Jangan lupa vote yuk bantu author pemula ini berkembang, terima kasih.
Jam menunjukkan pukul setengah empat pagi, Ratih terbangun dari tidurnya.
"Alhamdulillah, terima kasih nyamuk sudah membangunkan Ratih," ucap Ratih sambil tersenyum menatap jam dinding.
Ratih keluar dari kamar santriwati senior. Beberapa santriwati lain sedang mengaji, menghafal kitab, dan berdzikir sembari memakai mukena putih.
Ratih bergegas menuju toilet yang ramai untuk melaksanakan sholat malam.
Ratih segera melaksanakan sholat tahajud, menangis dalam sujud terakhir adalah hal yang biasa dilakukan Ratih.
"Manusia tidak ada yang sempurna, aku hanya ingin menjadi manusia yang bermanfaat untuk semua orang. Aku memang sedikit lambat dalam memahami sebuah pelajaran, apakah alasan itu membuatku diperlakukan tidak adil di sini? Aku di sini untuk mencari ilmu agama, mendoakan orang tua agar diberi umur panjang," batin Ratih sambil menangis.
Tangisan Ratih setiap malam membuatnya merasa beban terangkat dari hidupnya.
Masalah datang dari Allah SWT dan Ratih meminta solusi dari Allah SWT. Dia selalu mengadukan keluh kesahnya kepada Allah SWT melalui doanya setiap sujud sholatnya.
Tidak heran jika orang lain berpendapat bahwa Ratih alim, rajin beribadah, tetapi kurang dalam pelajaran.
Pendapat Ratih selalu berbeda dengan santriwati lain.
Ratih melanjutkan dengan bertasbih, matanya sembab karena merasa ngantuk dan lelah setelah sepanjang hari membersihkan kamar.
Dia terlelap dalam posisi duduk, menyender pada tiang penyangga mushola.
Seorang santriwati membangunkan Ratih yang terlelap.
"Ratih, bangun. Sudah hampir shubuh, ayo belajar kitab atau mengaji."
Ratih membuka matanya. "Ya, Mbak Liya." Ratih langsung mengambil air wudhu kembali.
Dia mengambil buku pelajaran kitab kosong untuk membaca di pagi hari.
Setelah mengambil kitab tersebut, Ratih bergegas melaksanakan solat sunah subuh.
Kegiatan setelah solat subuh adalah mengaji kitab kosong yang tidak memiliki tanda baca apapun, hal ini membuat Ratih sedikit kesulitan untuk membacanya.
Saat tiba di kelas, semua santriwati berlatih membaca dengan lancar dan cepat, membuat Ratih merasa sedih.
"Aku membaca berulang-ulang, tapi kok tidak lancar-lancar ya? Apa yang salah dengan diriku? Apa aku terlalu bodoh?" batin Ratih.
Dia kerap menyalahkan dirinya sendiri. Saat giliran Ratih, dia terus mengulang membaca karena tidak lancar, hal ini membuat para santriwati tertawa karena kebodohan yang Ratih miliki.
"Kamu ini sudah berapa kali, kamu ulang ini terus sampai kapan? Seperti ini saja!" teriak seorang ustadzah.
Ratih terdiam, merasa malu dan menganggap dirinya sangat bodoh.
Ustadzah mulai mengulang bacaan yang selalu salah dalam ucapan Ratih. Ratih diam dan mendengarkan setiap kata yang ustadzah ajarkan.
"Kamu ulang, ayo sekarang!" ujar ustadzah. Ratih mencoba bacaan yang ustadzah ajarkan padanya dan berhasil.
Wajah ustadzah tampak marah, tampaknya sudah mulai lelah mengajar Ratih. "Jika dibaca berulang itu akan bisa sendiri, paham?" tanya ustadzah.
Ratih menganggukan kepalanya dan mundur dengan pelan. Ratih berada di barisan paling akhir dan semua sudah selesai, membuat hati Ratih lega. Rasa hentakan dari ustadzah membuat dirinya semakin semangat belajar.
"Silakan, sudah jam enam lebih. Baca doa pulang, ingat belajar terus sampai bisa, paham?" ujar ustadzah.
"Ngih, ustadzah," ucap semua santriwati dengan suara perlahan. Ustadzah meninggalkan kelas dan semua santriwati berdoa pulang. Mata Ratih berkaca-kaca, mengingat ucapan ustadzah yang bernada tinggi itu membuat jantungnya berdetak kencang.
Setelah berdoa, semua santriwati membubarkan diri. Ratih tetap duduk dan bertasbih, mencoba menghentikan kegelisahan dalam benaknya.
"Astagfirullah, apa setiap hari jantung ini akan berdetak kencang setiap hari karena marah ustadzah kepada diriku? Sebodoh itukah saya sampai berulang-ulang belajar tidak bisa-bisa? Ingat, orang tua kamu menitipkan kamu ke sini untuk menjadi anak baik yang mengerti ilmu agama, walaupun banyak yang mengira aku ini anak buangan," batin Ratih.
Dia selalu menahan air matanya, namun hatinya lelah karena selalu merasakan ketidaknyamanan itu.
Tidak ada teman di kelas maupun di kamar karena Ratih dicap sebagai anak pembawa sial, bodoh, dan menyusahkan.
"Aduh, perutku sakit," ringis Ratih kesakitan.
"Apakah karena aku puasa dan tidak makan jadi begini ya, sakit," batin Ratih.
Ratih memegang saku bajunya dan membuka dompet kecilnya yang berisi uang dua ratus ribu rupiah.
"Dua bulan aku menabung untuk keperluan mendesak, setiap bulan aku berpuasa dua minggu dalam sebulan agar bisa menabung."
Sakit perut yang selalu dirasakan Ratih karena memaksakan dirinya untuk berpuasa tanpa makan malam. Dia hanya membuka puasa dengan sepotong roti dan air minum dari kran.
"Ustadzah berbicara dengan nada yang tidak biasa itu, kamu harus semangat Ratih. Memarahi diriku agar aku belajar dengan benar bukan membuat seorang down." Ratih beranjak dan memulai belajar untuk pelajaran hari ini.
"Hey Ratih, dari mana saja kamu? Lama sekali. Hari ini kamu piket kamar, hayuk sapu, pel dan nanti sore cuci piring. Jangan lupa belajar, disiplin ya."
Ratih menuruti ucapan mereka dan memulai mengerjakan tugas dengan menyapu dan memel. Rasa sakit dalam perut semakin terasa.
Hampir tiga puluh menit Ratih membersihkan kamar, wajah Ratih semakin pucat, nafasnya mulai tidak beraturan dan...
Brugh...
Ratih pingsan dan dihiraukan oleh teman kamarnya yang benci kepada Ratih.
"Haduh, akting saja ni anak," keluh Nabila.
"Nabila, kalau dia beneran gimana?" tanya Tania.
"Akting sudah, biarkan dia. Hayuk ah beli sarapan." Tania dan Fania meninggalkan Ratih yang pingsan.
Mbak Liya melangkahkan kaki ke kamar dan melihat
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangisan Santriwati (SELESAI) ✅
Teen Fiction(FOLLOW DULU BARU BACA) Apa rasanya seorang anak yang tidak di anggap oleh kedua orang tuanya dan menitipkan di sebuah pesantren sejak berumur 5 tahun? Ratih menunjukan ia memilih air bunga itu. "Bagus saya sudah duga akan hal itu." Seorang...