"Selamat datang, Nak."
Miranti datang memeluk Ayana. "Ibu senang sekali kamu kembali ke rumah ini."
Tanpa ragu, Ayana membalas pelukan Miranti. Perasaan bahagia dan lega. Rupanya ia sudah diterima oleh Miranti. "Terima kasih Ibu mertua, karena menyambut Ayana."
Pelukan kedua wanita itu terurai. Kini berganti Hakim yang mendekat. Senyum lebarnya terpancar. Tangannya bergerak mengusap lembut kepala Ayana. "Selamat datang kembali Nak di rumah ini. Ayah senang sekali kamu ingin mempertahankan pernikahan ini bersama Raden. Semoga kalian selalu bahagia."
"Terima kasih ayah mertua," kata Ayana.
"Yasudah, Ayana, Raden, kalian istirahat. Ibu mau masak makan malam dulu untuk kalian."
"Biar Ayana bantu, Ibu mertua," kata Ayana.
Miranti menggeleng dan tersenyum kecil. "Tak usah, biar ibu yang masak. Kali ini, kamu harus coba masakan ibu." Ayana mengangguk antusias.
"Ayo, kak," ajak Raden lalu membantu membawa tas pakaian Ayana. Raden berjalan lebih dulu, lalu disusul Ayana dibelakangnya.
Keduanya berjalan memasuki kamar, dan seketika Ayana melirik Raden. Ia berusaha memastikan tak ada raut sedih diwajah pria itu. Bagaimanapun, kamar itu adalah kamar Raden bersama Erin sebelumnya, walau Ayana sendiri sudah lebih dulu berada disana sebelum pindah ke kamar lain waktu itu.
Sadar Ayana memperhatikannya dengan cukup intens, Raden berbalik. "Kenapa, kak?"
"Kamu tidak apa-apa, kan?", tanya Ayana pelan.
Raden memiringkan sedikit kepalanya. "Saya baik-baik saja, kak. Apa yang kakak pikirkan?"
Ayana menghela napas. "Maaf kalau ucapan saya ini bikin kamu tidak begitu nyaman. Bagaimanapun, kamar ini adalah kamar kamu dan Erin sebelumnya. Apa kamu tidak sedih memikirkan betapa banyak waktu yang kamu habiskan bersama Erin untuk membuat dan berbagi kenangan disini?"
Raden tersenyum tipis. "Tentu saja, saya mengingat banyak hal bersama Erin. Tapi Erin sudah memilih kebahagiaannya, kak. Saya sendiri mau dia bisa bahagia, dan saya tidak akan mengikat dia dalam status hubungan dimana saya dan dia tidak saling mencintai lagi."
Tangan Ayana menepuk-nepuk pelan pundak Raden. "Walaupun begitu, tetap baik yah sama dia?"
"Iya, Kak." Raden membalas. Ia meraih tangan Ayana, dan menggenggamnya. Raden menuntun Ayana untuk duduk di tepi tempat tidur. Setelahnya, keduanya kompak merebahkan diri. Pandangan mereka lurus menghadap langit-langit kamar.
"Kalau dipikir-pikir, selama ini saya kesannya tidak tahu diri, kak. Saya menyakiti kakak berulang kali, tidak pernah memperlakukan kakak dengan adil, tidak pernah membela kakak. Tapi, saya malah meminta kakak bertahan. Saya benar-benar jahat, kak."
Ayana melirik Raden, lalu menghela napas. Tatapannya kembali tertuju pada langit-langit kamar. "Kalau dipikir-pikir, saya juga bodoh karena mau kembali pada kamu. Kamu yang memperlakukan saya sebagai orang asing selama ini, dan menyakiti saya berkali-kali. Anehnya, saya menyukai kamu. Entah dari sisi mana saya melihat kamu, karena saya melihat, ada kebaikan yang tidak bisa saya abaikan begitu saya. Kadang saya bertanya-tanya, apa itu hanya karena refleksi sosok Raden di masa kecil, atau justru saya juga menyukai Raden yang usianya sudah mau dua puluh empat tahun, yang kekanakan, tidak adil, dan pilih kasih?"
Lagi-lagi Raden tersentak. Ia didera oleh perasaan bersalahnya lagi. Tahu jika Raden nampak dihadapkan dengan perasaan bersalah, tanpa berpikir panjang Ayana menoleh dan menatap Raden lamat-lamat. "Tapi mau bagaimana lagi? Selama ini saya hanya menyukai kamu saja. Walau Budi berusaha keras selama ini, saya melihat dia sebagai sosok sahabat yang sangat baik, dan saya tidak mau melukai hatinya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Twolove
RomanceTentang Ayana. Dengan segala kebodohan, ketidaktegasan, dan ketidakberdayaannya. Menikah karena dijodohkan oleh kedua orang tua, karena takut anak perempuan mereka akan tetap perawan di usia tua sudah bukan hal yang mencengangkan lagi. Ayana Gayatri...