"Habis darimana kamu?"
Dania menoleh kepada Ayana yang rupanya tengah menggendong Davida. "Anak kamu sejak tadi rewel, dan aku kaget ternyata kamu tidak ada di rumah. Habis darimana? Tidak usah cari alasan untuk menutup-nutupi," tanya Ayana lagi.
Dania duduk tepat di tepi tempat tidur. "Maaf, Ayana. Aku tadi ke rumah sakit, tempat dimana istri kedua suamimu itu dirawat."
Kedua mata Ayana terpejam. Ia sudah menduganya sejak awal. "Aku tidak akan marah, karena apapun yang berhubungan dengan keluarga mereka, bukanlah urusanku lagi. Lagipula, kamu cuma buang-buang energi untuk bicara dengan orang yang punya hati batu seperti mereka."
Dania menghela napas. "Kamu benar. Tapi aku senang karena aku puas memaki si Erin. Andai kamu melihatnya, pasti akan lebih menyenangkan. Apalagi saat aku membongkar kedok Erin di depan anggota keluarga mereka, lega banget rasanya."
"Aku tidak peduli soal mereka." Ayana menjawab singkat. Ia fokus tersenyum pada Davida. Ia lalu melirik Dania. "Dania, pokoknya, ini terakhir kali kamu berurusan sama mereka. Lagipula, hidup keluarga kita lebih penting untuk dipikirkan, daripada melempar caci maki kepada mereka. Mereka yang hanya peduli dengan orang yang mereka anggap penting di kehidupan mereka, tidak akan pernah peduli dengan orang luar, sekalipun ada ikatan yang membuat mereka terhubung dengan orang luar itu."
Ayana menghela napas. "Contohnya aku. Aku terlalu keras kepala, meminta waktu dua bulan untuk mempertahankan. Tapi aku sadar, jika hidup dan kebahagiaanku bukan bersama mereka. Jadi aku mengambil langkah untuk bercerai."
Dania bangkit, mengusap pelan pundak Ayana. "Kamu tahu? Saat datang ke rumah sakit, dan ingin marah pada mereka, aku gemetar, Na. Tapi aku ingat kamu. Orang-orang mungkin mengira, aku ini sekuat itu. Tapi, sebenarnya aku belajar banyak dari kamu. Kamu tidak pernah mengeluhkan apapun di depan keluargamu, selagi kamu masih sanggup untuk memikul beban itu."
Ayana menghembuskan napas. "Aku tidak kuat, Dan. Aku hanya berusaha menguji batas sabarku selama ini, dan itulah tindakan keliru yang kulakukan."
"Kita berdua akan saling menguatkan." Dania menggenggam tangan Ayana.
"Kita berdua akan merawat Davida bersama-sama," balas Ayana kemudian.
Ayana kepikiran tentang sesuatu. "Dan, aku mau bilang sesuatu, tapi kamu jangan marah."
Sebelah alis Dania terangkat, lalu melengos. "Saat ini salah satu yang bisa membuatku emosi adalah sosok Yordan Tanjung, yang naasnya adalah bapak dari anak yang kulahirkan," kata Dania.
"Apa kamu tidak punya niatan untuk mengijinkan Yordan bertemu dengan Davida, sekali saja."
"Soal itu, sama sekali tidak pernah mau kupikirkan."
Ayana memperbaiki posisi tubuh Davida yang berada digendongannya. "Sekarang aku mau kamu memikirkannya sekali ini saja. Bukannya bermaksud untuk mengaturmu. Hanya saja, ini soal ayah dan anak perempuannya. Hubungan kamu sama Mas Yordan sudah selesai, tapi hubungan Davida dan ayahnya tidak mungkin kamu putus begitu saja. Mantan suami-istri memang ada, tapi mantan ayah-anak, itu tidak ada."
"Ayana...," rengek Dania tak mau lagi membahas soal Yordan.
"Dania, aku belum selesai," sela Ayana. "Setidaknya, kalau kamu tidak mau melihat Mas Yordan, itu tidak salah. Hanya saja, Davida berhak tahu siapa ayahnya, kan? Kamu mau, sampai usia Davida sudah mengerti tentang sosok Ayah, kamu akan terus menyembunyikan ini? Davida akan terus bertanya siapa ayahnya, dan ketika teman-temannya nanti bermain bersama ayah mereka, Davida pasti akan mendatangimu dan bertanya lagi soal ayahnya. Kamu mau Davida menanggung beban psikologis sampai dia dewasa, sebab tidak tahu tentang ayahnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Twolove
RomanceTentang Ayana. Dengan segala kebodohan, ketidaktegasan, dan ketidakberdayaannya. Menikah karena dijodohkan oleh kedua orang tua, karena takut anak perempuan mereka akan tetap perawan di usia tua sudah bukan hal yang mencengangkan lagi. Ayana Gayatri...