31. Cooking Time (5)

23 8 0
                                    

"Kamu bisa tunggu di meja. Sebentar lagi siap." Jenisa buka suara membuat Tetto tersadar dan memilih mengikuti apa yang dikatakan gadis itu. Ia tak yakin apa yang terjadi nanti jika tetap berada kurang dari satu meter dari Jenisa dengan suasana hati yang buruk setelah mengenang kenangan lama, karena itu Tetto lebih memilih menyingkir dan menunggu di meja makan.

Tak berselang lama gadis itu datang dengan semangkuk bubur yang dibawa di satu tangannya, namun yang tidak pernah Tetto sangka ialah pada isi mangkuk yang ada di hadapannya. Matanya bahkan tak bisa sekedar untuk berkedip karena rasa terkejut dan tak percaya akan apa yang ada di depan matanya.

"Apa maksudnya ini?" pria itu bertanya dengan mata tak lepas dari isi mangkuk seolah ia seorang bocah yang tak tahu nama makanan. Tak kunjung mendapat jawaban, Tetto mengangkat wajah untuk melihat sosok sang gadis yang tengah tersenyum tipis tanpa rasa bersalah.

"Itu bubur."

Memang benar apa yang Jenisa katakan jika apa yang berada dalam mangkuk di depannya ialah bubur, namun masalah bukan terletak pada jenis makanan yang terhidang yang membuatnya sang pengacara speechless hingga tidak bisa berkata-kata, melainkan tampilan dari makan itu sendiri.

"Kamu kira aku anak kecil? Kenapa harus se_ Arghh, bahkan aku gak tahu harus pakai kata apa untuk menjabarkannya." Keluh Tetto kemudian,

Pasalnya dari sekian banyak kalimat pujian untuk sajian makanan, sang pengacara kehabisan perbekalan kata namun untuk menghujat sekalipun Tetto dibuat tidak tega karena tampilan makanan di depannya terlihat sangat menggemaskan untuk ukuran orang dewasa seperti dirinya.

"Ada yang bilang 'orang sakit itu nafsu makannya berkurang', jadi aku harus berinovasi buat tampilan makanan semenarik mungkin. Anak kecil yang gak doyan makan aja pasti suka."

"Wahhh, luar biasa... Jadi kamu memang menyamakan aku sama anak kecil?"

Tetto menggeleng tak percaya dengan sedramatis mungkin, mulutnya bahkan tak terkatup sempurna menunjukkan rasa tidak habis pikir mendengar apa yang Jenisa katakan. Sejujurnya ia tak masalah akan tampilan makanan, bahkan jika makanan itu berbentuk biasa sekalipun atau apa adanya. Karena pada akhirnya hal utama dari sebuah makanan bukan tampilan, melainkan gizi yang terkandung di dalamnya. Tapi untuk pertama kalinya Tetto mengeluh akan tampilan bubur di hadapannya, terlebih Jenisa menyamakan dirinya dengan anak kecil yang nafsu makannya bisa bangkit saat dihadapkan dengan makanan berbentuk karakter lucu.

"Sudah makan saja." Melihat Jenisa yang anjak berdiri membuat Tetto yang tengah kesal menjadi sedikit teralihkan.

"Kamu... mau ke mana?" tanya pemuda itu ragu dengan tangan yang sudah mengambang di udara tanpa sadar.

Gadis dengan surai hitam bergelombang tersebut terdiam sejenak mengamati pria di depannya, sekilas bayangan Tetto yang meminta untuk tetap ditemani karena tidak ingin ditinggalkan sendirian kembali muncul dalam ingatan. Bagaimana pria itu yang dengan kondisi setengah sadar mengucapkan jika dirinya kesepian, tidak bisa serta merta Jenisa menuduh jika apa yang pria itu ucapkan hanya akting semata karena situasi yang memang tak mendukung. Ia ragu orang yang tengah sakit masih bisa membual dengan kesadaran di ambang batas.

"Maaf Non, saya lama balik ke restoran. Tadi saya ditawari makan dulu, jadi saya ikut makan" Kalimat Kang Arif juga semakin menguatkan bila Tetto memang tidak main-main sampai sosok keras kepala seperti chef-nya bahkan rela meluangkan waktu hanya untuk menemani pria dewasa makan.

"Aku mau ambil obat, jadi kasih tahu di mana kamu simpan obatnya!"

Tetto tak tahu kenapa namun ada satu kelegaan yang dirasakan hatinya yang tadi sempat gelisah saat melihat gadis itu mulai beranjak dari kursinya, hahkan dia tak bisa menyembunyikan sudut bibirnya yang tanpa sadar tertarik sedikit ke atas mendengar bagaimana kepedulian gadis itu yang mengkhawatirkan kesehatannya dan rela untuk mengambilkan obat yang dia simpan. Hal itu membuat Tetto harus menunduk sambil memakan buburnya guna menyembunyikan ekspresi senang yang jelas tidak ingin ditunjukkan secara terang-terangan agar Jenisa tidak salah paham, bahkan tanpa sadar sang pengacara tidak lagi mempermasalahkan protesnya tentang tampilan makanan dan sibuk mengambil tiap suapan guna memenuhi mulutnya yang masih saja membentuk lengkungan.

"Obatku ada di kamar."

Setelah memastikan Jenisa pergi, Tetto mulai bisa untuk menarik napas lega. Beberapa menit kemudian pemuda tersebut baru sadar telah menghabiskan setengah dari isi mangkuk yang sebelumnya diprotes, matanya menatap nanar pada apa yang tersaji di dan kini sudah tidak lagi berbentuk membuat Tetto terdiam dengan rasa menyesal namun tak ayal sang pengacara kembali menyuapkan sendok demi sendok.

"Kenapa juga harus lucu bentuknya? Kan jadi gak tega buat makan." Layaknya orang gila sang pengacara menyesali sendiri perbuatannya. Masih dengan mulut penuh yang membuat kalimatnya tak jelas, pria itu menatap nanar bentuk buburnya yang kini hancur. "Ahhh... Sialan. Tapi enak."

Kembali suapan kedua meluncur di mulutnya. Tetto memejamkan mata meresapi rasa bubur yang dimakan. Memang makanan di depannya tak jauh berbeda dengan apa yang akan di dapatnya di rumah sakit. Tapi Jenisa seakan tahu jika ia tak menyukai masakan rumah sakit yang hambar. Gadis itu seolah membuatnya dengan istimewa.

Namun kelegaan yang dirasakan hanya berlangsung sesaat, bahkan bubur yang tengah dimakan sudah tidak lagi terasa nikmat. Tangannya menggantung di udara untuk mengantarkan sendok ke dalam mulut saat menyadari jika sedari tadi Jenisa tak kunjung muncul. Sang pengacara mencoba mengurai urutan kejadian saat merasakan ada sesuatu yang janggal, pertama kepergian gadis itu yang ingin mengambil obat-nya, kedua Jenisa hanya pergi kurang dari jarak satu meter untuk mencapai kamarnya yang ada di ujung ruangan, yang ketiga sudah lebih dari sepuluh menit dan bubur yang Tetto makan bahkan sudah hampir habis namun gadis itu tak kunjung menunjukkan kembali batang hidungnya. Butuh beberapa detik untuk pria itu menyadari ada yang salah, hingga Tetto harus terbatuk dan kalang kabut saat menyadari kesalahan terletak pada point nomor dua di mana tempat yang dikunjungi gadis itu merupakan tempat sakral yang merupakan ranah privasi miliknya, yaitu kamarnya.

"JENISA......"

Tetto tidak harus berpikir panjang untuk segera beranjak menyusul. Saat membukan pintu kamar yang memang tidak tertutup sempurna tersebut dengan cara paling dramatis karena panik, yaitu mendobrak, sang pengacara dibuat kehilangan kontrol dan tanpa bisa dicegah harus menabrak Jenisa yang tepat berada di depannya hingga membuat keduanya harus berakhir jatuh bebas di atas lantai. Jangan harap akan ada adegan di mana mereka berakhir saling tumpang tindih dengan tangan Tetto melindungi bagian belakang kepala Jenisa dengan iringan lagu romansa, realita yang ada keduanya justru harus berakhir jatuh dengan tidak kalah dramatis di lantai. Ruangan yang cukup luas membuat mereka tidak berakhir lebih menyedihkan dengan kepala yang masih dalam kondisi aman dan tidak harus berakhir membentur laci nakas, lemari atau permukaan runcing yang bisa membahayakan.

DANGEROUS WOMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang