TwoLove | 58

1.1K 100 28
                                    

Raden tiba di rumahnya dengan napas memburu. Wajahnya tidak bisa menunjukkan raut tenang saat kembali dari rumah sakit tadi. Saat ia tahu jika Ayana mendonorkan darahnya pada Erin, Raden ingin segera memberitahu ayahnya.

"Raden, bagaimana? Apa kata dokter?", tanya Hakim. Memang, sebelumnya Raden telah menelponnya menggunakan telepon kantor. Ia memberi tahu jika ingin berkonsultasi pada seorang dokter kandungan, agar Erin bisa mengandung walau kemungkinannya sangat kecil.

Raden tidak menjawabnya, kegelisahan diwajahnya menjadi celah bagi Hakim untuk mengajukan pertanyaan lain. "Ada apa?"

"Kak Ayana, ayah..." Raden seolah malu mengatakan fakta ini. Makin lama, ia makin tersiksa dengan perasaan bersalahnya. "Ternyata kak Ayana yang telah mendonorkan darah untuk Erin."

"Benarkah?", tanya Hakim dengan wajah tidak menyangka. "Astaga, ini bukan cuma sekadar kesalahan, kita telah berbuat dosa, karena telah menyakiti Ayana sampai seperti ini."

Kedua mata Raden terpejam sebentar, dan tiba-tiba wajah Ayana muncul begitu saja. Raden membuka kedua matanya, ia langsung teringat ucapan Hakim tempo hari.

Antara Ayana dan Erin, Raden melihat jika sosok Ayana-lah yang terus saja muncul. Akhir-akhir ini, wajah Ayana selalu menbayanginya. Entah ini memang cinta, atau justru perasaan bersalah.

Kalau Raden boleh jujur, ia memang ingin sekali melihat Ayana, walau sebentar saja. Sepertinya yang memang ia rasakan, ia merasa kehilangan Ayana, ia tak terbiasa tanpa ada Ayana. Di tiap kesehariannya, selalu ada Ayana. Entah memberi bekal, atau berdebat kecil jika mereka tidur dalam satu kamar.

Raden rindu saat-saat itu.

Langkah Raden membawanya mendekati sofa, dan duduk disana. Ia mengusap wajahnya. Wajahnya menunjukkan raut sedih yang begitu kentara.

Hakim mendekat, menepuk pelan pundak Raden. "Ayah mengerti apa yang kamu pikirkan, nak. Kalau memang kamu sudah tidak bisa menahan diri, cobalah temui Ayana besok. Katakan semua yang ingin kamu katakan. Jangan ada lagi ucapan yang kamu tahan."

"Tidak bisa, Ayah mertua!"

Kedua lelaki itu seketika menoleh saat mendapati Erin turun dari tangga dengan langkah angkuh. "Raden tidak boleh bertemu dengan wanita lain lagi, termasuk mbak Ayana."

Raden langsung bangkit. "Kenapa?", tanyanya dengan wajah kaget.

Erin melipat kedua tangan di depan dada, berusaha memberi tatapan yang mengintimidasi, dan Raden tak begitu peduli akan hal itu. "Kamu lupa, Raden? Aku ini istri sahmu. Jadi aku berhak melarang suamiku, jika dia ingin bertemu dengan wanita lain."

"Tapi kak Ayana bukan wanita lain, dia juga istri sahku. Istri pertamaku. Aku bahkan tidak pernah menjatuhkan talak atau cerai padanya."

"Yasudah, ceraikan saja dia! Kamu mau apalagi memangnya? Kalian tidak saling cinta." Erin menukas dengan nada remeh.

"Kamu pikir menceraikan wanita sebaik dia itu jalan terbaik? Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menjatuhkan talak pada kak Ayana."

Wajah Erin berubah memias. Perlahan ia dihantui ketakutan yang selama ini mengusik pikirannya.

Ketakutan jika Raden sudah mencintai Ayana, tanpa Erin sadari.

Ada pepatah yang mengatakan, 'cinta bisa tumbuh, karena terbiasa bersama'. Selama ini, Ayana jauh lebih sering memperhatikan Raden, entah Raden peduli atau tidak, tapi Ayana selalu ada untuk Raden. Ayana itu bagai sayap pelindung untuk Raden. Kalau perlu, Ayana bahkan berani pasang badan untuk Raden.

Erin mendekat. "Kenapa kamu tak mau menjatuhkan talak? Oh, apa jangan-jangan kamu telah jatuh cinta padanya?!"

Raden menatap Erin dengan sorot menantang. "Jawabanku ya atau tidak, apa itu berpengaruh? Andai aku memang mencintainya, aku bisa apa?"

TwoloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang