46. Hukuman Ratih

1K 109 97
                                    

Ada typo? Komentar ya

    Jangan lupa tinggalkan jejak sebelum membaca

  Happy Reading

    Ratih menundukkan kepalanya karena terik matahari terus menyinari tubuhnya itu semakin panas dalam hitungan menit.

   "Panas sekali," keluh Ratih sembari mengelapi wajahnya penuh dengan keringat.

   Pak Kiai Azizi datang semuanya mulai berbaris rapih sembari membungkukkan tubuhnya pelahan.

"Maju kamu!" Pinta Pak Kiai Azizi.

  Ratih mulai maju di barisan depan para santriwati langkah demi langkah ya mulai ambil perlahan.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, Allah akbar, Allah akbar, alhamdulillah kali ini kita berkumpul merayakan idul adha dengan senyuman di wajah kita sudah bersyukur bukan? Jangan pernah lupakan untuk bersyukur! Kita sebagai manusia biasa pasti ada kekurangan dan kelebihan tanpa kita sadari itu, saya juga yakin Ratih memiliki kelebihan dan kekurangan santriwati lain juga. Jangan menghakimi orang lain setiap orang mempunyai sifat berbeda jangan menghakimi orang karena pemikiran berbeda," ucap pak kiai Azizi.

    Semuanya mulai mendengarkan setiap ucapan Pak Kiai Azizi dengan rasa panas karena terik matahari yang semakin naik.

  "Apa yang kita inginkan di masa depan jangan hanya dijadikan impian saja! Buktikan itu. Jangan pernah lakukan hal ini ucapan besar akan tetapi perjuangan tidak jangan seperti itu, diam jangan banyak bicara lakukan itu setulus hati, berdoa dan berusaha hemm. Baik intinya kita berkumpul di sini ingin mengumumkan sebuah hukuman untuk Ratih, kami para guru dan pendiri pondok pesantren yaitu Habib Makmur sudah mengambil sebuah keputusan bahwa Ratih akan di pindahkan ke pondok pesantren Tahfidz," ucap Pak Kiai Azizi.

   Ratih mulai menatap Pak Azizi dengan membulatkan matanya dengan sempurna terkejut dengan ucapan pak Kiai Azizi.

  Ia menahan air matanya itu dan mulai menundukkan kepalanya kembali, jantungnya mulai berdetak dengan sangat kencang nafasnya mulai terasa sesak.

"Menghafal satu kitab saja belum bisa apa lagi menghafal Al Qur'an, membacanya belum bisa kenapa aku harus di pindahkan?" Batin Ratih.

"Saya sudah bilang bukan? Hukuman lebih berat! Penghafal Al Qur'an banyak rintangan yang akan di lalui, mengingatnya, murojaah, mengamalkan, menjauhi setiap keburukan di dalam hati dan fisik, saya yakin kamu mampu karena-"

    Pak kiai tidak melanjutkan ucapannya itu karena teringat sesuatu.

Flash back on

     Seorang lelaki duduk menundukkan kepalanya di sofa menunggu kedatangan Ayah itu siapa lagi jika bukan Gus Ikhsan.

    Ayahnya mulai duduk di samping Gus Ikhsan, "Ada apa Ikhsan?" Tanya Ayah.

"Saya ingin memberikan saran kepada Abah maaf jika Ikhsan lancang," ucap Gus Ikhsan.

"Tidak lancang mengangkat suara itu penting juga, mau memberikan saran apa?" Tanya Ayahnya.

"Soal santriwati bernama Ratih itu, alangkah baiknya jika hukumannya itu di pindahkan ke pondok pesantren Tahfidz," ucap Gus Ikhsan.

"Kamu yakin dia kesana? Dia sulit mencerna setiap pelajaran yang ada apa lagi ini, jangan membuat dia menambahkan beban lagi nak, itu bukan solusi itu akan menambah bebannya," ucap Ayah Gus Ikhsan.

"Tidak ada salahnya jika melakukan hal itu, ia membutuhkan suasana baru lingkungan baru apakah Abah tahu? Pondok tahfidz lebih menenangkan karena disana akan fokus kepada diri sendiri yaitu membaca Al Qur'an, di ajaran perlahan, pintu yang lebih tenang dan ia juga mempunyai peluang untuk menjadi lebih bermanfaat lagi," ucap Gus Ikhsan.

Tangisan Santriwati (SELESAI) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang