Di tempatnya Jenisa yang tengah duduk mendadak dilanda rasa gelisah juga panik setelah membaca pesan singkat dari sahabatnya tersebut. Apa-apaan isi pesan gadis yang Arin kirimkan, setelah sesumbar mengatakan menyukai rupa dari jelmaan malaikat dengan tingkah seperti iblis bernama Tetto, setidaknya Arin harus mempertanggungjawabkan apa yang dikatakan dengan menahan pria itu selama mungkin hingga Jenisa juga diuntungkan karena tidak harus membuang tenaga dan waktu hanya untuk berurusan dengan Tetto. Tapi belum sampai lima belas menit Arin bahkan sudah mengirimkan sebuah pesan yang menyatakan bila gadis itu mundur dari medan pertempuran dengan kalimat berpamitan juga emoticon menangis yang mengiringi. Seketika itu juga perasaan merinding menjalari tubuh gadis yang dijuluki sebagai Dangerous Women tersebut, Jenisa harap pegawainya sebagai barisan terakhir di luar sana bisa diandalkan untuk menahan Tetto. Namun seolah semesta tengah menentang semua yang gadis itu harapkan, dari arah luar terdengar keributan yang bisa Jenisa pastikan sebagai salah satu suara dari pegawainya yang tengah berusaha keras membujuk seseorang.
"Pak, ruangan mbak Jenisa itu privasi."
"Saya cuma mau periksa. Kalau kamu enggak berbohong dengan kepergian atasanmu itu, harusnya kamu tinggal tunjukkan bukan menghalang-halangi saya seperti sekarang."
Deng.....
Tanpa sadar gadis itu melotot horor mendengar suara pria yang menyahuti terdengar familiar. Tidak bisa dipungkiri Jenisa sudah hafal betul suara tersebut milik siapa, meski hanya beberapa kali berbincang mereka berbincang. Rasanya ia ingin menghilangkan diri di suatu tempat, bahkan mungkin gadis itu tidak akan ragu untuk membuat galian dadakan bila segala peralatan penunjang tersedia agar tidak ditemukan pria yang masih memaksa masuk dari luar.
Tok... Tok... Tok...
Terdengar suara ketukan di pintu membuat Jenisa hanya bisa menelan ludah susah payah karena menahan gelisah, tidak ada tempat di ruangan-nya yang sesuai untuk dijadikan tempat persembunyian. Tak kurang, segala macam doa sudah gadis itu rapalkan berharap sebuah keajaiban akan datang dan membuatnya keluar dari jeratan iblis bernama Tetto di balik pintu ruangan.
"Jenisa, bisa kamu buka pintunya? Aku tahu kamu di dalam." teriak pria itu dari luar dengan berang.
"Pak. Mbak Jeni......."
"Jenisa! Keluar sebelum kesabaranku habis." pria itu bahkan sampai menggedor pintu membuat Jenisa yang memang berada di dalam ruangan kian menciutkan nyali. "Atau aku benar-benar hancurkan restoran ini?"
Tak berselang lama setelah Tetto menyelesaikan kalimatnya, pintu di depannya ikut terbuka dengan menampakkan sosok seorang Jenisa. Tak lagi menunggu sang pengacara menerobos masuk membuat sang pemilik ruangan bahkan harus sedikit mundur dan terhuyung karena tindakan pria tersebut yang tiba-tiba, beruntung satu lengannya masih berpegangan pada knop pintu hingga tidak harus membuat Jenisa tersungkur di lantai. Gadis itu tak bisa untuk tak terperangah mendapati tingkah tak sopan yang ditunjukkan seorang pria yang dengan santai dan tanpa merasa bersalah sibuk mengagumi interior ruangan. Tak lama Naya, salah satu pegawainya, datang menyusul dari arah belakang dengan kepala menunduk meminta maaf.
"Mbak Jenisa. Maaf saya enggak bisa tahan lebih lama."
"Gak apa-apa, Nay. Kamu boleh pergi."
"Tunggu!" cegah Tetto yang awalnya diam lalu menyela pembicaraan antara atasan dan pegawai tersebut dengan badan yang sudah berbalik. "Tolong pesanan saya taruh di atas meja."
Jenisa yang mulai merasa janggal akan Tetto yang hendak menempati ruangannya tanpa persetujuan menyela dengan cepat membuat Naya yang tidak punya kuasa hanya bisa diam menonton dari tempatnya.
"Sebentar, kenapa kamu seenak jidat mau makan di sini. Sudah aku bilang ini ruang privasi."
"Kalau begitu kamu bisa ikut aku makan di luar."
"Maaf, gimana?" tanya Jenisa tak yakin mengenai apa yang baru saja didengar dan hanya dibalas dengusan kesal dari Tetto. Gadis itu tak habis pikir, memang apa hubungannya memilih meja untuk makan dengan dirinya yang harus ikut serta menemani pria itu menghabiskan makannya.
"Kenapa juga aku harus ikut?"
"Apa kamu memang selalu menghindar dari masalah?" desak Tetto tak tahan.
"Aku gak merasa punya masalah. Terlebih sama kamu." Balas Jenisa dengan segala kebingungannya tak mau kalah.
Gadis itu mencoba memberanikan diri, bagaimana pun di sini dia yang berkuasa, pria itu tidak memiliki hak hingga bisa menginvasi ruangan kerjanya seenak jidat. Ini sudah sikap yang tepat yang harus Jenisa tunjukkan agar Tetto sadar siapa yang berbicara dan siapa yang harus diam mendengarkan, ia harus menunjukkan taringnya untuk memperlihatkan siapa yang berkuasa. Namun saat melihat gelagat aneh dari pria yang diketahui berprofesi sebagai pengacara tersebut tampak menghela napas pelan dengan sebelah lengan menyugar rambut seolah menunjukkan bila pria itu tidak lagi tahan dengan segala basa basi yang tidak penting dan tengah mereka lakukan, entah kenapa Jenisa mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres hendak terjadi sebentar lagi.
"Apa aku harus mengingatkannya sekarang, bahkan di depan karyawan kamu?"
"Kamu mau mengancam aku? Kamu pikir aku takut." Balas Jenisa mencoba tidak terpengaruh.
"Kalau itu yang kamu mau, aku nggak keberatan buat kembali menceritakan tentang dulu kamu yang mencampakkan aku seenaknya, bahkan kalau perlu di depan banyak orang." lantang Tetto tak acuh pada sekitar yang berkemungkinan besar bisa mendengarkan suaranya yang keras.
Tak menyangka jika topik pembahasan akan mengungkit kisah masa lalu mereka Jenisa sontak di buat bungkam, keberanian dan tekad untuk menunjukkan siapa yang berkuasa bahkan sudah menguap entah ke mana. Ia pikir pria itu sudah melupakan kisah masa lalu mereka dan melangkah maju, karena berdasarkan pengalamannya dalam menjalin hubungan dan memutuskan untuk berpisah, Jenisa pikir dari pihak masing-masing akan menganggap bila mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Namun saat mendengar Tetto mengatakannya dengan terus terang membuat gadis itu sadar dan berpikir ulang, sepertinya ada satu sudut pandang yang ia lewatkan, yaitu sudut pandang dari sisi seorang Tetto Tegar Sebastian.
"Apa kamu masih berpikir kita perlu membicarakan ini di depan karyawan kamu, atau di luar sana di depan banyak orang? Karena yang manapun aku nggak masalah." tanya Tetto lagi dengan nada yang lebih pelan namun mengancam.
Sementara di tempatnya Jenisa masih diam kebingungan dengan segala pemikiran dalam kepala. Mempersilahkan Tetto masuk dengan hanya mereka berdua dalam ruangan itu sama saja dengan dia melangkah ke jurang, atau sederhananya cari mati. Namun membiarkan pemuda itu membicarakan masalah privasi mereka di depan umum juga bukan pilihan yang bijak.
Tidak butuh waktu lama untuk gadis itu menentukan pilihan. "Nay, kamu boleh pergi."
Naya yang diperintahkan meninggalkan dua orang tersebut dengan terlebih dulu menaruh nampan yang dibawa di atas meja. Sementara Jenisa lebih memilih duduk tanpa mempersilahkan pria di depannya, karena pada kenyataannya pria itu sudah menempati satu single sofa tanpa diminta.
"Jadi kamu mau bahas masa lalu?" Jenisa memulai membuka pembicaraan setelah menarik napas pelan. "Kita selesaikan sekarang kalau kamu berpikir masih ada masalah yang belum selesai, dan untuk ke depannya tolong pisahkan masalah pribadi dengan profesionalitas. Paham?" lanjut gadis itu masih dengan mencoba menahan kesabaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANGEROUS WOMAN
RomanceBagi Tetto menjalani hidup dengan tenang dan menghindari masalah adalah pilihan, itu karena Tetto remaja dengan sukarela menjerumuskan diri dalam sebuah masalah tanpa peduli resiko yang bisa saja menimpa. Karena kenaifan-nya dulu yang mempercayai se...