Kepala Ayana menunduk lemas. Sejak tadi Lazuardi terus saja membujuknya untuk memilih foto pemuda yang dianggapnya menarik. "Kamu lebih sreg sama yang mana?"
Ayana muak.
Bukan, ia tidak muak dengan sang ayah. Hanya saja ia terlalu muak dengan ucapan, dan pemikiran orang sekitar yang terlalu dangkal dan kolot. Apalagi sebagian besar orang -orang itu adalah orang yang memang ingin mencari celah untuk menjatuhkan Lazuardi.
"Apa ayah benar-benar lupa soal keinginan Ayana kemarin? Ayana sudah bilang, Ayana tidak mau ayah menyuruh Ayana menikah!" Ayana berbicara dengan nada suara meninggi, hampir saja ia tidak bisa mengendalikan lisannya. Kepalanya menunduk dengan perasaan bersalah. Untuk kali pertama ia berbicara dengan nada suara cukup tinggi pada Lazuardi.
Lazuardi maklum dengan sikap yang Ayana tunjukkan. Ia mengakui jika ia terlalu menekan dan terlalu ikut campur untuk urusan jodoh dan pernikahan Ayana. Tapi, jika ia tidak turun tangan, Lazuardi dihampiri ketakutan jika Ayana akan menghabiskan waktunya sendiri seumur hidup.
Mengusap wajahnya pelan, Lazuardi duduk dekat Ayana. Ia memandang wajah anak gadisnya dari samping. "Dua puluh lima tahun yang lalu, ayah mendengar suara tangisan bayi...."
Ayana menolehkan kepalanya saat Lazuardi buka suara.
"Untuk sekian lama, ayah akhirnya menangis lagi. Bukan karena sedih, tetapi senang dan juga terharu." Pikiran Lazuardi akhirnya melayang, benar-benar seperti terlempar di masa dua puluh lima tahun yang lalu.
"Badan kamu yang kecil dan merah itu buat Ayah makin kagum sama Allah. Dia ternyata bisa menghadirkan kamu dengan bentuk baik dan sempurna."
Ayana menggigit bibir mendengar ucapan sang Ayah. Hampir saja bulir bening itu menetes dan membasahi pipinya, tapi ia menahannya mati-matian. Rasa malu itu lebih dominan menguasai hatinya kala itu.
"Awalnya ayah takut meraih tubuh mungilmu, dan membawanya ke gendongan ayah. Saat itu, ayah berpikir jika kamu adalah sesuatu yang sangat istimewa, Ayah takut menyakiti kamu, dan membuat kamu menangis karena perlakuan Ayah. Tapi Ayah tetap memberanikan diri. Ayah menggendongmu, dan mengadzankanmu. Ayah terus saja menangis. Saat itu, Ayah sudah menentukan bahwa waktu dimana kamu dilahirkan, adalah salah satu waktu dimana ayah merasa sangat bahagia."
Ayana masih diam.
"Sejak saat itulah, Ayah berusaha menjaga dan menyayangi kamu, semampu yang Ayah bisa. Apapun yang kamu inginkan, Ayah akan memberikannya dengan sukarela. Karena dibandingkan semua itu, kamu jauh lebih penting." Lazuardi nampak menghela napas, matanya ikut berkaca-kaca saat itu. "Untuk itulah, setiap kali Ayah melihatmu, Ayah senang, tapi disisi lain rasa takut itu tidak bisa Ayah hindari. Ada waktu dimana kamu akan pergi dan memulai hidup baru. Ayah akan menyerahkanmu pada pria yang dipercaya bisa menjagamu. Cepat atau lambat waktu itu akan tiba, dan ayah tidak mau kamu salah pilih dan jatuh ke pelukan orang yang salah. Ayah tahu bagaimana karaktermu. Selama ini interaksimu dengan lawan jenis tidak begitu banyak."
"Jadi itulah sebabnya ayah bersikap seperti ini?", tanya Ayana dengan suara pelan, yang langsung diangguki oleh Lazuardi. "Iya. Karena alasan itu Ayah terkesan begitu mendesak dan menekanmu untuk urusan calon suamimu. Ayah tidak mau, kamu mengalami nasib yang sama seperti Ibumu, karena Ayah telah tega menduakannya."
Ia tak sangka jika Ayahnya bisa menyayanginya dengan cara yang bisa dikatakan berbeda. Ayahnya begitu mencintai, menghargai, dan menjaganya.
Hingga ucapan Lazuardi berikutnya sukses membuat Ayana berpikir keras.
"Pikirkan sekali lagi, nak. Ayah tidak mau kamu salah memilih, karena hancurnya hatimu, sama saja menghancurkan hati Ayah."
*****

KAMU SEDANG MEMBACA
Twolove
RomansaTentang Ayana. Dengan segala kebodohan, ketidaktegasan, dan ketidakberdayaannya. Menikah karena dijodohkan oleh kedua orang tua, karena takut anak perempuan mereka akan tetap perawan di usia tua sudah bukan hal yang mencengangkan lagi. Ayana Gayatri...