Memang benar dugaan Ayana, pernikahannya ini memang tak akan berjalan dengan mudah. Sejak seminggu menyandang status baru sebagai seorang istri, begitu banyak yang mulai berubah dari kehidupannya.
Ayana sudah mulai sabar menghadapi Miranti yang terus melayangkan amarah dan hinaan kepadanya. Ia tidak akan mengambil hati semua itu. Lagipula, masih ada Hakim yang terus membelanya selayaknya seorang ayah, dan ada Davida yang selalu bisa menjadi pelepas sedih dan penatnya.
Soal Raden, pria itu menepati janjinya. Ia memberikan nafkah pada Davida. Bahkan, Ayana bahagia kala Raden yang baru saja pulang bekerja akan langsung menemui Davida dan menggendongnya.
Tapi disatu sisi, Ayana menyadari sesuatu. Pernikahannya dengan Raden yang awalnya hanya sedikit canggung, sekarang malah semakin canggung. Raden jarang berbicara lagi dengannya, dan hanya bertanya tentang hal menyangkut Davida saja. Selebihnya, pria itu akan diam dan fokus pada pekerjaannya.
Mengingat Raden sudah punya pabrik sendiri, pabrik pengolahan teh hitam dan produksi makanan berbahan dasar coklat, Raden menjadi sangat sibuk. Belum lagi usaha oleh-oleh yang ia kelola yang menjadikan buah salak sebagai komoditi utama. Hampir setiap hari Raden mondar-mandir mengecek semuanya.
Beberapa hari setelah pernikahan, Ayana sempat diajak berbicara dengan Hakim. Menurut cerita dari Ayah mertuanya itu, Raden membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Tidak sekalipun Raden meminta dana tambahan sepeserpun dari Hakim.
Kekaguman dirasakan oleh Ayana. Satu sisi lain lagi yang ia ketahui dari Raden.
Meskipun berasal dari keluarga yang kaya raya, Raden merintis usahanya sendiri, tanpa embel-embel bantuan dari sang ayah.
Saat ini, Ayana tengah sibuk berkutat dengan piring kotor yang ada di dapur. Bibi Anna, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah keluarga Raden sempat mencegah Ayana, tetapi Ayana bersikeras untuk mengerjakannya. Untuk itulah, Bibi Anna mengerjakan pekerjaan lainnya.
Usai menidurkan Davida, Ayana memang langsung bergerak cepat mengerjakan beberapa pekerjaan rumah.
"Bibi, piring-piringnya sudah selesai saya tata. Saya pamit naik ke atas dulu, yah," kata Ayana yang saat itu baru saja selesai mencuci tangannya.
"Iya, Non."
Ayana tersenyum singkat sebelum berlalu.
Ketika mendekati lokasi tangga, Ayana berhenti kala melihat sosok Raden dan Hakim yang sudah duduk bersama di ruang tamu. Entah karena apa, Ayana bisa merasakan ada aura tegang diwajah Raden, walau pria itu berusaha menyamarkannya dengan sikap tenangnya.
Diam-diam Ayana memilih mendengar pembicaraan itu. Ia sebenarnya khawatir ini ada sangkut pautnya dengan kehadiran Davida.
"Ayah masih ingat dengan janji yang Ayah bilang ke Raden?" Pertanyaan Raden memulai pembicaraan itu.
Hakim menatap Raden lekat, lalu mengangguk tanpa ragu. "Iya. Ayah akan selalu mengingatnya. Ayah akan turuti apa yang kamu inginkan, dan tidak akan melarang kamu untuk melakukan apapun yang kamu mau, selagi kamu mau menjadikan Ayana sebagai istrimu."
Raden tersenyum lega. "Syukurlah. Raden lega mendengarnya."
Hakim menatap dengan pandangan menyelidik. "Apa yang kamu inginkan?"
Raden terdiam, lalu mengangkat bahu acuh. "Nanti Raden akan minta jika waktunya sudah tiba."
Raden bangkit, berpamitan pada Hakim sebelum kembali melangkah keluar rumah.
Napas Ayana memburu. Kedua matanya mengerjap lambat. Apa ini artinya, Raden mengambil keuntungan dari pernikahan ini? Apa ini soal harta?
Apakah salah jika Ayana berpikir, ia sudah dimanfaatkan dengan dalih pernikahan ini?
"Apakah layak jika wanita sepertiku dijadikan alat untuk memenuhi tujuan?", lirih Ayana bertanya pada dirinya sendiri. Bahunya melemas. Perlahan langkah kakinya menuntunnya menaiki anak tangga.
*****
"Raden!"
Erin langsung berlari dan menghambur ke dalam pelukan Raden.
"Aku rindu," kata Raden menatap tepat kedua mata Erin. Erin tersenyum manis, dan kembali memeluk Raden.
"Maaf," ucap Raden kembali. "Aku harus menikah dengan orang lain lebih dulu, padahal tempat itu seharusnya kamu yang mengisi, kamu lebih pantas."
Erin mengurai pelukannya. "Aku tahu. Kamu tahu? Saat melihat kamu dan istrimu berada di pelaminan kemarin, aku sakit hati dan sedih. Tapi aku bisa apa?" Erin menghela napas, tak lama wajahnya menunjukkan ekspresi berpikir. "Aku pernah ketemu dengan istrimu. Aku sudah dua kali melihatnya sebelum pernikahan. Pertama, saat di pernikahan sepupuku Musa, lalu yang kedua saat hujan deras di malam itu."
Raden menaikkan sebelah alis. "Hujan?"
Kepala Erin mengangguk. "Iya. Aku hampir saja menabraknya. Saat itu aku ingin mengantarnya pulang, tapi dia menolak. Dia langsung pergi. Entah kemana dia pergi saat ini, sampai rela tubuhnya basah diguyur hujan."
Raden tersenyum. "Itu tidak penting. Apa kamu sudah siap? Tinggal satu Minggu lagi."
"Aku selalu siap, Raden. Ibuku mendukung rencana kita ini."
Perasaan lega itu menghampiri Raden. "Syukurlah. Aku tidak sabar menantikan hari itu."
Erin mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Raden, aku tidak bisa bersamamu lebih lama. Aku takut anak buah Ayahku memergoki kita disini, aku takut kamu dibuat celaka oleh Ayahku. Aku akan pergi. Jaga dirimu baik-baik." Erin memeluk Raden, kekasihnya itu. Erin berlalu, dan kini Raden berdiri seorang diri di jalan dekat rumah kosong itu.
****
Ayana menatap kosong lantai kamarnya. Davida sudah tertidur, walau Ayana susah payah untuk memenangkannya saat menangis tadi. Ayana seperti merasakan kehancuran yang akan ia terima akibat pernikahan ini.
Rupanya ia hanya alat. Tapi Ayana sendiri masih tidak tahu, Raden memperalatnya dalam urusan apa. Kalau bisa, Ayana ingin meminta penjelasan lebih.
"Iya, aku memang harus melakukannya!", gumam Ayana berusaha menahan diri. Ia tidak boleh lemah. Selama masih bisa membicarakannya dengan Raden secara baik-baik, Ayana yakin tak akan ada masalah yang terlalu berarti.
Cklek!
Ayana menoleh cepat, dan sosok Raden ada disana. Seperti biasa, wajah pria itu masih saja tampan walau sudah bekerja seharian.
"Kakak?"
Ayana tidak menanggapi panggilan Raden. Matanya masih saja fokus memandangi Raden dengan perasaan berkecamuk. Ada begitu banyak pertanyaan di dalam kepalanya, dan ia ingin menanyakan segalanya, selagi Raden ada tak jauh darinya.
"Kak Ayana?"
"Ah, iya?", balas Ayana yang nampak tersentak kecil. Napasnya memburu. Tangannya bergerak perlahan mengusap wajahnya.
Pikirannya langsung buyar, bibirnya serasa terkunci. Pertanyaan yang menumpuk kini hilang tanpa sisa, begitu pula dengan keberanian Ayana. Padahal, Raden sama sekali tidak menunjukkan aura untuk mengintimidasinya.
"Kakak sakit?", tanya Raden lalu setelahnya duduk tepat disebelah Ayana.
"Tidak, alhamdulillah saya sehat," balas Ayana sekenanya.
"Apa ada yang ingin Kakak sampaikan?""Iya!" Ayana membalas cepat. Tapi seketika ia merutuki tindakannya. "Tadi Ibu mencari kamu, Ayah juga ingin menunjukkan beberapa pekerjaan padamu." Sekali lagi Ayana merutuki tindakannya.
Raden menganggukkan kepalanya. Ia menatap Davida dengan senyum mengembang. "Anakku sudah tidak rupanya."
Ayana menatap lurus pada Davida. Bersamaan dengan suasana hatinya yang mendadak muram.
Raden begitu misterius bagi Ayana.
*****
Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita TwoLove
Jangan lupa vote dan komentarnya
Salam hangat,
Dhelsaarora
![](https://img.wattpad.com/cover/234443449-288-k443777.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Twolove
عاطفيةTentang Ayana. Dengan segala kebodohan, ketidaktegasan, dan ketidakberdayaannya. Menikah karena dijodohkan oleh kedua orang tua, karena takut anak perempuan mereka akan tetap perawan di usia tua sudah bukan hal yang mencengangkan lagi. Ayana Gayatri...