Jangan lupa tinggalkan jejak
Saat lonceng berbunyi, seorang wanita menatap Ratih yaitu ketua kelas.
"Ratih, kamu kemarin-kemarin telat ya?" tanya Mbak Diana dia adalah ketua kelas baru.
"Ya Mbak saya telat, karena-"
"Stop tidak usah jelaskan, sekarang lalaran kitab di lapangan kanu berdiri ya!! Karena yang terlambat bakalan berdiri," pinta Diana.
Semua santriwati berjalan menuju tempat berbeda, sesuai dengan kelas masing-masing sekumpulan kelas satu dan sekolah pemula akan jadi satu lalaran di lapangan berkumpul dalam satu tempat, tetap berkumpul dengan kelas masing-masing.
Duduk berjongkok sembari membawa kaleng makanan, gayung, kayu kecil untuk memukul kaleng tersebut.
"Wah ada yang bisa membunyikan dengan indah kaleng dengan gayung ini?" tanya Dinda.
"HEY MINGGIR!" Teriak Rara memegang kayu kecil tersebut, Nina memegang gayung sedangkan Diana memegang sebuah kaca dengan kayu kecil.
Semuanya membuka kitab kecil. "Lagu apa?" tanya Aulia.
Ratih berdiri santriwati terlambat dari kelas lain pun berdiri, wali kelas bernama ustdzah Raina tersenyum. "Ayo lagu apa pikirkan itu sekarang jangan lama-lama," pinta ustadzah.
Semua kelas memulai lalaran kitab dengan lagu berbeda, dari lagu man ana, syaikhona, masih banyak lagi.
Ratih berdiri sembari membaca masih dengan perlahan. "Suara kamu di besarkan," bisik Ustadzah.
Ratih memulai suara dengan suara sedang, ya suara emas indah merdu sekali belum terlalu lancar semuanya mulai mengecilkan nada dirinya sendiri sembari mengamati Ratih lalaran dengan suara merdu denagn lagu syaikhona mencover menjadi lalaran.
Ratih mendengar suara teman sekelasnya dengan suara pelan ia membehentikan suaranya sendiri sembari terdiam dengan kebingunannya.
"Ayo kenapa kecil sekali? Lanjutkan sampai setengah enam," pinta ustadzah.
"Sejak kapan dia mau lamaran dengan suara keras apalagi mempunyai suara merdu?" batin Aulia merasa tersaingi.
Suasana dilapangan sangatlah ramai, karena suara botol dibunyikan setiap kelas, membawa gayung serta kaleng wafer menambah keramaian.
Kitab yang sama dengan lagu berbeda, semuanya bersaing siapa yang paling ramai dan heboh itulah yang kini semua santriwati bersemangat.
Suara indah yang dimiliki Ratih tidak pernah memberanikan diri untuk bernyanyi sholawat dengan suara keras.
Ia menutupi suara indah itu, dengan cara apa pun. Setelah setengah enam, semua santriwati membubarkan diri sembari berlari menuju kamar mandi dan mengantri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangisan Santriwati (SELESAI) ✅
Teen Fiction(FOLLOW DULU BARU BACA) Apa rasanya seorang anak yang tidak di anggap oleh kedua orang tuanya dan menitipkan di sebuah pesantren sejak berumur 5 tahun? Ratih menunjukan ia memilih air bunga itu. "Bagus saya sudah duga akan hal itu." Seorang...