Assalamualaikum
Jangan lupa tinggalkan jejak sebelum membaca
Ada typo? Komentar ya
Happy Reading.
Hari demi hari Ratih mulai terbiasa dengan tubuhnya sendiri.
Tubuh Ratih mulai melemas dan pandangannya buram ia mulai mencari tempat ramai atau pergi ke kamarnya karena itu tanda-tandanya akan pingsan, dia mulai mengetahui kondisi tubuhnya ketika ingin pingsan.
Bertahun-tahun lamanya Ratih mulai terbiasa dengan keadaan pondok pesantren dan tubuhnya lemah, tanpa mengenal kata lelah ia terus berusaha mengenali dirinya sendiri menyeimbangkan antara keinginan dan kemampuannya.
Ketika ia mulai bertekad ia akan memulainya dengan perlahan sampai tujuannya itu tercapai, suatu kata yang ia ingin dengar dari banyak orang, yaitu selamat Ratih sudah sukses menghafal Al Qur'an 30-juz.
Impian dari kecil dia menginginkan menjadi penghafal Al Qur'an, menyanyi sebuah lagu ku ingin menjadi hafidz Al Qur'an di atas panggung setelah menyambung ayat juz amma.
Ratih mulai bertambah dewasa umurnya sudah tujuh belas tahun, wajahnya mulai cerah memancarkan sebuah aura positif ketika melihatnya, memakai pakaian syar'i, memakai kacamata sembari membawa Al Qur'an menempelkan di dadanya itu.
Berjalan keluar pondok pesantren untuk liburan, tengah semester ia lebih memilih menetap di pondok pesantren mulai keluar menuju persawahan untuk menghafal Al Qur'an sudah juz ke-27.
Inilah dinamakan sebuah usaha tidak mengkhianati hasil, terus berusaha berjalan di atas batu bara panas, setiap jalan kanan dan kiri terdapat banyak duri.
Ratih melewati semuanya dengan sabar, ikhlas, tidak mudah menyerah. Ia mendapatkan banyak pelajaran berharga dari pondok pesantren salaf, sebuah hinaan, celaan yang ia dapatkan setiap harinya memguatkan mental dan membulatkan tekadnya untuk membuktikan dirinya sendiri.
Ia mulai menatap langit begitu cerah, di pagi hari senyumannya mulai menghiasi wajahnya yang cantik.
Setiap santriwati tidak pulang di waktu ujian tengah semester di bebaskan untuk keluar pondok untuk melakukan aktifitas bebas, berjalan-jalan, bersilaturahmi dengan pondok pesantren di daerah tersebut, menghafal Al Qur'an di tempat yang sepi dan nyaman.
Ratih mulai duduk di saung dengan kardus dikelilingi berbagai tumbuhan segar ia mulai menatap sekeliling masih banyak air embun di pagi hari, suasananya sejuk membuatnya damai dan tentram.
"Semoga tidak pingsan," ucap Ratih, ia mulai membuka Al Qur'an dengan membaca basmallah mulai menghafalnya dengan perlahan.
"MAS RAIHAN SUDAH AKU LELAH BERLARI TERUS MENERUS!" Teriak seorang lelaki memakai celana jens, kemeja sekaligus memakai jaket berwarna hitam, berhenti sembari membungkukan tubuhnya dan mengatur nafasnya dengan perlahan. Keringatnya mulai keluar.
"HEY LELAKI MACAM APA KAMU INI? SUDAH LELAH BARU SATU PUTARAN!" Celanya, lelaki itu memakai celana jens hitam dan kaos berwana hitam memakai jaket berwarna merah dengan lengan putih, sembari memakai topi putih di kepalanya.
Dua lelaki itu adalah Gus Ikhsan dan Habib Raihan sedang olahraga, di pagi hari.
Gus Ikhsan mulai berlari menghampiri Habib Raihan, dengan wajah pucat.
"Sebentar aku lelah," ucap Gus Ikhsan.
"Hemm masalah mengirim hadiah dan surat saja kamu cepat, olahraga lemot sekali," ucap Habib Raihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangisan Santriwati (SELESAI) ✅
Teen Fiction(FOLLOW DULU BARU BACA) Apa rasanya seorang anak yang tidak di anggap oleh kedua orang tuanya dan menitipkan di sebuah pesantren sejak berumur 5 tahun? Ratih menunjukan ia memilih air bunga itu. "Bagus saya sudah duga akan hal itu." Seorang...