TwoLove | 47

990 114 38
                                    

Ayana keluar dari kamarnya dengan membawa koper yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Ia berhenti tepat di depan anggota keluarga lain.
"Ayah, Ibu, Raden, Erin, saya pamit. Mohon maaf jika selama saya disini, saya banyak melakukan kesalahan."

Ayana mempererat genggamannya pada pegangan koper.

Tak ada satupun dari mereka yang bersuara. Hanya ada ekspresi sedih Hakim. Ia sudah tidak bisa lagi mencegah Ayana seperti beberapa waktu lalu. Ia paham jika Ayana sudah memikul beban dan tekanan yang sangat berat dari perbuatan yang telah Raden lakukan.

"Ayana pamit," katanya lalu bergerak mendekati Hakim. Ia mencium punggung tangan Hakim, kemudian Ayana pun ke arah Miranti dan melakukan hal yang sama. Miranti yang sudah tidak bisa berkata-kata memilih diam dan tak banyak bicara.

Pandangan Ayana tertuju pada Raden. Perempuan itu menghela napas. Ia pun turut meraih tangan Raden dan mencium punggung tangannya. Raden merasa hatinya begitu nyeri saat Ayana melakukan kebiasaan yang dilakukan seorang istri pada suaminya.

Raden menyadari satu hal lagi.

Jika istri pertamanya itu masih berusaha untuk menghargainya.

Ayana kembali tersenyum. Perlahan ia melangkah keluar dari rumah, sembari membawa kopernya.

Tanpa sadar, Raden berdiri. Menatap punggung Ayana yang kian menjauh.

Hakim melirik Raden. "Kamu tahu kenapa dia memilih pergi, sekalipun selama ini dia bertahan dengan segala sikap burukmu?" Hakim ikut berdiri, menatap Raden lurus. "Itu karena beban yang ditanggung Ayana sebagai seorang istri yang tidak dihargai, sudah sangat berat, dia tidak bisa lagi menahannya. Cara satu-satunya hanyalah menenangkan diri."

Kepala Raden sedikit menunduk, ia mulai merenungi ucapan Hakim, yang tidak sepenuhnya salah.

"Tadi dia pamit, mencium tangan kamu, mungkin itu akan menjadi hal yang pertama dan terakhir yang dia lakukan bersamamu." Hakim menelan saliva susah payah. Kedua matanya nampak berkaca-kaca. "Solusi untuk semua kesalahan yang kamu lakukan hanyalah dengan bersikap adil, Raden. Walau Ayah sendiri ragu, kamu bisa melakukannya atau tidak. Kamu hanya mencintai istrimu yang lain, dan mengabaikan istrimu yang satunya. Suami yang berlaku adil saja masih bisa menyakiti hati istrinya, apalagi Ayana yang kamu perlakukan dengan tidak adil. Ayah rasa tindakan Ayana sudah benar, dan ayah tidak perlu mencegahnya seperti dulu. Dia sudah terlalu sesak. Lagipula, apapun keputusan Ayana, Ayah akan dukung. Sekalipun dua bercerai dengan kamu atau tidak, Ayah tidak peduli lagi. Karena kalian bersama atau tidak, Ayana akan tetap menganggap ayah sebagai orang tuanya."

Hakim berjalan dan melangkah masuk ke dalam kamar, dan tak lama Miranti menyusul dengan langkah lesu.

Tersisa Raden dan Erin.

Erin nampak kesal, ia perlahan menarik tangan Raden melangkah naik ke kamar.

Brak!

Erin menutup pintu kamar dengan kencang.

"Ayahmu sangat tidak suka padaku! Aku tidak tahan tinggal disini lagi! Kita pindah saja ke rumah baru kita."

Raden mengusap wajahnya. "Jangan mulai, Erin!"

"Kenapa? Aku juga tersiksa tinggal disini. Memang benar kata orang, tinggal bersama mertua itu memang sangat menyebalkan."

"ERIN!", bentak Raden.

Erin tersentak. Ia tak menyangka jika Raden berani membentaknya, ini adalah kali pertama Raden melakukan itu padanya. "Kamu...bentak aku?", tanya Erin lirih.

Raden membuang muka. "Jangan membuat aku tambah frustasi, Erin! Perbuatan kamu yang menjelek-jelekkan kak Ayana tadi sudah keterlaluan. Bahkan kamu pernah mengancam dia. Dia sudah cukup menderita dengan perbuatanku, Erin. Kamu tidak usah mengusiknya."

TwoloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang