Jangan lupa vote ya, vote kalian sangat berharga untuk author seperti saya.
Ada typo komen ya
Saya merubah nama Mufid menjadi Liya, Nunung menjadi Dewi sedangkan Iip menjadi Karina, jika menemukan nama mereka bertiga tinggalkan jejak ya terima kasih
Happy Reading
Ratih mulai tenang sembari memakai mukenah putihnya itu. "Sabar Ratih, namanya juga manusia tidak luput dari kesalahan dan sifat iri, dengki," jelas Liya.
"Astagfirullah, maaf mbak saya tidak jujur dengan mbak bahkan Ibu Tiara."
Ratih menatap Liya memakai mukenah berwarna putih itu dengan senyuman diwajah itu."Saya, tahu kamu tidak akan menceritakan apa pun karena apa? Inilah hasilnya jika nanti diceritakan kepada orang-orang syirik kepada kamu," Pungkas Liya pergi begitu saja masjid.
"Maklum lah, pondok pesantren ini berisi santriwati masih berumur kecil tujuh tahun, belum berpikir dewasa akan tetapi saya masih berumur delapan tahun mengapa tidak seperti anak kecil tidak seperti mereka?" Tanya Ratih.
"Tergantung teman, dan didikan seseorang Ratih," ucap Naina.
Kamar begitu sepi asik diluar memakan makanan yang dibuat, yang mempunyai kewajiban sholat sudah pergi di masjid.
"Sana, solat Ratih kamu masih terlalu kecil untuk memikirkan semuanya. Ingat satu hal orang lain akan membenci dirimu karena mereka tidak memiliki sifat yang kamu miliki," jelas Naina.
Makna yang diucapkan Naina sangat mendalam membuat Ratih terdiam dan mendengarkan ucapan Itu dengan sangat teliti.
Ratih berjalan dengan perlahan menundukkan kepalanya itu menuju masjid sembari membawa kitab hafalan itu kitab jurmiyah.
Ratih duduk diluar masjid menatap sekeliling sudah mulai ramai santriwati dengan berbagai tempat, membawa kitab kuning, menghafal kitab, mengobrol bahkan mengaji Al Qur'an.
Ratih membuka lembaran kitab harapan itu menatap dengan tajam tepat dihalaman ke tiga. Ratih mulai menghitung kini ia hafal berjumlah lima bait.
"Sudah hampir setengah tahun, akan tetapi aku tidak kunjung menghafal dengan banyak tertinggal jauh, bagaimana ini? Kelas satu wajib menghafal jurmiyah, hadis dua puluh dan kitab lainnya, jurmiyah saja segini. Ya Allah SWT berikan diriku sebuah keajaiban," batin Ratih menatap dengan tajam kitab tersebut.
Kebingungan kini ada di wajah Ratih, ia mulai tidak konsentrasi. "Apakah aku bisa mengejarnya?" Tanya Ratih.
Setelah solat ashar seperti biasanya Ratih berdoa tanpa air mata, kekhawatiran itu mulai datang mengingat kegagalan tidak kunjung bertambah.
Ia mulai menguatkan hatinya dan percaya kepada maha kuasa, ia mengunakan sebuah keajaiban kepada dirinya dan mulai menginginkan ia menjadi pintar seperti yang lainnya.
Ia mulai melipat mukenah itu menatap sekeliling sudah mulai bersiap, berdandan memakai wewangian tidak menyengat dan memberikan bedak tipis diwajah, memakai handbody.
Ratih hanya bisa duduk dan menatap lain sibuk merias diri senatural mungkin.
"Hey, Ratih tidak pakai cream? Itu wajahmu kusam sekali kusut belum di setrika malu-maluin tahu tidak," kesal Dinda menatap tajam Ratih hanya duduk merenung menutup mulut rapat-rapat.
"Matamu merah kenapa? Hii," Geli Aulia.
Melihat dirinya di sebuah cermin matanya merah, penuh dengan kotoran dimatanya itu dan mulai mengeluarkan air.
Ratih memejamkan matanya itu mulai mengatur nafasnya agar stabil. "Dua-duanya sakit ya?" Tanya Dewi.
Ratih menganggukkan kepalanya itu sembari meraba-raba di mana tisu miliknya itu, Karina memberikan kotak tisu kepada Ratih, Ratih mulai mengelap dibagian berair itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangisan Santriwati (SELESAI) ✅
Teen Fiction(FOLLOW DULU BARU BACA) Apa rasanya seorang anak yang tidak di anggap oleh kedua orang tuanya dan menitipkan di sebuah pesantren sejak berumur 5 tahun? Ratih menunjukan ia memilih air bunga itu. "Bagus saya sudah duga akan hal itu." Seorang...