43. The Night (4)

24 6 0
                                    

Tapi itu kan gak lucu.

Ingin rasanya Tetto mengatakan itu, namun sang pengacara tak sampai tega merusak kesenangan orang lain sekalipun selera humor Jenisa tak sesuai dengan miliknya. Ia hanya bisa bungkam dan berpikir sendiri mengenai selera humor gadis itu yang terlalu rendah hingga membuatnya ikut tertawa sendiri akan lelucon yang sebenarnya tidak lucu sama sekali untuk membuat orang lain tertular dan ikut tertawa.

"Aku masih merintis bisnis sampai sekarang, restoran itu buktinya. Sementara soal keahlian memasak, aku kursus hampir dua tahun di Eropa. Jadi sering kali aku suka ikut campur urusan dapur di dapur restoran."

Tetto hanya mangut-mangut mendengar jawaban yang tak lagi berupa sebuah lelucon tersebut. Tidak seperti kebanyakan pebisnis lain yang mengelola usaha dari balik meja, gadis itu justru dengan suka rela merepotkan diri sendiri dengan ikut turun tangan melakukan pekerjaan pegawainya. Tidak salah bila Jenisa mau melakukannya terlebih dengan skill yang dimilik termasuk mumpuni untuk membuat hidangan berkualitas bagi pelanggan, bahkan tak tanggung-tanggung keahlian yang dimiliki di dapat dari proses belajar di negeri orang. Mungkin seharusnya Tetto tak mengatakan kalimat 'Boleh aku bertanya' sebagai pembuka, karena mungkin yang lebih tepat untuk dikatakan ialah 'Boleh aku mengenal kamu lebih dalam'. Jujur sajaTetto baru mengetahui mengenai fakta bila Jenisa pernah pergi keluar negeri selama hampir dua tahun -sekalipun dia pernah mendengar hal tersebut lebih dulu dari Mas Arif beberapa waktu lalu- tapi mendengarnya langsung dari pihak yang bersangkutan membuat Tetto sedikit terkagum. Secara tidak langsung hal tersebut sudah membuktikan bila dirinya memang belum begitu mengenal gadis di sampingnya selama ini.

Hanya keheningan yang mengisi selain suara televisi yang masih menayangkan serial scooby, kedua orang yang kini berlabel mantan itu saling bungkam menikmati makanan masing-masing karena kebingungan mencari topik pembicaraan.

"Tetto, aku mau minta maaf." Cetus Jenisa buka suara dengan bergumam pelan membuat Tetto yang semula termenung menolehkan kepala dengan raut bingung.

"Karena hari ini terlambat datang?" tanya Tetto penasaran.

"Aku minta maaf buat semuanya."

Sang pengacara menghentikan kegiatannya dengan memilih meminum segelas air yang sudah tersedia di atas meja, mangkuk seblaknya yang sudah kosong pun kini sudah ditaruh di begitu saja mengisyaratkan jika pemuda itu memang ingin memfokuskan perhatian.

Dulu, dia selalu ingin mendengar kata maaf keluar dari mulut Jenisa. Maaf karena telah mencampakkannya, maaf karena telah mempermainkannya, dan masih banyak maaf lain yang harus Jenisa ucapkan padanya. Ia ingin mendengar semua itu dulu dan mendengar gadis itu memohon-mohon, tapi entah kenapa gairah yang selalu ingin membuat Jenisa mengatakan kata tersebut redup di saat gadis itu mengatakannya secara langsung. Mungkin karena makna 'segalanya' yang diucapkan gadis itu terkesan ambigu dan masih terasa abu-abu, yang jelas egonya terlalu besar untuk menerima permintaan maaf tak jelas seperti itu. Ia ingin mendengar rincian kesalahan-kesalahan yang harus dimaafkan. Namun belum sempat Tetto bersuara, gadis itu kembali menyela.

"Aku ingat, waktu itu aku pernah janji. Suatu hari nanti, aku akan buat makanan berbahan mie jadi makanan spesial supaya kita bisa makan ini lagi di lain kencan tanpa harus merasa malu. Mungkin itu menjadi salah satu alasan aku mendirikan restoran Italia." Jenisa tetap melanjutkan kalimatnya dengan mata lurus pada layar televisi, tak menyadari jika kalimat itu membuat Tetto goyah dengan mata bergetar. "Dulu semua masih terasa sama, tanpa sadar aku sudah melarikan diri sampai ke negeri orang. Sampai suatu hari saat kelaparan aku nggak sengaja menemukan restoran pasta kecil di pedesaan, tanpa sadar aku teringat janji kita waktu itu sampai punya tekat untuk bisa merintis usaha restoran seperti sekarang."

"Karena itu, aku berterima kasih karena kamu sudah kasih aku sebuah harapan baru, bahwa hidupku bisa lebih berguna dengan memberikan kebahagiaan buat orang lain lewat makanan." Lanjut Jenisa dengan senyum yang mengembang lebar dan wajah yang sudah menoleh untuk menatap lawan bicaranya yang sedari tadi hanya diam. "Lain kali ayo kita makan pasta sama-sama, sekalipun buka sebagai pasangan."

"Aku... nggak mau."

"Ya?"

"Aku bilang aku nggak mau."

"Ahh, tentu. Nggak masalah kok." Ungkap Jenisa dengan senyum kaku yang masih coba untuk dipertahankan. "Maaf juga kalau aku terkesan mengungkit kisah masa lalu."

Tetto hanya diam dengan mata terpaku lurus pada mata gadis itu, ada sebuah gejolak emosi yang berusaha dia tahan. "Kenapa kamu mencampakkan ku waktu itu? Kenapa kamu mau repot-repot memenuhi janji bodoh malam itu walau kita sudah jadi mantan sekarang?"

Tak pernah terbayangkan oleh Tetto jika dia bisa menjadi seorang yang bodoh seketika oleh sebuah kata-kata, karena untuk beberapa alasan ia ingin emosinya yang mengambil kendali dengan segala macam pertimbangan logika yang lenyap tidak bersisa. Kedua tangannya terangkat meraih wajah cantik itu dalam belaian telapak tangan, tak berhenti sampai di situ dengan bermodal kenekatan dikecupnya bibir Jenisa dalam, sarat akan segala macam perasaan yang sedari tadi berusaha dia tahan. Butuh beberapa menit untuk Tetto menghentikan aksinya, dan memberi jarak untuk bibir mereka. Matanya yang semula terpejam kini mendapati Jenisa dengan raut kebingungan seolah menuntut penjelasan. Namun gadis itu tak menolak, tak menolak saat sebelumnya bibir mereka bertemu, tak menolak tangannya yang masih setia merangkum wajahnya.

"Gimana?" Jenisa bertanya pelan.

"Aku..... Seperti yang pernah kamu bilang di perpustakaan. Aku masih bodoh dengan begitu menyukai kamu, bahkan setelah dicampakkan sekalipun. Kurasa itu cukup sebagai sebuah alasan untuk tindakan yang ku lakukan barusan." balas Tetto menekan rasa gugupnya. Pemuda itu menunduk untuk sesaat sebelum kembali bersuara.

"Tapi di saat bersamaan aku masih membenci kamu. Kamu gadis terkejam yang pernah aku temui. Menyakiti fisik mungkin masih lebih baik dari pada menyakiti hati, dan di sini, bahkan masih belum sembuh sampai sekarang." lanjut pemuda itu merujuk pada dadanya sendiri.

Seperti apa yang dikatakan Mas Arif, Tetto tidak bisa berbohong lagi dan mengakui akan perasaannya yang masih saja tertambat pada gadis itu. Ia sudah kehilangan akal sehat, dorongan situasi membuatnya bertindak secara spontan seperti orang bodoh yang tak mengenal rasa malu. Jenisa sudah berhasil mencuri seluruh hatinya, tapi di satu sisi dia bahkan tidak tahu apa gadis itu juga tertarik dan balik menyukainya. Satu hal yang dia tahu bila gadis di depannya ialah sosok yang sangat berbahaya, pantas untuk mendapat julukan Dangerous Woman karena Tetto bahkan tak kuasa melupakannya sampai sekarang. Sosok yang mematikan dengan paras yang bisa membuat seorang pria luluh dalam satu lirikan.

Mungkin memang sedari awal dia tidak pernah mengharapkan permintaan maaf, karena pada kenyataannya Tetto masih begitu menyukai gadis tersebut sekalipun telah dicampakkan. Hanya saja egonya sebagai lelaki begitu terluka dan merasa tidak terima saat mendapati kenyataan bila selama lima tahun terakhir setelah perpisahan mereka, gadis itu masih tampak baik-baik saja tidak seperti dirinya. Hingga puncak dari Tetto yang menahan semuanya selama ini harus berakhir saat Jenisa mengungkit kisah masa lalu mereka seolah melupakan ada sejarah pahit dibalik kisah perpisahan mereka yang meninggalkan luka di hatinya begitu dalam, sebuah kenangan saat kencan pertama mereka malam itu.

Seperti candu yang sudah lama tak dirasakan, perasaanitu masih tidak berubahseperti halnya terakhir kali yang masih terekam jelas ingat. Dadanya berdebarkeras seperti saat di perpustakaan di mana tempattersebut menjadi sejarah tempat pertama kali merekaberciuman. Lagi, Tetto mencium bibir Jenisa dalam, mencobamenyampaikansegala perasaan sakit yang selama ini diatanggung sendirian melalui sebuah ciuman singkat yangmereka lakukan.

DANGEROUS WOMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang