TwoLove | 50

1.1K 101 33
                                    

Raden tidak bisa tidur.

Sungguh, semenjak Ayana kembali lagi, ditambah perubahan sikap wanita itu, Raden merasa akan ada perlawanan yang dilakukan Ayana di dalam rumah tangga ini.

Matanya melirik Erin yang sudah tertidur pulas. Ia agak takut jika Ayana akan mencelakai Erin. Atau melakukan yang lebih buruk dari apa yang dia bayangkan.

"Berhenti, Raden! Jangan berpikir jelek terus tentang kak Ayana! Jangan cari pembenaran!", tekan Raden pada diri sendiri.

Ia jadi teringat pembicaraannya pada Hakim tepat di ruang kerja. Hakim sudah menuntutnya untuk bersikap adil. Jadi, apakah sudah saatnya Raden mengambil keputusan?

Ia tersiksa karena tidak bisa mengucap talak pada Ayana, hati kecilnya mencegah untuk bercerai dengannya. Disisi lain, dia akan terus menyiksa Ayana dengan tekanan batin, dan juga membuat Erin bersedih karena sikapnya sebagai suami.

Raden akui, dia memang agak keras kepala.

Dia juga tipikal orang yang sulit mengambil keputusan.

Kringggg! Krrringgg!

Raden tersentak kala mendengar dering telepon rumah.

"Jam satu pagi, dan siapa yang menelpon malam-malam begini?"

Tak mau anggota keluarga lain bangun, Raden bergegas turun ke lantai bawah. Sesampainya dia disana, ia langsung mengangkat panggilan telepon itu.

"Halo, selamat malam!"

"Saya pastikan kehidupanmu akan menderita setelah ini."

Tubuh Raden menegak. "Siapa kamu?!", tanya Raden dengan nada amarah yang tertahan.

"Saya adalah sumber penderitaanmu."

"Halo..."

Raden berdecak. Telepon dimatikan secara sepihak. Dengan setengah membanting, Raden meletakkan kembali gagang telepon diatas pesawat telepon.

"Siapa lagi dia?", gumam Raden penasaran. Begitu mudahnya orang itu mengancamnya, padahal nomor telepon rumah Raden hanya beberapa orang yang mengetahui, dan si pengancam itu menelepon dan mematikan telepon sesuka hati.

Raden akan menemui Razi, dan akan memintanya menyelidiki siapa si penelpon itu.

****

Ayana menaikkan kedua alisnya saat Erin dan Raden melangkah turun dari tangga. Ayana memilih melengos. Ia bergerak mundur saat ia baru saja membantu menghidangkan sarapan untuk Miranti dan Hakim.

Ayana mengerutkan alis. "Kok kamu malah duduk duluan? Kamu belum siapin sarapan buat Raden, loh." Dalam hati Ayana ketar-ketir sendiri dengan ucapannya.

Erin melirik Raden, seolah minta tolong.

"Saya bisa siapkan sarapan saya sendiri, kak," balas Raden.

Ayana mendengus. "Saya lihat kamu sama Erin kode-kodean. Tujuannya apa, coba? Erin, apa susahnya kamu siapkan sarapan untuk Raden, ndak sampai sepuluh menit loh itu."

Erin membalas Ayana dengan tatapan remeh. "Sebelumnya saya minta maaf, Mbak. Tapi sepertinya mbak terlalu mengatur. Lagipula Raden sudah bilang dia mau menyiapkan sarapan sendiri."

"Wah!" Ayana membuat raut terkejut yang dibuat-buat, dan itu semakin memancing kekesalan Erin. "Terus...kalau kamu selalu seperti ini, terus peranmu sebagai istri apa?"

"Begini yah, Mbak, saya bukan pembantu yang harus menyiapkan apapun, saya tidak seperti mbak. Lagipula ada asisten rumah tangga."

Hakim dan Miranti saling memandang, menyaksikan perdebatan dua wanita yang menjadi istri anaknya.

TwoloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang