23. All About Business (3)

45 11 0
                                    

Sebelumnya Jenisa tidak pernah seemosional ini, terlebih itu pada customernya sendiri yang tentu saja menyalahi kode etik sebagai seorang pengusaha yang menjalankan bisnis restoran. Sebelum memulai bisnis tentu saja Jenisa sudah terlebih dulu belajar sebagai perbekalan, di mana salah satu hal mendasar yang dipelajari tentang berbisnis ialah 'Jangan pernah bertindak ceroboh di depan pelanggan karena pelanggan itu raja'. Selayaknya raja sungguhan, maka wajib hukumnya untuk menuruti apa keinginannya, maka dengan begitu persentase keberhasilan bisnis yang dijalankan berjalan lancar akan menjadi lebih besar. Seolah tersadar sudah melanggar prinsip berbisnis yang selama ini dipegang, gadis itu menarik napas sejenak untuk meredakan emosi. Tak lupa senyum marketing andalan ia sematkan untuk meyakinkan pelanggannya.

"Maaf aku terbawa emosi. Bisa kamu jelaskan apa yang mau kamu bicarakan sebelumnya"

Tetto menolehkan kepala, mendengus pelan. "Aku di sini mau makan, bukan bicara."

"A-Apa? Tapi tadi kamu bilang. Aku gak lagi salah denger, kan?" tanya gadis itu terbata-bata merasa tak percaya akan apa yang di dengar. Lagi, menarik napas coba kembali dilakukan guna menahan emosi yang sudah berada diambang batas. Bahkan kini hilang sudah senyum marketing yang sebelumnya coba dia pertahankan.

"Kamu mau coba mempermainkan aku?" tuding Jenisa dengan mencondongkan badan dan telunjuk mengacung. Bahkan taraf intensitas suaranya sudah tidak dalam batas normal membuat Tetto yang hendak mengunyah sebuah ravioli dipiringnya harus tersedak karena menelan bulat makanan tersebut tanpa dikunyah terlebih dahulu. Hal itu membuat si pria yang berprofesi sebagai pengacara terburu-buru mengambil gelas minuman yang ada di atas meja.

"Bisa kamu bicara pelan-pelan?" pinta pemuda itu suara kepayahan.

"Pelan-pelan?" Jenisa balik bertanya dengan nada sarkas mencoba menahan tawa. Rasa-rasanya dia bisa gila kapan saja jika berhadapan dengan Tetto lebih lama. "Setelah kamu memaksa dengan ancaman bodoh tadi, menyeret aku, bahkan menginvasi ruangan kerjaku. Sekarang kamu bahkan nggak mau membahasnya dan meminta aku bicara pelan-pelan. Sebenarnya apa tujuan kamu. Hah?" bentaknya dengan emosi yang meledak. Namun gadis yang tengah menyalurkan amarahnya itu sempat tertawa. Lebih tepatnya tawa sinis berselang beberapa menit saat melihat pria itu gelisah dengan napas memburu.

"Tetto jangan coba-coba bermain drama, karena itu enggak akan mempan!" Tawa yang semula berderai berangsur reda saat Jenisa sadar jika pria itu tidak sedang memulai memerankan salah satu peran protagonis yang tersakiti dalam sebuah FTV. "Tetto jangan bercanda."

Melihat itu Jenisa mulai panik sendiri dengan mata menoleh gelisah ke sekeliling, berharap jika di sekitar mereka memang ada kamera tersembunyi yang terpasang sebagai konten prank untuk menjebaknya. Namun semua nihil, tidak ada kamera yang bisa dia temukan ditambah apa yang terjadi pada pemuda di depannya sukses membuat Jenisa panik sendiri. Tak membuang waktu lama gadis itu segera bergegas menghampiri Tetto yang sudah dibanjiri keringat dengan napas memburu, Jenisa segera berjongkok di depan Tetto yang duduk di single sofa mencoba mengguncang lengan pria itu untuk mencari tahu apa yang salah. Hingga saat menyentuh kulitnya, Ia sadar jika dirinya tidak sedang dipermainkan. Suhu tubuh pria itu mendadak hangat, bahkan beberapa bagian kulit seperti leher mulai memerah seperti ruam membuat Jenisa panik. Dia tak tahu apa yang salah karena beberapa saat lalu pria itu masih baik-baik saja dan masih bisa mengusiknya.

"Tetto kamu gak apa-apa?" tanya Jenisa khawatir.

Gadis itu terus mencoba mencari tahu apa yang salah, menerka sendiri bila mana kemungkinan teriakan yang dia lakukan yang menjadi penyebab utama hingga membuat kondisi Tetto drop seperti sekarang. Namun jika dipikirkan kembali, tak ada korelasi antara kondisi Tetto juga bentakan yang dia beri sebelumnya. Kebingungan Jenisa menemui titik terang saat matanya jatuh pada piring makanan yang tersaji di atas meja, tak berpikir panjang gadis itu segera mengambil sebuah ravioli dan menyendokkan sendiri ke mulutnya. Seketika matanya melebar saat mengetahui apa yang salah hingga membuat lelaki di depannya tampak seperti orang yang sekarat. Jenisa tak terkejut pada rasa makan yang masuk ke mulutnya bisa terasa lezat, melainkan bahan apa yang menjadi isi ravioli di dalamnya. Kontan saja gadis itu beranjak berdiri untuk pergi keluar meminta bantuan. Namun belum sempat kakinya melangkah, sebuah lengan sudah lebih dulu mencekal dan menahan gerakannya.

"Jangan pergi!"

Menolehkan kepala Jenisa kembali dibuat terkejut saat mendapati Tetto yang bergumam pelan memintanya untuk tidak pergi dengan kepala yang sudah tertunduk lesu. "Aku mau minta bantuan, kamu tunggu sebentar di sini." tuturnya memberi penjelasan.

Seolah tak peduli, Tetto tetap menggenggamnya lalu menggeleng dengan kepala tertunduk. "Aku mohon jangan pergi..."

Menyadari bila ia dalam posisi yang serba salah, Jenisa semakin dibuat kebingungan saat melihat dengan mata kepalanya sendiri Tetto yang saat ini tak lebih seperti anak kecil yang ketakutan dan enggan melepaskan tangannya.

"NAY! NAYA!" panggilnya panik sambil berteriak. Tak lama seorang gadis muncul dengan langkah tergesa.

"Kenapa, Mbak?"

"Tolong kasih tahu Adif buat bawa mobil saya! Ini kuncinya, tolong parkir di depan resto." pinta Jenisa lalu dibalas anggukan patuh. Menunggu kendaraan datang, Jenisa kembali berjongkok mencoba untuk menjaga pria di depannya tetap baik-baik saja dan sebisa mungkin tetap memastikan Tetto dalam kondisi sadar.

"Ravioli di piring kamu itu filingnya seafood, kenapa kamu bisa sampai makan itu?" Jenisa bertanya dengan nada pelan. Dia tahu apa yang salah karena Tetto memang alergi pada makanan laut.

"Aku sudah pernah bilang kan, akan tetap makan makanan yang kamu buat dengan susah payah." Balasnya pelan dengan mata sayu setengah terbuka berusaha keras agar tetap sadar.

Sementara itu, mendengar jawaban Tetto membuat Jenisa yang mendengarnya hanya bisa memejamkan mata merasa bersalah. "Aku minta maaf."

Seharusnya dia memberitahu pada juru masak untuk menghindari seafood pada pesanan yang sengaja Jenisa ajukan, atau memang seharusnya sedari awal dia sendiri saja yang memasak pesanan Tetto hingga kejadian seperti ini tidak harus terjadi. Ini semua karena kecerobohannya, hanya karena ingin menghindari pria itu Jenisa dengan sengaja menyerahkan apapun hal yang berurusan tentang Tetto pada orang lain. Entah itu Arin yang dengan sengaja dia mintai tolong untuk menahan pemuda itu, atau pada juru masaknya yang dengan sengaja Jenisa minta untuk membuatkan pesanan sang pengacara.

"Tetto. Hey, tetep sadar!" pinta Jenisa menepuk pelan pipi pria berharap hal tersebut bisa menjaga agar pemuda di depannya untuk tidak pingsan. "Aku mohon jangan mati sekarang. Jangan mati di sini." Lanjut gadis itu dengan air mata yang siap jatuh.

"Awww, sakit... Stop tampar pipiku sembarangan." keluhnya. Meski menggerutu dengan nada pelan, setidaknya itu cukup untuk membuat Jenisa bisa bernafas lega sesaat. Tak pernah sekalipun ia berpikir jika melihat pria itu kembali membuka matanya yang seolah terasa berat akan terasa sangat melegakan, berbanding terbalik dengan doanya beberapa saat lalu yang meminta Tetto menutup mata dan usia karena terlalu terbawa emosi menghadapi pria itu.

"Kita akan ke rumah sakit sebentar lagi, jadi bertahan sampai saat itu."

"Aku... A-aku, enggak mau makan sendirian." Gumam sang pengacara dengan mata yang kembali terpejam. "Aku benci sendirian. Itu alasan semua kekonyolan ini, itu juga alasan aku mempermainkan kamu." Pria itu tersenyum dengan mata redup seolah tengah mabuk dan kesadarannya hendak terenggut.

"Aku... enggak mau sendirian." lanjutnya lirih. "Karena itu, jangan tinggalin aku lagi." setelahnya tubuh besar dengan kaso putih itu luruh ke depan dengan kepala menunduk, beruntung Jenisa berhasil menahannya. Pada akhirnya Tetto harus berakhir pingsan dengan kepala terkulai lemah di satu pundak sang pemilik restoran.

Entah sejak kapan namun tanpa sadar Jenisa mendapati dirinya telah menahan napas. Gadis itu kembali kebingungan dengan tidak tahu harus berbuat apa selain hanya diam dan menahan isak tangis yang sudah berurai. Saat ini bukan waktunya bernostalgia mengenang kenangan lama, yang lebih penting sekarang adalah kondisi Tetto dan Jenisa harus memastikan kondisi pria itu baik-baik saja atau dia akan merasa bersalah seumur hidup.

"Aku gak bakal ninggalin kamu lagi... Tetto."

DANGEROUS WOMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang