Jangan lupa vote yuk bantu author pemula ini berkembang, terimakasih.
Ada typo? Komentar ya makasih
"Ada saatnya Nak.""Sudah berapa tahun Ibu, Ratih di pondok pesantren mereka tidak pernah mau menemui Ratih satu jam saja. Apakah mereka sesibuk itu? Atau mungkin aku adalah anak buangan."
"Jangan bicara seperti itu berpikir positif itu yang kamu harus lakukan, disaat orang lain sibuk mencaci maki kamu jadikan caci mereka itu dengan prestasi kamu buat mereka terkejut melihat prestasi kamu."
"Ibu tahu sendiri bagaimana Ratih berusaha terus agar tidak dimarahi oleh guru lain." Kesedihan Ratih mulai terlihat.
"Berusaha terus, juga pernah rasakan hinaan seperti itu, Ibu Tiara jelek, Ibu Tiara bodoh, pengecut, lihat Ibu sekarang apakah kamu lihat Ibu jelek, bodoh, pengecut? Hampir yang mereka ucapkan itu Ibu hapus sendiri dengan prestasi Ibu lakukan." Tiara melihat anak yang ia besarkan selama ini membuatnya tahu segala apa yang Ratih rasakan.
"Pepatah mengatakan terbentur, terbentur, terbentur dan terbentuk."
"Makasih Ibu, saya selalu anggap Ibu Tiara seperti kakak kandung Ratih."
"Panggil kak Tiara juga boleh, Kalau ada apa-apa cerita Kak Tiara siap dengarkan keluh kesah kamu. Akan tetapi lebih baik kamu mengeluh sama Allah SWT."
"Aku selalu menumpahkan kesedihanku ke Allah SWT Ibu."
"Allah SWT selalu ada untuk kamu Ratih."
"Makasih Ibu Tiara." pelukan Ratih mengartikan segalanya rasa sayang kepada Tiara sangatlah besar.
*****
Keesokan hari Ratih sudah keluar dari rumah sakit, bertekad agar tidak masuk ke rumah sakit tidak mau menyusahkan orang lain.
"Apakah aku keluar pondok aja ya kerja, dari pada aku di sini penyakitan tidak berprestasi uang yang diberikan Ayah kesini, nanti bakalan jadi akan menjadi amal jariyah Ayah ke pondok pesantren ini," batin Ratih melangkahkan kaki ke gerbang pondok pesantren putri.
Ratih menatap, sebuah kotak amplop berisi surat pemberian wali santriwati yang sedang mengirim surat untuk anak akan dikumpulkan dalam kotak surat tersebut.
Ratih sudah bertahun-tahun lamanya ia menginginkan namanya tertulis di amplop dan berisi surat dari orang tua.
Ratih tidak mau berharap orang tua memberikan surat lagi kepada dirinya.
Seorang santriwati menghampiri Ratih dengan wajah bahagia.
"Ratih ini surat untuk kamu.""Surat apa?" tanya Ratih.
"Gus Ikhsan, memberikan karena tadi ada kurir yang memberikan dirumah Gus Ikhsan."
Senyuman dari Ratih menatap amplop yang tertulis nama dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangisan Santriwati (SELESAI) ✅
Teen Fiction(FOLLOW DULU BARU BACA) Apa rasanya seorang anak yang tidak di anggap oleh kedua orang tuanya dan menitipkan di sebuah pesantren sejak berumur 5 tahun? Ratih menunjukan ia memilih air bunga itu. "Bagus saya sudah duga akan hal itu." Seorang...