Ayana duduk seorang diri disalah satu kursi tunggu yang tidak jauh dari ruang rawat Hakim, sembari menggendong Davida yang sempat rewel beberapa menit lalu.
Perasaan bersalah menghampiri Ayana. Ia ingat saat-saat Hakim jatuh tersungkur sembari memegangi dadanya. Ayana bisa melihat betapa ketakutannya Hakim saat itu.
Ini semua juga salahnya.
Ia ingin langsung pergi dari rumah keluarga Raden, karena ia sendiri tidak tahu untuk siapa ia bertahan disana.
Tapi ia lupa, masih ada Hakim yang sangat peduli padanya, yang sangat sayang padanya. Walau tidak tinggal bersama keluarganya, Ayana merasakan kasih sayang seorang ayah dari sosok Hakim.
"Ini semua gara-gara kamu!"
Ayana mengarahkan pandangannya pada sosok Miranti yang sudah berdiri dengan wajah tersungut amarah.
"Kalau kamu tidak menerima pernikahan dengan Raden, suami saya tidak akan bergantung sama kamu!", bentak Miranti.
Ayana menghela napas. Ia berusaha menenangkan Davida yang bergerak tidak nyaman, karena bentakan Miranti sebelumnya.
"Kenapa ibu menyalahkan saya?", tanya Ayana dengan suara lirih.
"Karena semua masalah yang menimpa keluarga saya bersumber karena kehadiran kamu!", tunjuk Miranti tak bisa menahan kekesalannya. "Semenjak kamu ada, semuanya kacau! Raden harus melakukan apapun dengan diam-diam, termasuk menikahi wanita yang paling dia cintai!"
Tubuh Ayana gemetar. Perlahan ia bangkit berdiri, matanya menatap lurus sang ibu mertua. "Kenapa semua itu menjadi kesalahan saya, Bu? Kenapa kesannya saya yang jadi tersangka dalam perkara ini? Saya yang dibohongi, dan ibu masih menyalahkan saya?", tanya Ayana dengan nada sendu.
Erin dan Raden menjadi saksi perdebatan mereka berdua. Erin menatap Raden.
"Kasihan istri pertama kamu, Raden. Dia dimarahi ibu," kata Erin yang masih melingkarkan tangannya di lengan Raden.
Raden tak menanggapi ucapan Erin. Tatapannya fokus pada Miranti dan Ayana.
"Ibu tahu 'kan soal ini sejak awal?", tanya Ayana tepat sasaran, membuat Miranti langsung merasa tertohok.
Miranti mencengkeram tangan Ayana. "Kenapa memang jika saya sudah tahu sejak awal? Apa yang saya lakukan sudah benar! Saya mengantarkan Raden pada cintanya, lalu dimana letak kesalahannya?"
Miranti melepas kasar tangannya dari lengan Ayana, menatap tajam menantunya itu.
Kedua mata Ayana berkaca-kaca. "Memang tidak ada yang salah, jika itu memang dari sudut pandang Ibu. Seorang ibu akan melakukan apapun demi anaknya, salah benar bukan lagi patokan dalam mengambil keputusan. Tapi, ibu melakukan hal yang keliru. Ibu sudah mendukung tindakan Raden, padahal itu tidak benar."
PLAK!
Miranti menampar Ayana, hingga Ayana termundur dan jatuh duduk di kursi, pegangannya pada tubuh mungil Davida menguat.
"Kurang ajar kamu! Beraninya kamu berkata seperti itu kepada saya!" Lagi-lagi Miranti meradang, tapi Ayana tak lagi menanggapi. Ia hanya duduk sembari menahan perih disalah satu pipinya.
Raden hanya bisa memandangi itu dengan perasaan berkecamuk. Ia bingung harus melakukan apa. Begitu pula dengan Erin. Perempuan itu bahkan menutup mulutnya sendiri saking terkejutnya melihat kejadian itu didepan matanya.
***
Setelah mendapat perawatan beberapa hari di rumah sakit, Hakim akhirnya diperbolehkan pulang.
Ayana menunggu diluar kamar Hakim, sembari menggendong Davida. Miranti mencegahnya masuk.
Ia hanya bisa memandangi sosok Hakim dibalik pintu kamar yang sedikit terbuka. Di dalam sana Hakim terbaring. Ada Miranti, Raden, dan Erin yang berdiri disisi tempat tidur Hakim.

KAMU SEDANG MEMBACA
Twolove
RomanceTentang Ayana. Dengan segala kebodohan, ketidaktegasan, dan ketidakberdayaannya. Menikah karena dijodohkan oleh kedua orang tua, karena takut anak perempuan mereka akan tetap perawan di usia tua sudah bukan hal yang mencengangkan lagi. Ayana Gayatri...