TwoLove | 63

1.1K 95 34
                                    

Erin merasa beberapa hari ini kehidupannya menjadi sangat buruk.

Raden menjatuhkan talak, ditambah lagi Deni yang belum mau berbicara padanya. Erin merasa sesak.

Setiap ada waktu, ia memikirkan, apa kesalahan yang ia lakukan selama ini? Apakah dia tidak bisa bahagia seperti orang lain? Dia hanya ingin menjadi dirinya sendiri, ia tak mau ambil pusing dengan anggapan orang lain.

Tapi selama bertahun-tahun, Erin memilih menyembunyikan karakter aslinya. Hanya beberapa kali saja ia berani menampakkannya, tepatnya saat ia dan Ayana berdebat dan bertengkar.

Erin mengakui, jika dirinya memang tidaklah sebaik itu.

Ada alasan mengapa dia harus bersikap 'jahat' dan juga 'licik'.
Erin sendiri tidak tahu, yang mana karakter aslinya.

Erin langsung menghela napas. Memikirkan segala hal yang berkaitan dengan dirinya membuat kepalanya serasa ingin pecah.

Ia ingin sekali berbicara banyak dengan Deni, tetapi ayahnya itu sudah meninggalkan rumah sejak tadi pagi. Seolah, Deni memang sengaja menghindar darinya.

Kedua mata Erin memejam. Alangkah lebih baik dia berbicara saja dengan ibunya. Ia harap, setelah berbicara dengan Lina, perasaannya akan jauh lebih baik dan ringan.

Langkah Erin perlahan menuruni anak tangga rumahnya, sembari memanggil ibunya.

"Ibu!", panggil Erin lagi, sampai ia pun berjalan hingga pintu rumah yang terbuka. Perempuan itu mengerutkan kening, apakah Lina sedang ada diluar?

Tak mau ambil pusing dengan pertanyaan yang muncul di kepalanya, Erin melangkah keluar dari rumahnya.

"Ibu?", gumamnya kala ia melihat Lina tengah berdiri berhadapan dengan seseorang dengan tubuh tinggi besar, dan posisi orang itu dalam keadaan membelakangi Erin.

Semula Erin tak menaruh curiga, menganggapnya biasa saja, tapi saat orang itu menyebut nama Deni, Erin panik. Ia mendekat, berharap keduanya tak menyadari keberadaannya disana.

"Beraninya kamu datang kemari dan mengancam saya!", kata Lina dengan suara tertahan. Sesekali ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Kalau anda yang tidak memulai lebih dulu, saya tidak akan repot untuk turun tangan. Jika anda tidak terlalu banyak bicara, saya tidak akan datang kemari."

Garis wajah Lina berubah menjadi lebih kesal. "Kalau kamu dan atasanmu tidak berbuat ulah dengan melibatkan anak saya, saya tidak akan berniat melaporkan kalian ke kantor polisi! Karena kalian berdua, anak saya sempat syok, karena kalian meneror dia dan suaminya."

Erin tersentak.

"Jadi ibu tahu, siapa yang meneror kami selama ini? Ibu ternyata sudah menyelidiki semuanya?" Erin mengusap wajahnya, masih penasaran. Tentunya, otak dari segala teror itu berasal dari atas lelaki dengan tubuh tinggi besar itu.

"Sudahlah, nyonya Lina. Kalau memang ibu ingin membuat semua itu berantakan, silakan. Tapi nyonya jangan lupakan, atasan saya memegang kartu AS ibu, sekali beliau mengungkap kebenarannya, ibu akan hancur."

"Apa maksud kamu?"

"Erin Fredella, bukanlah anak kandung Tuan Deni, bukan? Erin adalah hasil hubungan gelap nyonya dengan seorang pria, sebelum nyonya menjebak Tuan Deni, dan Tuan Deni mengira kalian telah tidur bersama, dan anak yang nyonya kandung saat itu adalah anaknya. Faktanya? Justru menunjukkan hal yang sangat miris. Ini sudah berapa tahun, nyonya? Ah, dua puluh tiga tahun?"

Garis wajah Lina menurun. Rasa cemas meliputi wajahnya saat itu. Tubuhnya gemetar, kini terlihat menangkup kedua tangannya dengan gestur memohon, agar rahasia besar itu tidak bocor ke siapapun.

TwoloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang