4.Pingsan

2.8K 257 115
                                    


Makasih udah mampir jangan lupa vote dan komentar

Jangan lupa vote yuk bantu author pemula ini berkembang, terima kasih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa vote yuk bantu author pemula ini berkembang, terima kasih

Ruangan inap bernomor lima, yang diberi nama Bunga Anggrek, dipenuhi dengan berbagai fasilitas untuk pasien. Tirai putih yang tergantung, ranjang yang bersih, dan kursi yang nyaman untuk menemani pasien.

Dinding putih dan jam yang terpampang di dinding menambah kesan tenang. Ratih, yang tertidur pulas, membuat Ibu Tiara merasa tenang.

"Haruskah aku membuat surat palsu dari orang tuanya untuk membuat Ratih bahagia?" gumam Tiara dengan suara lirih.

Sepertinya itulah yang akan ia lakukan. Air matanya jatuh saat ia menatap Ratih yang tampak begitu lemah.

Sementara itu, seorang lelaki berpakaian rapi melihat Ratih dan Tiara dengan tatapan tajam. Dia berharap hukuman yang akan diberikan pada Ratih dapat meringankan beban yang selama ini dipikulnya.

Dia teringat keluarganya yang hampir sama dengan Ratih. Orang tuanya meninggal, dan sejak berusia tiga tahun, dia tinggal di pondok pesantren. Ayahnya selalu menjenguk, meski dia tahu hatinya hancur melihatnya. Dia kembali ke pondok saat berusia tujuh tahun.

Air matanya mengalir membasahi pipinya. Dia merasa sedih melihat penderitaan yang dialami Ratih. Dia selalu melihat Ratih dihukum, dihina, dan direndahkan.

"Ibu tiriku membuatku jauh dari Ayah," gumam Tiara. Dia mulai bermonolog sendiri, merasa lelah dan menjauh dari tempat tidur Ratih.

"Kamu belum menguasai pelajaran, Ratih," batin Tiara. Dia merasa bangga melihat Ratih yang selalu berusaha mengejar pelajaran, meski banyak santriwati yang merendahkan dan membuatnya merasa kesepian.

Air matanya semakin deras, wajahnya pucat dan matanya sembab. Dia mencoba menenangkan diri dengan memalingkan wajahnya dari Ratih.

Rasa sakit yang selalu menghampiri Tiara, memberikan semangat untuk setiap langkah Ratih.

Ratih sering kali menangis menyembunyikan air mata dari orang lain termasuk kepada Tiara.

"Ratih aku akan selalu bersama dengan dirimu sampai kamu menemukan dan mengenal dirimu sebaik mungkin," pungkas Tiara mengusap air matanya dan mulai memegang tangan kecil Ratih dan mulai tertidur.

Waktu menunjukan jam setengah satu siang, Ratih membuka matanya menatap Tiara tidur dengan pulas.

"Ibu Tiara terima kasih selama ini kamu selalu ada untuk Ratih," ucap Ratih melepaskan genggaman  Tiara.

Tiara membuka matanya dengan perlahan mulai menatap Ratih dengan jelas.

"Ratih kamu udah bangun, mau makan? Ibu ketiduran tadi."

"Tidak mau makan Ibu, Ibu mau solat?" tanya Ratih.

"Tidak lagi solat nak."

"Ibu Ratih aku boleh tanya?" tanya Ratih dengan gugup.

"Makan satu suap dulu baru tanya," ujar Tiara membawakan makanan dan mulai mengaduk bubur.

"Oke, jawab jujur asalkan Ibu."

"Ya deh, Aaa." Suapan pertama membuat Ratih merasakan kasih sayang dari seorang kakak perempuan.

"Ibu bagaimana hubungan Ibu sama Gus Faiz?" tanya Ratih masih polos.

"Haa ... kenapa tanya seperti itu, Gus Faiz ada apa dengan dirinya?"

"Katanya mau jawab jujur Ibu kok gitu," rengek Ratih.

"Tidak ada hubungan apa pun dengan Gus Faiz kata siapa Ibu sama Gus Faiz si? Tidak akan mungkin lah," tolak halus Tiara menyuapi Ratih kembali.

Ratih mengunyah dengan cepat dan bertanya kembali, "Gosip begitu Ibu, Ibu lagi dekat dengan Gus Faiz sampai Ibu pernah ketemuan di taman."

"Astagfirullah kamu tahu tidak ketemuan di taman itu tujuan apa? Gus Faiz salah paham saat itu disuruh Habib Makmur untuk temuin santri di taman buat berikan berkas ia kiranya santri putra jadi tidak bawa teman padahal yang ia temui itu santriwati jadi sedikit terkejut lihat saya sama Ibu Tania."

"Kenapa ketemuan ditaman?" tanya Ratih.

"Gus Faiz punya sifat malu-malu kaya kucing jadi Habib Makmur tahu dia pemalu tidak akan mau masuk ke pondok pesantren putri buat taruh berkas rahasia negara itu, jadi ketemuan di taman seharusnya di ruangan pertemuan siswa sama guru saja dianya tidak mau."

"Wah Ibu sampai paham betul sama sifat Gus Faiz ya."

"Dikiranya dokumen nikah ya?" tanya Tiara.

"Ya Ibu beredar mau nikah itu dokumennya, dokumen negara maksud dokumen para santriwati ya? Lalu itu kapan, Ibu beda jauh umur sama Ibu boleh nikah, tidak masalah itu?" tanya Ratih.

"Kejadiannya sangat lama, sebelum Gus Faiz bisa mengajar, masalah umur memang kenapa masalah? Kalau si perempuan suka tidak papa umur tidak jadi masalah. dokumen itu berisi data dan raport takut hilang."

"Hoo gitu Ibu sama Gus Faiz berapa?"

"Beda dua tahun," ucap Tiara.

"Semangat Ibu nanti nikah undang aku ya."

"Kamu masih kecil mikirin kaya gitu, belajar giat biar ucapan orang itu kita balas dengan prestasi nak," nasihat Tiara.

"Butuh proses ya Bu, tidak semudah membalikan telapak tangan."

"Ya butuh proses, proses mengajarkan kita pengorbanan, tenaga dan masih banyak lagi," jelas Tiara.

"Pengorbanan?"

"Pengorbanan waktu, saat orang lain asik bermain kamu belajar dan tidak bermain itu namanya pengorbanan waktu."

"Ayah sama Mama akan bangga sama aku tidak Bu?" tanya Ratih.

"Pasti banggalah mana ada orang tua tidak bangga atas keberhasilan anak sendiri," ucap Tiara.

"Bakalan temuin aku, dan ajak aku pulangkan Ibu?" tanya Ratih menahan air matanya.

"Bakalan temuin aku, dan ajak aku pulangkan Ibu?" tanya Ratih menahan air matanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Makasih sudah mau membaca

see you next time

Tangisan Santriwati (SELESAI) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang