"Boleh saya tanya satu hal?"
"Asal jangan pertanyaan berat." Gurau Jenisa dengan wajah tersenyum jenaka.
"Arti pujian waktu itu, apa maksud pujian yang kak Jenisa berikan?" tanya Tetto berterus terang. "Saya masih bingung mengenai maksud dari apa yang kak Jenisa katakan. Saya masih belum menemukan jawabannya sampai sekarang."
Terdiam sejenak seolah gadis itu kesulitan untuk memahami maksud pertanyaannya, namun bukannya sebuah jawaban yang Tetto dapatkan untuk memuaskan rasa penasaran-nya Jenisa justru balik bertanya. "Apa butuh alasan?" tanya Jenisa balik.
Tidak seperti di awal pembicaraan di mana gadis itu lebih banyak menarik sudut bibirnya membentuk senyuman, untuk sesaat Tetto merasa bila Jenisa sedang melamun terhanyut dalam pikiran meninggalkan raganya yang masih di tempat sementara pikirannya berkelana entah ke mana.
"Setelah saya dibuat mati penasaran dan frustrasi mencari jawabannya..." memilih men-jeda kalimatnya, Tetto berusaha mengembalikan kesadaran gadis itu untuk fokus dalam pembicaraan. "Maka jawabannya 'iya', saya benar-benar butuh alasan."
"Kalau sebegitu frustrasinya kamu mencari jawaban yang tidak kamu temukan, harusnya kamu lupakan saja dan menganggap saya tidak pernah memuji kamu sebelumnya."
"Kenapa begitu kalau sekarang saya bisa tanya langsung pada orangnya?"
"Anggap saja itu sebuah kesalahan." balas Jenisa tegas. "Karena itu jangan mencari hal yang nggak ada sejak awal, karena itu hal yang sia-sia."
Untuk sesaat Tetto tidak mengerti arah pembicaraan Jenisa, gadis yang dikenal di pertemuan pertama dengan kesan ramah tiba-tiba berubah menjadi dingin tak tersentuh. Bila tahu akan seperti ini akhirnya, Tetto tidak akan membuang waktu untuk hal yang sia-sia karena pada akhirnya Jenisa hanya mempermainkan-nya. Pemuda berkacamata itu kembali menundukkan kepala dengan tangan terkepal mencoba menahan diri setelah sebelumnya kesabarannya berhasil teruji oleh seorang Dendi, Tetto tidak ingin melampiaskan kemarahannya pada gadis itu dan kembali membuat keributan di perpustakaan.
"Kalau begitu maaf atas pertanyaan lancang saya kalau menyinggung kak Jenisa."
"Bisa kamu berhenti panggil kakak? Cukup panggil nama saja" pinta gadis itu setelahnya.
Tidak langsung menjawab, pemuda berkacamata itu mencoba menarik napas terlebih dulu sebelum buka suara. "Maaf, tapi saya nggak bisa."
"Kenapa?" tanya gadis itu heran. "Sekalipun kamu setahun lebih mudan, dan kesopanan sebagai alasannya. Aku sedikit kurang nyaman mendengar itu, kalau Cuma kita berdua, kamu boleh panggil nama saja."
"Seperti kak Jenisa yang lebih memilih diam dari pada menjawab pertanyaan saya yang sederhana, saya juga berhak mengambil keputusan tentang sesuatu yang ingin saya lakukan, bukan?" terdiam sejenak Tetto tersenyum tipis menyadari bila gadis itu tampak semakin dilanda rasa bingung setelah mendengar kalimatnya. "Saya harap kakak Jenisa akan terus merasa tidak nyaman dan memilih menghindari kemungkinan bila kita berpapasan ke depannya. Begitupun saya, saya sebisa mungkin akan berusaha menjadikan ini pertemuan terakhir kita."
Selayaknya dua orang asing yang tidak saling mengenal, Tetto dengan sengaja menarik batasan agar dirinya tidak akan lagi melewati batasan. Seharusnya dia ingat, dari awal tujuannya hanyalah ingin menuntut ilmu dengan tenang dan tidak pernah terbesit sedikitpun dalam kepalanya sebuah rencana untuk bersosialisasi dengan orang yang berbeda kalangan. Sadar bila tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan di sana, Tetto memilih pergi setelah pamit undur diri.
"Tunggu..." panggil gadis itu kembali. "Bagaimanapun, terima kasih sudah mau membantu."
Tetto benci menyadari bila kakinya kembali diam, dan telinganya yang seolah menantikan gadis itu untuk mendengar apa yang ingin Jenisa katakan. "Itu sudah jadi tugas saya karena masih dalam masa hukuman, jadi nggak perlu berterima kasih." Balas Tetto sebelum benar-benar menghilang.
Salah besar bila masalah berhenti pada persoalan tentang Jenisa, karena selesai dari mengembalikan semua buku ke tempatnya, pemuda berkacamata tersebut harus kembali menarik napas sabar saat pak Ari sudah menghadangnya di tengah jalan. Tak kurang lelaki paruh baya dengan rambut yang sudah banyak memutih itu juga mendorong tumpukan buku dalam keranjang dorong untuk diserahkan.
"Ini apa, Pak?"
"Pakai tanya, ini hukuman kamu yang belum selesai".
Berjalan mendekat pada tempat pak Ari berdiri, Tetto mencoba memastikan bila penglihatannya tidak mengalami kesalahan, berapa lama pun matanya memastikan tumpuk buku yang kembali menggunung tersebut tidak kuncung menyusut membuat pemuda itu mendesah lelah menyadari nasib sialnya belum usai.
"Kok masih banyak banget?" protes Tetto tak tahan.
"Temanmu itu kabur. Jadi jatahnya ya sekalian kamu yang tanggung." Setelah Pak Ari menjelaskan akan alasan buku yang masih saja menggunung. Tetto kian dibuat tidak bisa menahan emosi saat mendengar kabar bila Dendi bahkan melarikan diri dan melimpahkan tanggung jawabnya begitu saja. Tak lama berselang deting notifikasi pesan masuk dari ponsel-nya membuat Tetto mengalihkan perhatian.
From Dendi : "To, sorry gue tinggal ada jadwal rapat sama anak himpunan. Nanti gue traktir, deh."
Ingin marah namun saat melihat kata traktir tertera di sana membuat pemuda itu mengurungkan niatnya, sebagai salah satu anak perantauan yang memegang prinsip hidup ekonomis tentu saja sesuatu hal yang berlabel gratisan akan sulit untuk Tetto lewatkan. Sialnya, Dendi mengetahui kelemahannya dan membuat Tetto tidak berdaya hanya untuk memberikan satu atau dua pukulan bila mereka bertemu di lain kesempatan.
"Omong-omong, tadi kamu ngapain sama Jenisa berduaan?"
Mendengar pertanyaan pak Ari yang bertanya penasaran mengenai apa yang dia lakukan dengan seorang gadis pemilik nama yang sudah masuk dalam daftar hitam sebagai orang yang tidak Tetto kenal membuat tumbukan buku yang ada di depannya terlihat lebih menarik untuk diperhatikan. "Nggak ada apa-apa, Pak. Saya cuma bantu balikkan buku ke rak atas." balas Tetto datar lalu memilih pergi dengan mengambil alih dorongan troli yang menampung bertumpuk-tumpuk buku meninggalkan Pak Ari sendirian.
Hari itu Tetto seolah ditampar kenyataan -meski pada awalnya yang ia lakukan murni hanya rasa penasaran karena ingin mencari tahu alasan dari pujian yang gadis itu berikan- namun tanpa Tetto sadari dia sudah terbuai. Di saat tidak pernah ada seorang pun gadis yang memberikannya pujian, Jenisa menjadi orang pertama hingga tanpa dirinya sadari ia sudah menaruh harapan yang tidak sepatutnya terhadap seorang perempuan yang bahkan tidak berada dalam jangkauan yang bisa dia gapai. Jenisa itu seperti matahari yang bersinar terang di angkasa luas, terlalu jauh jarak yang terbentang di antara mereka berdua. Bahkan bila sekalipun Tetto memaksa untuk mendekat, yang ada dia hanya akan berakhir dengan terbakar. Kisah romansa di tengah kehidupan mahasiswa yang sibuk dengan dunia perkuliahan, terlalu muluk agaknya bila Tetto mengharapkan hal tabu tersebut terjadi dalam hidupnya yang datar.
Jenisa tidak salah, justru yang gadis itu lakukan adalah hal yang benar hingga Tetto bisa sadar dan menarik batasan yang jelas agar dirinya tidak lagi melewati batas dan jatuh dalam buaian harapan semu.

KAMU SEDANG MEMBACA
DANGEROUS WOMAN
RomanceBagi Tetto menjalani hidup dengan tenang dan menghindari masalah adalah pilihan, itu karena Tetto remaja dengan sukarela menjerumuskan diri dalam sebuah masalah tanpa peduli resiko yang bisa saja menimpa. Karena kenaifan-nya dulu yang mempercayai se...