42. The Night (3)

19 6 0
                                        

Gedung apartemen yang memang tak jauh dari mini market membuat Tetto tak perlu repot untuk menggunakan kendaraan menuju tempat tersebut. Tapi entah kenapa untuk kasus saat ini dia benar-benar ingin sekali membawa kendaraannya, meski sekali lagi harus di tegaskan jika jarak yang terpaut terbilang cukup dekat untuk memakai kendaraan.

"Ahhh."

Suaranya yang terdengar keras memenuhi seisi ruangan, tak kurang sang pengacara juga langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Kentara sekali sosoknya terlihat lemah terlebih di depan seorang wanita hanya karena berjalan membawa tiga kantong plastik belanjaan. Namun Tetto tak peduli, pemuda itu memang sengaja mendramatisir segalanya agar gadis itu merasa sedikit bersalah. Tapi lagi, itu tak terjadi karena sudah seharusnya Tetto ingat kuat-kuat jika Jenisa itu memiliki sikap abai. Bukannya berempati, yang ada gadis itu hanya tersenyum dan tertawa seolah tak peduli pada keluhan yang dia berikan.

"Kamu... Apa kamu enggak merasa bersalah? Minimal sedikit saja?" cetus Tetto sedikit terusik saat melihat Jenisa yang terkekeh pelan.

"Kenapa? Yang kamu beli itu buat kamu sendiri, jadi kenapa harus merasa bersalah."

"Aihhh. Salahku karena baru sadar kalau kamu ternyata sepicik itu." Balas Tetto mengkritik. Ia tahu jika dirinya tak bisa melawan Jenisa karena yang dikatakan gadis itu benar adanya, barang-barang yang dibeli memang untuk kebutuhannya sendiri. Namun tetap saja ini tidak bisa dibenarkan. "Pokoknya, kamu masak yang enak. Aku gak mau tahu."

"Siap." Jenisa mengangguk layaknya prajurit pada sang komandan lalu mulai membuka setiap isi plastik dan mulai menyimpan setiap barang di tempat yang sesuai. Selesai dari menyimpan semua belanjaan dan memisahkan apa yang hendak di olah, gadis itu berniat memulai ritualnya dengan terlebih dulu mengikat rambut panjang yang semula tergerai dan memasang ikatan apron di belakang pinggang.

"Mau request?" tawar Jenisa. Melihat Tetto yang nampak serius memikirkan tawarannya membuat gadis itu tersenyum tipis, setidaknya melihat bagaimana pria itu yang mau memikirkan apa yang ingin dimakan -meski itu akan membuat Jenisa kerepotan sekalipun- akan masih lebih baik dari pada pria itu yang menolak untuk makan malam.

"Aku mau seblak." Pinta Tetto. Melihat Jenisa yang hendak melayangkan protes membuat lelaki itu melayangkan tatapan tajam. "Pokoknya aku mau seblak dan enggak ada bantahan. Kamu sendiri yang minta aku request, jadi anggap saja ini sebagai ungkapan permintaan maaf dan terima kasih yang nggak bisa kamu bilang."

"Tetto kamu baru sembuh loh, minimal makan makanan yang....." Jenisa menghentikan kalimatnya saat melihat pria itu beranjak pergi begitu saja seolah menganggapnya angin lalu. Bahkan Jenisa harus berteriak guna memanggil lelaki itu yang masih saja tak mengacuhkannya.

"Yakkk... Sebastian, kamu pikir aku apaan ngomong sendiri. Main kabur gitu aja." Gerutu Jenisa tak terima, bahkan satu brokoli sudah siap dilemparkan jika saja gadis itu tak menyadari apa yang hendak dilemparnya ialah makanan.

"Satu lagi, jangan terlalu pedas." Tambah Tetto setelah membalikkan badan yang mana kian memicu emosi seorang Jenisa. Pasalnya bukan menyahuti apa yang dikatakan gadis itu, Tetto malah tetap pada pendiriannya, bahkan meminta makanan yang diinginkan sesuai selera di mana rasa pedas jelas terlarang bagi perutnya.

Sementara itu Tetto kembali pergi pada tempat bersemayamnya sebelum Jenisa datang, pemuda itu kembali duduk termenung sendirian dengan memandang langit kelam. Tanpa Tetto sadari sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah lengkungan tipis, dia tidak pernah tahu bila ada malam yang berbeda dengan malam-malam lain yang pernah dilalui selama ini. Tidak ada Tetto yang berteriak sendirian seperti orang gila di tengah malam, tidak ada Tetto yang melamun, juga tidak ada Tetto yang menangis ditelan keheningan. Malam ini, malam yang terasa normal. Kepalanya menoleh ke dalam ruangan, tepat tertuju pada seorang gadis yang terlihat begitu lihai berkutat di dapurnya dengan segala macam perabotan. Selang dua puluh lima menit, suara Jenisa kembali terdengar memanggil dari arah dalam memberi tahu jika gadis itu telah menyelesaikan pekerjaannya.

"Tetto, aku udah selesai. Kamu bisa tunggu di sofa tengah."

Mendengar pemberitahuan tersebut, sang pengacara memilih untuk segera beranjak sesuai yang diminta Jenisa. Pemuda itu hanya duduk layaknya seorang bocah manis menunggui sang ibu mendatanginya membawa makanan. Dua mangkuk dibawa gadis itu mendekat, hingga Jenisa ikut duduk di sofa yang sama dan menyerahkan satu mangkuk lain padanya

"Kok bentuknya mencurigakan, ya?" komentar Tetto dengan alis mengerut heran.

"Mencurigakan gimana? Di mana-mana seblak ya kayak begitu. Emang mau di plating kayak gimana lagi sih." Balas Jenisa dengan nada kesal. Gadis itu tampak tersinggung pada reaksi pria di sampingnya yang terlalu banyak protes pada makanan. "Lagi pula nggak seperti kebanyakan seblak di luaran, aku coba buat rasa pedasnya pakai bahan alami dari pada bubuk cabai."

Seolah komentarnya memang hanya untuk memancing emosi, setelahnya Tetto dengan santai menikmati makanannya dengan tenang dengan tak memedulikan bila masih ada kepulan uap dari panas makanan karena baru selesai disajikan.

"Mau nonton?" cetus pria itu berinisiatif.

"Boleh."

Tetto mulai memilah channel yang sekiranya Jenisa sukai, hingga pilihannya jatuh pada sebuah film kartun dengan tokoh utama seekor anjing bernama scooby doo. Sebutlah dia terlalu bodoh dengan memilih kartun untuk menjadi tontonan dua orang dewasa, dan Tetto sedikit khawatir bila di tempatnya saat ini Jenisa bisa saja merasa tersinggung. Dia hanya mencoba untuk menghindari situasi canggung, entah itu jika pilihannya jatuh pada sebuah film romansa yang mungkin akan janggal ditonton sepasang pria dan wanita berlabel mantan seperti mereka, atau film thriller dan horor yang memberi kesan jika Tetto mencari kesempatan dengan membuat Jenisa ketakutan. Hingga pada akhirnya pilihan teraman jatuh pada film kartun, itu pun tanpa mempertimbangkan usia dari yang menonton. Namun saat menolehkan kepala ke samping, sang pengacara sejenak bisa bernapas lega mendapati bila Jenisa menikmati film yang dia pilihkan.

"Boleh aku bertanya?" tanya Tetto memecah kebisuan dengan berbicara di tengah menikmati makanan. Jenisa yang juga tengah menyantap hasil masakannya hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

"Kamu bukannya anak bisnis, kenapa bisa banting setir sampai masak-masak di dapur?"

Sejenak Jenisa terdiam sambil berpikir. "Sebenarnya aku enggak suka banting setir, aku lebih suka banting orang."

Butuh satu saat untuk pemuda itu diam dan berpikir karena tidak paham akan maksud dari kalimat yang Jenisa katakan sebagai jawaban. Mungkin akan butuh lebih dari sekedar satu menit untuknya menemukan jawaban jika saja Jenisa tidak lebih dulu menyela dengan tawa yang berderai.

"Itu hanya lelucon." Ungkap Jenisa dengan tawa yang sudah tidak bisa lagi tertahan. "kamu harus coba lihat wajah kamu pas lagi bingung."

Tapi itu kan gak lucu.



DANGEROUS WOMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang