jangan lupa vote dan komentar
Jangan lupa vote yuk bantu author pemula ini berkembang, terima kasih.
Ada typo? Dan masukan/saran silahkan tinggalkan jejak.
"Wah juga ni cewek, di hina banyak orang ya masih bisa ceria di jauhi, tidak ada yang mau berteman dengan dirinya ia tetap bertahan walaupun hasil selalu membuat dirinya kecewa," lirih seorang wanita menatap Ratih.
Itulah Ratih terbatah-batah ketika mengaji ia tak pernah menyerah mengaji walau pun di tertawakan karena kepolosan, tidak ada pengetahuan cara mengaji dengan benar.
Hampir jam setengah sembilan pagi guru datang dan Ratih menjadi pusat perhatian guru tersebut.
"Begitu dong Ratih duduk di depan jangan di belakang kamu hidup di pondok pesantren sendirian itu bukan santri namanya," ucap Ibu Latifah.
"Sendirian? Saya juga tidak mau sendirian terus menerus bagaimana lagi, Kalau aku dekati mereka malah menjauh diriku apa aku harus mengemis kepada mereka agar kita berteman itu tidak akan mungkin karena nanti aku bakalan lebih rendah lagi," batin Ratih.
Ibu Latifah kembali datang
"Assalamualaikum anak-anak," ucap Ibu Latifah.
"Waalaikumussalam," ucap semua santriwati di kelas tersebut.
"Baiklah sekarang kalian sudah menulis hadis nomor 39?" tanya Ibu Latifah.
"Belum."
"Sudah Bu."
"Baiklah saya kasih 10 menit untuk menulis hadis nomor 39 dan 40 kita belajar itu," ucap Ibu Latifah.
Semua santriwati beragam di kelas 1 A ada yang rajin, tidur dikelas, mengobrol, menulis pelajaran extra cepat.
Ratih menulis hadis tersebut, teman sebangkunya menatap tulisan jelek Ratih.
"Ratih tulisan kamu jelek sekali, Tidak bisa kebaca sama sekali," bisik Dinda.
Ratih berhenti menulis menatap tulisan kembali, "Iya Mbak Dinda, tulisan saya memang jelek nanti saya belajar nulis yang benar," ucap lembut Ratih.
"Kamu udah 5 tahun di pondok pesantren tulisan masih kaya anak baru belajar nulis tahu ngga?" bisik Dinda.
"Saya masuk kelas baru mau tiga tahun kenapa kamu bilang 5 tahun sekarang?"
"Coba aja tanyakan ke Ibu Tiara," bisik Dinda.
"Ya sudah cukup menulisnya baik kita akan belajar tentang hadis tersebut untuk pertama mari kita baca terlebih dahulu."
Semua santriwati membaca dengan fasih kecuali Ratih yang masih terbatah-batah.
Wajah kesal yang kini ada di wajah Aulia, "Haa kenapa si saya di salahkan, lagian ya kenapa saat saya tarik kudung Ratih dan hukuman itu ngga sekarang-sekarang saja malas jadinya," gumam Aulia.
Waktu sudah menunjukan isya, semua mengambil air wudhu di tempat wudhu.
Ratih duduk berdiam diri mengunakan mukenah berwarna putih sembari memejamkan matanya untuk berdizkir.
Ratih selalu di anggap sok alim, tapi ia hanya menjalankan kewajibannya dengan cara berdizikir dengan khusu tanpa gangguan siapa pun itu.
★※»●※●
Setelah solat isya kembali ke kamarnya semua bersiap-siap untuk melakukan bersekolah malam.
"Besok pelajaran membosankan," ucap Aulia.
"Siapa?" tanya Tania.
Semua penghuni kamar tersebut mencari buku masing-masing di tempat buku.
"Pak kiai Azizi."
"Hey! Hati-hati kalau di palajaran Pak Kiai Azizi kalian sekelas kan sama Ratih?" tanya Mbak Dewi.
"Ya kak kenapa?" tanya Aulia.
"Ratih kan punya masalah banyak sama Ratih dia kan selalu di hukum setiap tahunnya jadi dia akan selalu di perhatikan oleh pak kiai, sekali dia punya salah dia akan selalu di tatap oleh pak kiai apalagi Ratih sudah langganan di hukum."
"Ya tu Mba Dewi, Aulia juga ada salah sama pak Azizi tidur satu kelas marah sama dia. Saat ngaji makhraj," sambung Ayu.
"Hayoo bukan hanya Ratih di tatap terus kamu juga Aulia!"
"Sudah jangan banyak bicara kita bentar lagi bel bunyi hayuk masuk, Pak Azizi keliling nanti sama anaknya kena hukum nanti," ucap Mba Liya.
Mba Mufid menggandeng Ratih untuk keluar kamar bersama. "Jangan tidur ya kalau ada pak kiai Azizi malam ini beliau keliling jadi siap-siap, biasanya kan sekolah malam itu belajar bersama musyawarah namanya jadi tidak ada gurunya, belajar bersama seseorang bergiliran maju ke depan untuk menjelaskan pelajaran besok guru datangnya akhiran," ucap Mba Liya menggandeng Ratih.
"Ratih tidak pernah tidur Mbak, karena itu cara Ratih untuk menghargai guru yang mengajar walaupun pelajaran masuk ke dalam memori hanya sedikit," jawab Ratih.
"Setidaknya ada berkahnya kan masuk sana, Mbak kelas diatas semangat Ratih."
Mbak Liya pergi ke kelas di lantai 2 sedangkan Ratih di lantai bawah, seluruh santriwati bersemangat untuk musyawarah malam ini.
Reaksi banyak dari santriwati beragam, dari yang malas musyawarah dan semangat musyawarah.
Ratih duduk paling belakang hanya sendirian, "Assalamualaikum Mba boleh saya duduk disini?" tanya seorang wanita cantik menggunakan kacamatanya.
"Ya Mba kami boleh duduk di sini?" tanya wanita cantik yang memiliki lesung di pipinya.
"Hey anak baru! Jangan di situ duduk di sini saja."
"Memang kenapa? Dia juga tidak ada yang menemaninya."
"Ya Mbak, lebih baik di sana saja jangan disini," pungkas Ratih.
"Mereka yang mau duduk kenapa kalian repot?" tanya ketus Aulia.
"Hayuk lalaran Pak Azizi keliling guys," ucap Dinda.
Semua duduk di bawah yang tidak ada alas sama sekali hanya lantai yang bersih.
"Namanya siapa?" bisik wanita tersebut.
"Kalian beneran mau berteman dengan saya? Kalian tahu saya tidak cantik dan saya bodoh," lirih Ratih.
"Kamu cantik kok, kata siapa kamu jelek? Sebuah pertemanan itu tidak memilih karena cantik, kaya, pintar bahkan bodoh," jawab Wanita berlesung di pipinya.
"Ratih." jawab Ratih.
"Ninda Saputri," ucap wanita berkacamata tersebut.
"Ilma Putri Ningrat," jawab Wanita berlesung di pipinya.
Semua santriwati kelas satu A menatap kitab kecil masing-masing dan membaca kitab tersebut.
Terima kasih kakak sudah mau membaca
See you next time
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangisan Santriwati (SELESAI) ✅
Teen Fiction(FOLLOW DULU BARU BACA) Apa rasanya seorang anak yang tidak di anggap oleh kedua orang tuanya dan menitipkan di sebuah pesantren sejak berumur 5 tahun? Ratih menunjukan ia memilih air bunga itu. "Bagus saya sudah duga akan hal itu." Seorang...