TwoLove | 30

1K 64 16
                                    

Ayana terkekeh pelan saat ia baru saja selesai berbincang dengan Arinda lewat telepon. Katanya, Ayah, Ibu, dan seluruh anggota keluarga akan berkunjung ke rumah mertuanya. Yulia sudah sangat rindu pada Ayana, kata Arinda seperti itu.

"Kamu pikir telepon rumah ini bisa dengan bebas kamu pergunakan?!"

Ayana tersentak. Ia menatap Miranti dengan sorot mata sayu. "Maaf, Bu. Tadi Ibu saya menelpon, dan kebetulan saat telepon rumah berbunyi, saya langsung mengangkatnya."

Miranti berdecih pelan. "Saya heran, kenapa anak saya belum sadar juga mengapa dia menikahi wanita seperti kamu ini. Tidak berguna, dan tidak bisa berbuat apa-apa."

Miranti langsung berlalu, menyisakan Ayana yang mati-matian menahan diri untuk masuk ke dalam kesedihan yang semakin dalam saja. Bahkan belum genap sebulan menikah dengan Raden, Ayana sudah diintimidasi hampir tiap hari oleh sang mertua.

Ayana menundukkan kepala, menghela napas. Sepertinya apapun yang ia lakukan akan tetap salah dan buruk dimata Miranti. Yang Ayana akan lakukan, akan ia lakukan dengan baik. Tak peduli Miranti akan mencecarnya nanti. Selama yang ia lakukan baik, Ayana tak seharusnya merasa sedih, bukan?

"Ayana,"

Ayana berbalik, dan melihat sosok Hakim berdiri tak jauh darinya. Cepat-cepat Ayana merubah ekspresi wajahnya. Hanya ada senyum disana. Dengan langkah cepat ia mendekat ke arah Hakim.

Ayana langsung meraih tangan Hakim dan menyalimnya.

"Kamu tidak papa, Nak?", tanya Hakim mengusap pelan kepala Ayana. Tubuh Ayana menegak, dengan pandangan lurus pada sang Ayah mertua.

"Ayana tidak papa kok, Ayah. Apa Ayah sudah makan? Tadi Ibu sudah siapkan makan siang untuk Ayah." Ayana malah mengalihkan pembicaraan. Hakim sempat menghela napas. Ia bisa pastikan jika menantunya ini mendapat perlakuan yang buruk dari Miranti.

"Jika kamu punya masalah, sampaikan pada Ayah. Jangan diam-diam saja. Ayah sudah menganggap kamu seperti putri ayah sendiri." Hakim mengusap lembut puncak kepala Ayana.

Ayana tersenyum tipis. "Iya, Ayah."

*****

Seminggu kemudian....

"Ibu, Raden sudah siap!"

Miranti memperhatikan Raden, senyum di wajah wanita paruh baya itu tak hilang. Ia merasa bangga, dan juga terharu memandangi putra semata wayangnya itu begitu bahagia dan tampan hari ini.

"Ibu juga sudah siap, Nak. Ayo!"

Keduanya melangkah pelan-pelan keluar dari kamar Raden. Miranti memperhatikan sekeliling, bernapas lega kemudian saat ia tak menemukan seorang pun yang melihat mereka.

"Ayo, Bu!" Raden segera menggenggam tangan Miranti, melangkah pelan dan akhirnya mengayunkan kaki mereka dengan gestur cepat keluar dari rumah.

"Untung saja tidak ada yang lihat," ujar Raden dengan nada suara lega.

"Iya, apalagi jika Ayahmu yang sampai memergoki kita, bisa gawat. Ya sudah, kita berangkat sekarang!"

Keduanya masuk ke dalam mobil yang memang sudah Raden persiapkan sejak pagi buta. Saat ditanya alasannya oleh Hakim, Raden hanya menjawab ingin mengendarai mobil saja untuk ke pabrik , sekaligus memantau karyawan di sana. Hakim sendiri langsung percaya begitu saja, tak menaruh curiga apapun pada sang putra.

Dengan segera, Raden melesatkan kendaraannya untuk keluar dari rumah, sebab ia sempat melihat Ayana bersiap keluar dari rumah dengan membawa alat penyiram bunga.

Di dalam mobil, Raden tak henti tersenyum, demikian pula dengan Miranti. Keduanya begitu bahagia hari ini. Segalanya bisa mereka lalui dengan mudah.

"Tadi Raden lihat Kak Ayana, Bu." Raden berujar, Miranti menoleh sekilas, lalu tersenyum sinis. "Tidak usah pedulikan istrimu itu. Fokus saja pada kebahagiaan di depan matamu. Istri yang kamu nikahi itu sama sekali tidak tahu apapun tentangmu, jadi tidak usah pikirkan dia."

Raden mengangguk patuh. Ia fokus mengendarai mobilnya, diselingi rasa bersalah. Apa tindakannya ini sudah benar? Sudah tepat? Apakah setelah ini semuanya akan jauh lebih baik?

Dengan cepat Raden menggelengkan kepala. Ia hanya perlu fokus pada Erin, bukan?

*****

"Ayah sudah mengabulkan semua yang kamu minta, Erin. Ayah harap kamu bisa jauh lebih bahagia dari ini."

Deni membuang pandangannya dari Erin. Saat ini ia merasa ia telah membuang jauh harga dirinya demi keinginan putrinya, dan juga merobohkan tembok yang sangat besar, yang sudah puluh tahun ia buat.

Ini semua demi kebahagiaan Erin.

Membayangkan beberapa hari yang lalu, anaknya itu hampir saja mengakhiri hidup, dan mengatakan jika ada sosok lain yang hidup saat ini, membuat kepala Deni serasa ingin meledak saja rasanya.

Tak sampai disitu, mengingat bahwa putra dari musuh lamanya datang menemuinya dan Erin, Deni makin murka saja.

Erin bahagia sekali. Ayahnya akhirnya menuruti keinginannya. Walau sebenarnya, Raden dan ibunya punya andil besar dalam urusan ini.

Yang lebih membahagiakan, Erin merasakan jika rencana ini berjalan lancar, dan tidak ada gangguan.

Termasuk dari Hakim, ayahnya Raden.

"Mereka sudah datang," kata Lina--Ibunya Erin. Wanita paruh baya itu segera mendekat ke arah pintu rumah. Menyambut Raden dan Miranti.

"Ayo, masuk!", ajak Lina dengan ekspresi yang sangat senang. Sudah ada beberapa tamu disana.

Raden dan Miranti melangkah dengan perasaan yang lebih ringan dan juga lega. Hanya menunggu hitungan menit saja, semuanya akan benar-benar berubah.

Raden langsung merapikan setelan jasnya, mengambil sesuatu yang tersimpan di saku celana hitamnya, sebuah kopiah.

Ia segera mengenakannya di kepala, berjalan cepat dimana beberapa tamu sudah menunggu.

Disana Erin sudah nampak cantik dengan gaun putih, dan rambutnya disanggul indah. Yang membuat Raden senang sekaligus lega, keberadaan ayah Erin, Deni, yang walaupun belum sepenuhnya merestui keduanya turut hadir di acara itu.

"Sudah boleh kita mulai prosesi akadnya?", tanya penghulu pada tamu yang hadir.

"Silakan," jawab Deni.

Kepala penghulu itu mengangguk singkat. Ia mengulurkan tangan ke depan dan segera disambut oleh Raden.

Lafal ijab kabul mulai diucapkan penghulu, setelah selesai, kini Raden yang akan kembali mengucapkannya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Erin Fredella binti Deni Ankusawirya dengan mas kawin emas 75 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Sah!"

Gumaman hamdalah memenuhi seisi ruangan, saat Raden baru saja mengucapkan ijab kabul dengan suara lantang,  mengakhiri proses akad nikah dan membuat statusnya dan Erin telah berubah.

Mereka sudah menjadi sepasang suami istri.

Dengan cepat Raden memasangkan cincin pada Erin, dan Erin melakukan hal yang sama. Setelahnya, Erin meraih tangan Raden dan mencium punggung tangan pria yang sudah menjadi suaminya itu. Ia sudah merasa lega.

Raden menatap Erin dalam, tanpa sadar air matanya berlinang. Salah satu impian besarnya untuk bersama dengan Erin telah terwujud. Urusan lainnya, saat ini Raden tak ingin memikirkannya. Masa depannya bersama Erin terbentang panjang dan luas dihadapan mereka.

Keduanya bangkit berdiri, menghampiri orang tua mereka dan meminta doa untuk kebaikan rumah tangga yang akan mereka jalani kini.

*****

Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita TwoLove

Maaf banget beberapa hari ini tidak up cerita ini sama sekali, dikarenakan lagi sibuk ikut UAS

Hehe, tapi alhamdulillah UAS-nya sudah selesai, dan cerita ini di up kembali

Semoga rindu kalian terobati yah dengan di up nya cerita ini, semoga suka :), dan terima kasih karena masih stay sama cerita ini

Jangan lupa vote dan komentarnya

Salam hangat,
Dhelsaarora

TwoloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang