"Kita ke taman dulu, sekalian jalan-jalan."
"Hah? Y-Yoga, aku mungkin setuju buat pergi. Tapi kamu enggak bisa seenaknya kayak gini."
Entah kenapa Jenisa menjadi sedikit emosi saat tahu dirinya telah tertipu oleh ajakan pria itu. Semua tak berjalan sesuai rencana seperti yang sudah dipikirkan-nya, sang dokter yang melipir terlebih dahulu ke sebuah taman untuk berjalan-jalan jelas tidak ada dalam list yang akan dia lakukan. Harapan Jenisa untuk tak banyak membuka suara seperti yang direncanakan seolah tinggal harapan, tidak mungkin juga ia dengan sengaja mengabaikan Yoga saat pria itu mengajak berbicara.
"Filmnya juga dimulai satu jam lagi. Coba kamu lihat di tiketnya."
Jenisa mengeluarkan tiket yang diberi Yoga padanya, mengamati betul apa yang tertera di sana. Menyadari jika dirinya memang yang salah karena tak teliti membuat gadis itu ingin membenturkan kepalanya sendiri, tak main-main saat berniat merutuki kebodohannya Jenisa benar-benar membenturkan kepalanya pada kaca mobil yang berada tepat di sisi sampingnya secara pelan dan diam-diam.
"Kamu sedang apa?" tanya Yoga.
Menyadari aksinya yang tak lepas dari pengawasan sang dokter, ditambah uluran lengan Yoga yang tiba-tiba membelai kepalanya agar tidak membenturkan kepala sementara Jenisa tahu bila fokus pria itu masih pada jalanan, membuat gadis itu terkejut dan berhenti saat telapak tangan pria itu mulai mengelus rambutnya pelan.
"Kamu sakit kepala sampai membenturkan kepala sendiri ke kaca?"
Lagi pertanyaan pria itu sukses membuat Jenisa berharap untuk bisa menghilangkan diri sekarang, rasa malu karena dipergoki tengah melakukan hal bodoh membuat Jenisa seolah mati kutu dan tidak lagi memiliki harga diri untuk menghadapi pria di sampingnya.
"I-itu aku nggak apa-apa. Mending kamu fokus nyetir." kilah Jenisa kemudian.
Di tempatnya, Yoga yang memperhatikan dalam diam perubahan nada suara gadis di sampingnya yang sedikit bergetar karena rasa gugup hanya bisa tersenyum tipis. Pria itu menarik kembali sebelah lengannya untuk memegang kemudi.
"Kalau malu, kamu gak perlu menyakiti diri sendiri kayak gitu."
"Maksudnya?" tanya Jenisa berpura-pura tidak paham.
"Yah, seperti yang barusan kamu lakukan."
Seolah sia-sia bila mengharapkan pria itu akan peka dan paham untuk tidak lagi melanjutkan pembahasan, yang ada Yoga justru seolah menikmati pembicaraan menyebalkan tersebut. "Siapa yang malu? Aku gak lagi malu, ya." sangkal Jenisa tetap pada pendiriannya jika dia tak dilanda rasa malu-malu layaknya remaja kasmaran.
"Kebiasaan kamu enggak berubah ternyata. Itu sebabnya aku jadi dokter, supaya kejadian seperti tadi bisa aku tangani."
"Aku gak sebodoh itu sampai mau melukai diri sendiri."
"Siapa yang tahu. Kamu mungkin ada niatan untuk membenturkan kepala sama tiang lampu di pinggir jalanan?"
Jenisa hanya bisa bungkam sementara di sampingnya Yoga puas tertawa sendiri mendengar kalimat yang dilontarkan sendiri seolah hal tersebut merupakan lelucon yang menyenangkan. Hal itu sukses membuat Jenisa merasa sedikit kesal, ia tahu ini semua berawal dari tindak bodohnya membenturkan kepala hingga berakhir dipergoki oleh pria itu. Tapi tetap saja rasanya menyebalkan saat seseorang puas tertawa di atas rasa malu yang ditanggung seseorang. Tak kurang, dalam melepaskan kekesalannya Jenisa membalas dengan melayangkan cubitan kuat yang membuat Yoga mengeluh dan meringis menahan sakit.
"Awww...... Sorry, sorry. Aku cuma bercanda, okey?"
"Gak lucu."
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
DANGEROUS WOMAN
RomanceBagi Tetto menjalani hidup dengan tenang dan menghindari masalah adalah pilihan, itu karena Tetto remaja dengan sukarela menjerumuskan diri dalam sebuah masalah tanpa peduli resiko yang bisa saja menimpa. Karena kenaifan-nya dulu yang mempercayai se...