orang yang membenci dirinya.Gus Ikhsan memandangi kerudung hijau mint itu, pikirannya penuh dengan rencana. "Harus ada cara," gumamnya. Dia tahu dia tidak bisa berbuat banyak, tapi dia juga tahu dia bisa menggunakan pengaruhnya.
Rencana mulai terbentuk di benaknya. Dia akan berbicara dengan beberapa temannya di pesantren. Mereka mungkin bisa membantu. Dia tahu ini tidak akan mudah, tapi dia juga tahu dia tidak bisa berdiam diri.
"Saatnya berubah, Ratih," bisiknya pada kerudung. Dengan tekad baru, dia memulai misinya. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan melakukan segala yang dia bisa untuk membantu Ratih.TBC
See you next time
makasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangisan Santriwati (SELESAI) ✅
Teen Fiction(FOLLOW DULU BARU BACA) Apa rasanya seorang anak yang tidak di anggap oleh kedua orang tuanya dan menitipkan di sebuah pesantren sejak berumur 5 tahun? Ratih menunjukan ia memilih air bunga itu. "Bagus saya sudah duga akan hal itu." Seorang...