Sudah saatnya Dania untuk kembali ke rumahnya.
Ayana membantu Dania memasukkan barang-barangnya ke dalam mobil milik Gustav. Ada rasa sedih dihati Ayana. Tapi, dibandingkan dengan kepergian Dania kembali ke rumah orang tuanya, akan lebih menyedihkan jika anak Dania berakhir di panti asuhan. Setidaknya, Ayana merasa jika terpisah jarak jauh seperti ini, kasih sayang Dania pada sang anak tak akan pernah berkurang.
Ketika seluruh barang Dania sudah disusun rapi di dalam bagasi mobil, Gustav, Aina, dan juga Dania mulai berpamitan pada keluarga Ayana.
"Mas, kami pamit," kata Gustav lalu memeluk Lazuardi.
"Iya, kamu hati-hati. Jaga keluargamu baik-baik." Lazuardi menepuk-nepuk pelan pundak Gustav.
Dania mendekati Ayana, memeluk Ayana sebelum ia benar-benar pergi. "Terima kasih, Ayana. Kamu orang yang aku percaya."
"Jaga diri kamu, Dania. Anakmu akan kujaga baik-baik, seperti aku menjaga kamu selama ini."
"Iya, Ayana. Aku percaya."
Keduanya mengurai pelukan.
Hingga sesi berpamitan itu berakhir, dengan berat keluarga Ayana melepas keluarga Dania untuk pergi.
*****
Dania sudah pergi, begitupun dengan Bik Anin, asisten rumah tangga Dania yang juga pamit beberapa jam lalu untuk pulang kampung.
Ayana duduk seorang diri di tepi kolam renang. Kakinya ia biarkan tenggelam setengah ke dalam air. Matanya menerawang. Ia ingin kembali dimasa ia tak mengenal semua masalah yang ia temui di usia dewasa ini.
Ayana hanya ingin tertawa lepas dan tidak dihantui beban berat seperti saat ini. Kalau ditanya ia menyesal bertumbuh dewasa, Ayana tentunya tidak menyesal. Hanya saja, Ayana sedih dengan kenyataan usia dewasa ini tidak seindah masa kanak-kanaknya.
"Masih mikirin Dania?"
Ayana menoleh perlahan. Mendapati Yulia berdiri disampingnya.
Ayana tersenyum tipis. "Nggak, Ma. Ayana cuma sedih. Menjadi dewasa itu tidak begitu menyenangkan."
Yulia tersenyum maklum. Dia pun duduk tepat disebelah Ayana. "Mama siap dengar apa yang ingin kamu katakan. Ayo cerita," bujuk Yulia.
"Mama ingat, nggak? Waktu kecil, Ayana selalu main bareng Dania sama Ila. Ketawa lepas, main sepuasnya." Ayana menggulum bibirnya. "Tapi sekarang? Kami sudah punya kehidupan masing-masing. Ila yang baru menikah dan bahagia dengan orang yang mencintainya. Disisi lain, ada Dania yang baru jadi seorang Ibu, tetapi sekarang ia harus menempuh jalan untuk bercerai."
Perasaan Ayana campur aduk kala mengatakan keluh kesahnya kepada Yulia. Posisinya terjepit sekarang.
"Mama paham dengan apa yang kamu pikirkan. Tapi, ini sudah jadi ketentuan Allah, Yana. Sekarang, yang penting kalian jalani kehidupan kalian dengan ikhlas, dengan sabar. Kamu sendiri sudah tahu, Allah tidak akan membebankan sesuatu melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Dania diberikan ujian seperti ini, karena dia bisa jadi lebih kuat setelah ini. Percayalah, Nak."
Ayana terdiam. Menikmati sensasi dingin karena air kolam di kakinya. Setelah Yulia mengatakan itu, setidaknya Ayana bisa merasa lebih lega.
"Mama masih ragu kalau pernikahan Raden dan Ayana terjadi?"
Yulia nampak agak tersentak kala Ayana kembali membahas itu. "Kalau kamu bertanya soal itu, Mama jujur saja masih merasa kalau Raden bukan lelaki yang tepat buat kamu. Mama sudah memohon pada Ayah dan Ibumu agar membatalkan pernikahan ini, tapi mereka tidak percaya karena Mama tidak punya bukti. Mama yakin, Raden punya kekasih, Yana. Hari itu Mama sempat melihat mereka."
Helaan napas pelan keluar dari mulut Ayana. Ia memang ingin sekali menanyakan pada Raden soal ini. Tapi sampai sekarang dia sama sekali kehilangan keberanian untuk bertanya, meskipun hari itu ia dan Raden sempat jalan berdua.
"Mama benar. Ayana sendiri ragu dengan pernikahan ini. Ayana yakin orang seperti Raden sudah punya wanita yang dia cintai. Ayana tidak mau wanita itu sampai sakit hati karena pernikahan ini."
Yulia mengangguk pelan. "Kalau kamu ragu, batalkan rencana pernikahan ini."
"Tidak, Ma. Ayana akan tetap melanjutkan ini. Mama yang bilang, jalani takdir dengan sabar dan ikhlas. Tapi, Ayana akan tetap menanyakan beberapa pertanyaan pada Raden. Kalau memang Raden memiliki kekasih, Ayana akan mundur, Ma. Ayana tidak ingin menghakimi Raden kalau nyatanya Mama yang salah paham."
"Bagaimana kalau Raden bohong padamu?", balas Yulia dengan gestur tidak tenang.
"Kalaupun dia bohong, Ayana mungkin merasa sedih, tetapi yang melakukan kebohongan itu sendiri akan sangat menyesal, dan mungkin saja rasa bersalahnya ia akan pikul seumur hidup. Takdir akan membawa ini menuju jalan yang memang sudah digariskan."
Yulia bungkam, walau ia sendiri sudah sangat tidak tenang.
*****
Raden mengenakan kemeja berwarna biru muda dengan celana kain berwarna hitam sebagai bawahannya. Rambutnya disisir rapi.
Malam ini adalah acara makan malam antara keluarganya dan keluarga Ayana. Persiapan yang dilakukan keluarganya sudah dilakukan sejak siang tadi. Pelayan di rumahnya sudah diperintahkan memasak banyak makanan lezat.
"Kamu sudah siap rupanya."
Raden berbalik kala Hakim berjalan masuk ke dalam kamarnya. Tidak seperti biasanya, aura ayahnya itu nampak berbeda malam ini. Ayahnya jadi lebih banyak tersenyum dan menjadi pribadi yang begitu hangat.
Ralat, bukan malam ini, tetapi semenjak Ayana dan Raden setuju untuk menikah.
"Ayah kelihatan senang sekali," kata Raden memandang Hakim lurus-lurus.
"Tentu saja Ayah senang. Kamu akan menikah dengan perempuan yang baik seperti Ayana."
Raden menatap Ayahnya dalam diam. Namun di dalam hati ia menyesali ini. Ayahnya terkesan begitu egois dan memaksakan kehendaknya, sekalipun itu urusannya perihal hidup dan perasaan Raden sendiri.
"Yasudah, Ayah turun ke bawah dulu. Setelah kamu sudah benar-benar siap kamu menyusul."
Kepala Raden mengangguk lemah. Matanya tidak lepas dari punggung Ayahnya yang sudah begitu jauh dari pandangannya.
Raden mengeraskan rahang. Pikirannya tertuju pada Erin. Ia tidak bisa bayangkan bagaimana sedih dan sakit hatinya gadis itu. Raden bahkan tidak pernah berbuat menyakiti Erin sedikit pun. Ia mencintai Erin, sangat.
Sayangnya ia terjebak dalam rencana pernikahan ini.
Tapi Raden sudah memikirkan rencana ke depannya. Ia bahkan sudah berjanji akan tetap menjadikan Erin miliknya. Hanya Erin, tidak ada wanita lain.
Raden perlahan melangkah keluar dari kamarnya.
"Kamu kenapa?"
Raden mengangkat pandangannya, dan ia menemui sosok Miranti yang sudah nampak anggun dengan gaun berwarna coklatnya malam ini.
"Raden cuma kepikiran Erin, Bu. Raden bingung bagaimana cara memberitahu Erin soal rencana pernikahan ini." Raden mengusap pelan wajahnya.
"Tenang, Raden. Ada Ibu yang bisa membantumu. Ibu juga akan menjelaskan semuanya pada Erin. Kamu juga sudah punya rencana untuk kelangsungan hubungan kamu. Ibu dukung semua keputusan yang berhubungan dengan kamu dan juga Erin."
"Terima kasih, Bu. Hanya Ibu yang paham soal ini."
"Ya sudah, ayo!", ajak Miranti, sementara Raden sudah berjalan pasrah dibelakang Ibunya.
*****
Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita TwoLove
Jangan lupa vote dan komentarnya
Salam hangat,
Dhelsaarora
KAMU SEDANG MEMBACA
Twolove
RomanceTentang Ayana. Dengan segala kebodohan, ketidaktegasan, dan ketidakberdayaannya. Menikah karena dijodohkan oleh kedua orang tua, karena takut anak perempuan mereka akan tetap perawan di usia tua sudah bukan hal yang mencengangkan lagi. Ayana Gayatri...