TwoLove | 64

953 85 6
                                    

Tetesan air yang semula hanya berupa gerimis berubah menjadi hujan yang jatuh membasahi bumi.

Ayana berdecak, sebab Raden sangat keras kepala.

"Pulang, Raden!", kata Ayana. Ia menarik pelan tangan Raden agar segera masuk ke dalam mobilnya. Tapi, Raden menghentikan langkah.

"Kamu kenapa lagi?", tanya Ayana gemas. Hujan semakin lama akan semakin deras. Pakaian yang Ayana kenakan sudah mulai sedikit basah.

"Kakak harus ikut pulang bersama saya." Raden bersikukuh meraih tangan Ayana. Membuat Ayana ingin memberontak, tapi hujan semakin deras. Akhirnya ia menurut saja, sebab ia masih ingat jika Raden punya penyakit asma.

Ayana menggigit bibir, memandang Raden yang sudah duduk di jok sebelahnya. Siap mengemudi. "Ini tidak apa-apa kalau keranjang belanjaan saya kasih masuk ke mobil ini? Nanti mobil kamu bau, saya tadi belanja ikan soalnya."

Raden menatap balik Ayana. "Tidak apa. Mobilnya bisa dicuci lagi."

Kepala Ayana mengangguk pelan. Raden mulai menyalakan mesin mobil, dan perlahan mereka pun meninggalkan area pasar. Ayana sendiri sempat melihat beberapa pedagang sudah memasang tenda, menghindari barang dagangan mereka dibasahi air hujan.

Suasana hening mendominasi mobil Raden sekarang. Baik Raden dan Ayana tak saling berbicara. Ayana sibuk memandang ke arah luar jendela. Menikmati bau tanah basah yang beradu dengan air hujan, menyeruak dari kaca mobil yang Ayana turunkan sedikit. Sementara Raden hanya bisa mencuri pandang, dan hanya bisa mengagumi Ayana dalam diam. Hanya senyum tipis itu yang mewakili perasaannya.

"Kenapa kamu memandangi saya seperti itu?", tanya Ayana tanpa menoleh pada Raden, ia menatap Raden dari pantulan kaca mobil.

"Saya suka kakak dengan rambut panjang hitam."

Ayana berbalik, menatap Raden tanpa ekspresi. "Kalau begitu, saya akan memotongnya."

Raden tersentak. "Jangan, kak. Kenapa kakak harus melakukan itu? Apa karena saya memuji kakak?"

"Bukan. Karena selama ini, memangnya apa yang kamu suka dari saya? Akhir-akhir ini kamu begitu sering memuji, tapi saya tidak bisa percaya. Rasanya, akan ada sakit hati lain yang akan saya terima jika saya bertindak bodoh seperti dulu."

Tanpa sadar, Raden mencengkeram erat kemudinya, bersamaan dengan rasa nyeri karena perkataan Ayana. Mungkin Ayana merasakan sakit hati yang lebih sakit dari yang ia rasakan. Wajar jika Ayana masih belum bisa menerimanya. Raden sangat memakluminya.

Sementara, Ayana sendiri sebenarnya merasa bersalah sebab ia sering berkata kasar pada Raden. Tapi semua itu dia lakukan agar ia tak terlihat lemah.

"Saya paham, kak. Saya memaklumi semua kemarahan kakak. Tak apa, asal jangan minta saya berhenti melakukan apapun yang saya bisa demi kakak."

Tak ada tanggapan berarti dari Ayana, ia fokus memandangi hujan, yang intensitasnya semakin lama semakin deras.

Raden berusaha mengumpulkan fokusnya untuk menyetir. Walau ia sudah sangat kedinginan. Ia berharap jika asmanya tidak kambuh.

"Astaga!", teriak Raden langsung membelokkan mobilnya saat sebuah pohon tinggi tumbang tak jauh dari mobilnya. Bahkan ranting kecilnya sudah mendarat jatuh di depan kaca mobil Raden.

Jalan yang akan mereka lewati, terhalang pohon yang tumbang itu.

Raden menghentikan mobilnya di dekat halte yang jaraknya dianggap aman. "Hujannya semakin besar, kak. Kita tidak bisa melewati jalan itu, kita harus putar balik."

Ayana mengangguk. "Kamu benar."

Raden kembali menjalankan mobilnya, dan memutar balik kendaraannya itu dan memilih melewati jalan lain.

TwoloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang