Assalamualaikum
Jangan lupa tinggalkan jejak sebelum membaca
Ada typo? Komentar ya terima kasih
Happy Reading
Raina mulai bertanya di saat jalan mengelilingi pondok pesantren menjelaskan setiap tempat ada di tempat tersebut.
"Katakan sayang, apakah kamu lelah?" Tanya Raina.
"Tidak, aku sangat bahagia," ucap Ratih.
"Bermainlah dengan anak-anak itu jika kamu lelah beristirahatlah setuju?" Tawar Raina.
Ratih tersenyum melihat para anak-anak bahagia bermain berbagai permainan, berlarian, petak umpat, congklak, lompat tali.
"Ya, akan tetapi apakah ada yang mau bermain denganku?" Tanya ragu Ratih senyumannya mulai hilang saat mempertanyakan hal tersebut.
"Hey mengapa bertanya seperti itu? Mari kita coba, anak-anak ayo kesini," ucap Lita.
Semua anak-anak mulai mengelilingi Ratih, Raina, Lita. "Ada apa mbak?" Tanya seorang anak berumur sepuluh tahun.
"Lihat kedatangan teman baru, ayo berkenalan katakan siapa yang mau berteman dengannya?" Tanya Lita.
Semuanya tersenyum, bersorak bahagia sembari mengangkat tangannya itu. Ratih mulai tersenyum bahagia karena antusias dari semuanya.
"Lihat itu? Banyak yang mau berteman, sekarang perkenalan dirimu dan bermainlah," pinta Lita.
Ratih mulai berkenalan tanpa malu mengucapkannya ia mulai bermain satu persatu permainan dengan bahagia.
Sedangkan Raina dan Lita sangat bahagia melihat Ratih bahagia saat bermain permainan anak-anak.
Di samping pondok pesantren tahfidz beberapa langkah blok kamar itu adalah rumah habib Makmur.
Setiap blok berhadapan, sisi kanan, sisi kiri, belakang dan depan. Sedangkan di tengah blok kamar itu adalah rumah Habib Makmur, di belakang rumah ada sebuah koperasi pondok tahfidz dijaga oleh para santriwati.
Rumah Habib Makmur berlantai dua mewah dan megah itulah kata yang diucapkan saat melihat rumahnya.
Seorang lelaki menatap Ratih bermain, lompat tali tersenyum bahagia di balik tirai jendelanya itu.
"Tidak salah Ikhsan memberikan saran itu untuk Ratih, dia membutuhkan teman, kebebasan, saat mental cukup kuat baru akan betah di pondok salaf," ucapnya.
Seorang lelaki tersenyum di balik tirai jendelanya itu dengan pakaian rapih mengintip dengan mata yang sangat indah.
Wajah Ratih menjadi sangat ceria, dia selalu menujukan sebuah senyuman di wajahnya, seakan-akan semua bebannya hilang dalam sekejap.
"Sekarang tugasku akan membimbing dirimu belajar mengaji dengan anak-anak berumur lima tahun, aku yakin kamu akan seperti Ikhsan. Pintar dalam segala hal," ucap Habib Raihan.
Ratih terdiam setelah bermain lompat tali. Melihat kanan dan kiri dengan wajahnya yang bingung, ia mulai menatap rumah Habib Makmur di atas sembari melihat dengan heran, matanya minus tidak bisa melihat dengan jelas.
Habib Raihan menutup tirai memalingkan wajahnya karena ia takut di lihat oleh Ratih.
Seorang perempuan menatap bingung Ratih. "Ada apa Ratih melihat rumah Abah seperti itu?" Tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangisan Santriwati (SELESAI) ✅
Teen Fiction(FOLLOW DULU BARU BACA) Apa rasanya seorang anak yang tidak di anggap oleh kedua orang tuanya dan menitipkan di sebuah pesantren sejak berumur 5 tahun? Ratih menunjukan ia memilih air bunga itu. "Bagus saya sudah duga akan hal itu." Seorang...