"Dania, kamu ikut Ayah pulang ke rumah!"
Gustav berkata dengan wajah tak ingin orang lain mencegahnya kali ini.
"Nggak, Ayah! Dania akan tetap disini. Kalau Dania pulang, Ayah akan dipermalukan nanti." Dania berkata tak kalah tegas.
Untuk sekali ini saja, Dania ingin bersikap keras kepala.
Dibalik pintu Ayana hanya bisa menangis dalam diam. Sedih rasanya melihat Dania menghadapi semua permasalahan ini. Status barunya sebagai seorang Ibu harusnya membawa kegembiraan, tapi nyatanya Dania dihadapkan dengan permasalahan yang berimbas akan berakhirnya biduk rumah tangganya.
"Menangisi nasib seseorang itu tidak baik, Yana."
Ayana berbalik dan mendapati Lazuardi sudah mengusap pelan kepalanya.
Ayana terdiam. Ia tahu Lazuardi masih ingin mengatakan sesuatu. "Bukan hal yang mudah melihat orang yang dekat dengan kita ditimpa masalah seperti ini. Tapi, dibandingkan dengan menangisinya, akan lebih baik untuk menyemangatinya. Yakin jika Dania bisa melewati semuanya."
Dibalik tangis sedihnya, senyum Ayana muncul kembali. Ayahnya memang benar. Lagipula, dengan terus menangis hanya akan membuat siapapun lemah. Menangis memang wajar, tapi jangan sampai membuat seseorang tidak bisa bangkit dan berjuang lagi.
Ayana mengusap perlahan pipinya yang basah dengan air mata. Dengan keyakinan penuh, gadis itu melangkah masuk dan ikut bergabung bersama Gustav serta Dania.
"Om, kalau Ayana boleh kasih saran, Om nggak perlu membawa pulang Dania. Ayana akan jaga Dania dan anaknya disini." Ayana berusaha meyakinkan Gustav.
Ucapan Dania yang tadi Ayana dengar seputar keluarga besarnya makin membuat Ayana kalut. Pikiran buruk sudah ada saja di dalam kepalanya.
Takut jika Dania kembali pulang ke rumah orang tuanya, pihak keluarga yang lain akan bertanya macam-macam, dan yang paling parah memojokkan dan tidak menerima Dania. Apalagi Dania sudah punya anak sekarang.
Harapan Ayana hanya ada satu sekarang, Gustav mau mendengarnya dan tidak membawa Dania dan anaknya kembali.
"Tidak, Ayana!"
Harapan Ayana runtuh detik itu juga.
"Dania harus pulang bersama Om dan tante. Kali ini tidak ada yang bisa menghentikan Om. Keputusan Om sudah bulat."
Ayana menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar kecil. Matanya menyorot sosok Dania yang diam dengan pandangan tak terbaca.
Untuk kali ini saja, Ayana berharap Dania akan menolak, dan tetap tinggal di rumah bersama keluarga Ayana saja.
"Om..." Ayana memanggil dengan raut memelas. "Jangan bawa Dania pulang, Om tau sendiri bagaimana perilaku keluarga lain kalau tahu Dania akan bercerai. Perempuan yang bercerai dengan suaminya, di keluarga kita dianggap rendah, Om."
Gustav diam. Kepalanya berdenyut dan rasanya ingin meledak. Tapi disisi lain, semakin lama berada di kota ini, Gustav merasa hatinya semakin kacau saja. Ia tertekan. Ia sudah tidak bisa berpikir dan menemukan solusi atas permasalahan putrinya itu.
"Lazuardi," panggil Gustav dengan intonasi berat, mau tidak mau Lazuardi masuk dan bergabung bersama mereka.
"Kamu tidak mau memikirkan semuanya dulu? Resikonya sangat besar kalau kamu keras kepala begini." Lazuardi berusaha mengingatkan.
"Aku sudah siap dengan resikonya. Aku harus menerima kenyataan setelah ini. Dania!" Gustav menatap Dania . "Kemasi barang-barangmu! Kita akan ke bandara besok! Ayah akan pesan tiket untuk kita bertiga!" Gustav melirik bayi Dania yang berada digendongannya. "Anakmu itu tidak akan ikut bersama kita! Titip dia di panti asuhan!"
"Ayah..." Tenggorokan Dania tercekat. Ia tak sangka Ayahnya akan berkata seperti itu saat ia baru saja menjadi seorang Ibu. "Dania tidak sangka ayah akan mengatakan hal jahat seperti itu. Dania sudah tentu tidak akan menitipkan darah daging Dania di panti asuhan. Tidak ada tempat yang paling aman, selain anak Dania bersama Dania sendiri."
"Dengarkan ayah, Dania! Selama ini Ayah selalu menuruti apa maumu! Kamu ingin menikah dengan pria berengsek itu Ayah tetap memberi restu, meski Ayah berat hati melakukannya. Ujung-ujungnya apa? Dia ketahuan menyukai perempuan lain, dan kamu menempuh langkah untuk menceraikannya. Apa salah jika ayah berpikir, semua ini terjadi karena kamu keras kepala dan tidak mendengar nasihat orang tuamu?"
Hancur pertahanan Dania. Perempuan itu kini terduduk lemah diatas tempat tidur, dengan bayinya yang tertidur pulas digendongannya. Sulit rasanya melewati ini.
"Dania! Kemasi barang-barangmu! Kalau kamu tidak melakukannya, jangan harap setelah ini kamu bisa melihat ayah dan ibumu lagi!"
Gustav melangkah cepat keluar kamar, Lazuardi langsung menyusul saudaranya itu.
Ayana menatap Dania yang sudah menangis dengan isakan keras. Ayana mendekat dan memeluk sepupunya itu. "Dania..."
"Aku rasanya ingin mati saja, Yana...Ayahku memberi solusi paling sulit yang tidak bisa kuterima...." Dania memandang bayinya lekat. "Aku tidak ingin berpisah dengan anakku. Aku melahirkannya dengan harapan, walaupun ayah anakku ini telah menyakiti ibunya, anakku lahir untuk menghapus duka ibunya. Tapi..."
"Sulit, Dania. Situasi ini menuntut kamu memilih antara Ayah dan anakmu. Disisi lain kamu adalah anak perempuan yang sangat disayangi ayahmu, tapi disisi lain, ada anakmu yang menjadikanmu sosok ibu sekarang." Ayana mengusap lembut pundak Dania hendak menyalurkan kekuatan. Ia harap sepupunya bisa kuat.
"Aku tidak habis pikir, ayahku meminta agar aku menyerahkan anakku ke panti asuhan. Aku tidak mau, Ayana. Pasti akan ada orang jahat yang bisa saja menyiksa anakku...Tapi jika aku tidak melakukannya, aku tidak akan bertemu ayah dan ibu. Bagaimana ini, Ayana? Baik orang tua dan anakku sudah punya tempat di dalam kehidupanku."
Kedua mata Ayana terpejam. Ia mengusap cepat air matanya. "Kamu tidak perlu menitipkan anakmu ke panti asuhan. Bagaimanapun, dia adalah keponakanku, dia juga adalah anakku." Ayana menatap Dania dengan sorot serius. "Anakmu biar aku saja yang merawatnya. Akan aku jaga dia, menyayangi dia. Aku tidak akan menyembunyikan fakta jika dia adalah anakmu. Perlahan akan kuperkenalkan dia dengan kamu, meski kalian terpisah jarak."
Dania menggeleng. "Tidak,Ayana. Aku tidak mau kamu melakukan ini. Bukan karena aku tidak percaya padamu, tapi aku takut ini mempengaruhi rencana pernikahanmu. Aku tidak mau keluarga calon suamimu memberi ucapan jelek sama kamu. Kamu sudah terlalu banyak berkorban selama ini."
Ayana tersenyum tipis. "Mereka menerimanya atau tidak, aku tidak peduli. Asalkan anakmu selamat, akan aku lakukan apa saja." Ayana melirik ke arah pintu. "Kemasi barang-barangmu, dan aku akan bawa anakmu bersamaku."
Dania mengangguk. Ia lalu menyerahkan bayinya pada Ayana. Ayana menerimanya dengan hati-hati. "Kamu sudah menyiapkan nama untuk anakmu ini?", tanya Ayana.
Dania mengangguk. "Iya, aku sudah menyiapkan sebuah nama untuk anakku."
"Siapa namanya?"
"Davida, Davida Maizura."
Kedua mata Ayana berbinar. "Namanya bagus sekali." Ayana menatap bayi digendongannya itu. "Tante akan menjaga kamu."
Ayana pun memohon izin pada Dania untuk membawa anaknya pergi, dan meminta Dania untuk segera membereskan barang-barangnya.
****
Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita TwoLove
Jangan lupa vote dan komentarnya
Salam hangat,
Dhelsaarora
KAMU SEDANG MEMBACA
Twolove
RomanceTentang Ayana. Dengan segala kebodohan, ketidaktegasan, dan ketidakberdayaannya. Menikah karena dijodohkan oleh kedua orang tua, karena takut anak perempuan mereka akan tetap perawan di usia tua sudah bukan hal yang mencengangkan lagi. Ayana Gayatri...