Satu hari sebelumnya...
Sore itu Jenisa tengah bersiap untuk pulang saat sebuah pesan dari nomor tidak dikenal masuk. Sore yang tenang berubah menjadi sedikit mendebarkan saat gadis itu membuka isi pesan dari nomor tersebut.
"Jenisa, ini nomor baru aku, Yoga. Save, ya. Aku mau menagih janji temu kita yang kamu setujui pas di rumah sakit tempo hari."
17.42Untuk beberapa alasan Jenisa dibuat tidak berkedip membaca untaian kalimat yang tertera di layar ponselnya, fokusnya terpusat pada satu nama yang menginformasikan sang pemilik nomor, yaitu Yoga. Entah kenapa gadis itu merasa sedikit tak nyaman mendapat ajakan tersebut sekalipun dia sudah menyetujui seperti apa yang dikatakan Yoga dalam pesannya, seolah suhu juga tekanan dalam ruangannya tiba-tiba meningkat membuat gadis itu harus menarik napas ekstra untuk membuat aliran darahnya lancar dan pikirannya kembali tenang.
Seharusnya dia tahu cepat atau lambat situasi seperti ini akan datang, dan kebetulan saja hari itu datang tidak lama lagi. Sejujurnya tidak ada yang aneh untuk merasa tak nyaman saat hendak bertemu seorang teman di masa lalu, tapi Yoga bukan sekedar teman biasa hingga Jenisa harus merasa tak nyaman, dia salah satu mantan kekasihnya di masa lalu. Memikirkan hal tersebut membuat kepalanya tiba-tiba merasa pening hingga tanpa sadar gadis itu mengeluh dengan helaan napas yang terdengar sangat berat. Satu hal yang saat ini harus dipikirkan ialah bagaimana nanti pertemuannya akan berjalan dengan Yoga, dia tidak bisa memungkiri jika rasa canggung itu pasti hadir di antara mereka terlebih dengan sejarah masa lalu yang membuat mereka berakhir sebagai mantan. Memang apa yang bisa dilakukan sepasang mantan kekasih dengan melakukan reuni, bersenda gurau dan mengungkit kisah masa lalu yang menjadi alasan kandasnya hubungan atau terus diam seperti orang bisu dan tidak memberikan tanggapan yang tidak perlu. Alhasil gadis dengan paras jelita itu memilih mendudukkan diri kembali di kursi kebesarannya, memikirkan semua kemungkinan yang bisa terjadi berhasil membuat Jenisa mengurungkan niat untuk pulang.
Hari berganti, kesibukan di keesokan hari sudah menanti membuat gadis itu melupakan kegalauan yang sebelumnya dialami, memang menyibukkan diri adalah cara yang terampuh untuk melupakan semua beban pikiran. Sibuk dengan menyiapkan beberapa piring pasta carbonara yang menjadi menu utama hari ini, Jenisa tampak serius menata makanan di atas piringnya. Selesai dari itu, sang owner berniat untuk meminta salah satu pegawainya mengantarkan pesanan pada meja yang dituju. Namun setelah menunggu dari saat bel ditekan, tak seorang pun dari pegawainya yang anjak mengantarkan piring pesanan tersebut terlebih saat memastikan sendiri dengan melihat langsung semua karyawan tengah sibuk melayani para pelanggan entah itu tengah mencatat pesanan, mengantarkan hidangan, membersihkan meja atau sekedar melayani pembayaran, membuat Jenisa tidak tega untuk memerintah salah di antara mereka. Oleh karena itu setelah merangkap sebagai koki yang bekerja di dapur restoran, sang pemilik restoran juga berniat merambah pekerjaannya dengan mengantarkan pesanan tersebut sendiri setelah terlebih dulu melihat catatan kecil berisi nomor meja yang tertera.
Baru beberapa langkah kakinya keluar dari dapur, Jenisa harus mematung di tempat tepat saat bunyi lonceng pintu restoran terdengar, menandakan seorang pelanggan yang baru masuk ke dalam ruangan. Baru terhitung berapa jam dia bisa melupakan segala macam pemikiran yang membuat kepalanya pusing, nyata semesta seolah tidak bisa membiarkannya untuk merasakan ketenangan lebih lama, karena tidak cukup dengan hanya memenuhi pikirannya akhir-akhir, sosok yang seolah tidak rela untuk dilupakan tersebut bahkan ikut hadir di depan mata. Yoga, pria itu datang dengan senyum secerah mentari lengkap dengan lambaian tangan seolah tak memiliki beban sama sekali, berbeda dengan Jenisa yang hanya bisa diam membisu di tempatnya berdiri. Beruntung, Adif yang kebetulan melintas dari belakang menegur membuat gadis itu tersadar dan berbalik badan.
"Mbak, Jenisa."
"Ya, kenapa?"
"Itu... Biar saya saja yang antar pesanannya."
Jenisa mengangguk pelan dengan menyerahkan nampan berisi dua piring yang dibawa. "Makasih, Dif."
Adif yang mengambil alih tugasnya dari sang owner lantas pergi. Sementara itu Jenisa yang sebelumnya mengalihkan fokus tak menyadari jika Yoga sudah berdiri tepat di belakang, tak kurang gadis itu sukses dibuat terkejut saat berbalik badan dan bukan hanya menyadari kehadiran Yoga yang berjarak kurang dari lima langkah namun sepasang lengan pria itu juga tiba-tiba mendekap tanpa memberi peringatan. Refleksnya bekerja begitu saja berniat mengurai pelukan mereka yang menjadi tontonan banyak orang, namun niatan itu tak terlaksana saat sang tersangka sudah lebih dulu buka suara.
"Aku kangen."
Dua kata, hanya dua kata saja namun sukses membuat Jenisa dibuat bungkam. Dua kata yang sama yang diucapkan si pria di rumah sakit, dan masih memberi efek yang sama pula baginya.
Tersadar bila mereka berada di tempat umum dengan posisi yang tidak sopan membuat Jenisa sadar dan mencoba mengambil jarak setelah pelukan pria yang berprofesi sebagai dokter itu terlepas. "Yoga, ini tempat umum."
Tidak menjawab sang dokter hanya bisa tersenyum canggung meski menutupi rasa malunya dengan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Melihat hal tersebut membuat Jenisa hanya bisa menghela napas pelan sebelum berbalik badan. Dia tahu ini akan terjadi, maka di sinilah mereka berakhir. Duduk berdua dengan Yoga di ruangan pribadinya ditemani dua gelas minuman di atas meja. Pria itu tak melepaskan matanya barang sejenak, membuat Jenisa yang menjadi objek pengamatan merasa sedikit kurang nyaman.
"Di minum?" Yoga hanya mengangguk singkat sebagai jawaban. Jujur saja gadis itu tidak tahu harus mengatakan apa sekedar untuk berbasa-basi. Namun diam dengan membiarkan keheningan semakin menjadi juga bukan pilihan yang tepat, di tambah sorot mata lelaki itu yang juga tak lepas memindainya sedari tadi.
"Oke bisa kita mulai, sekarang aku sedikit sib...."
"Aku sudah beli tiket." Potong Yoga cepat menyela tepat saat Jenisa hendak melakukan pengusiran secara halus. Tak kurang pemuda itu mengeluarkan dua lembar kertas kecil yang diketahui sebagai tiket bioskop dari saku kemeja kotak-kotaknya. Seolah tak ingin memberi Jenisa peluang untuk menghindar, pria itu kembali melanjutkan kalimatnya dengan nada riang tanpa beban.
"Aku bahkan sudah sengaja tukar jadwal shift kerjaku jadi shift malam."
Bagi Jenisa sendiri hal itu sangat membebani, meski senyum manis Yoga masih menghiasi seolah pria itu sudah menantikan hari ini terjadi membuat hati nuraninya merasa bersalah karena berniat memberikan penolakan. Pria itu masih sama seperti sosok yang diingatnya di masa lalu, Yoga yang sekarang masih pandai berbicara dan mendominasi hingga sukses membuat Jenisa tidak bisa berkutik sekedar memberikan alasan. Seolah tahu niatnya yang hendak menghindar, Jenisa jadi harus berpikir ulang karena penuturan yang baru saja di dengar. Bagaimana pun ia masih mempunyai hati nurani, memikirkan bagaimana Yoga yang rela mengubah jadwal shift-nya hanya untuk menyempatkan waktu mereka bertemu akan membuat Jenisa menjadi pihak yang terkesan sangat jahat karena mengusir seseorang yang berniat mengobrol sebagai seorang kenalan yang sudah lama tidak bertemu. Tanpa sadar gadis itu menarik napas dalam karena dia tahu sekalipun diberikan pilihan, Jenisa tidak dapat untuk benar-benar mengatakan keputusannya, dia hanya mempunyai satu jawaban yaitu mengangguk sebagai persetujuan. Gadis itu bangkit berdiri dengan diikuti Yoga di belakangnya, tak lupa dilepasnya apron yang sedari tadi tersampir di pinggang.
Mengikuti kemauan sang dokter yang ia kira hanya mengajak berbincang ternyata menjadi salah satu dari banyak keputusan yang akan disesali. Jenisa kira Yoga yang mengatakan untuk menonton memang murni hanya diisi dengan kegiatan menonton sebuah film, karena setidaknya bioskop merupakan tempat senyap yang tidak diperuntukkan untuk berbincang. Dengan begitu Jenisa bisa menghindari pembicaraan sekaligus menepati janjinya. Bodoh sekali dirinya tak teliti dalam melihat situasi, ia bahkan mengambil keputusan tanpa berpikir panjang.
"Kita mau ke mana?" Jenisa bertanya saat mobil yang ditumpangi menyimpang dari tempat tujuan.
"Kita ke taman dulu, sekalian jalan-jalan."

KAMU SEDANG MEMBACA
DANGEROUS WOMAN
RomanceBagi Tetto menjalani hidup dengan tenang dan menghindari masalah adalah pilihan, itu karena Tetto remaja dengan sukarela menjerumuskan diri dalam sebuah masalah tanpa peduli resiko yang bisa saja menimpa. Karena kenaifan-nya dulu yang mempercayai se...