Dari awal kedatangan Dendi ke perpustakaan, yang memang tidak kuasa menahan kabar gembira, tidak jauh berbeda seperti sebuah masalah yang harus Tetto hindari. Meski niat pemuda itu hanya ingin berbagi kabar bahagia sebagai seorang teman, hanya saja tidakkah pemuda itu bisa melihat tempat dan situasi hingga Tetto yang selalu taat akan aturan bahkan sampai ikut-ikutan menyimpang.
Pemuda berkacamata tersebut menatap jengkel temannya dengan sesekali beralih pada tumpukan buku di pangkuan tangan, meski kondisi Dendi sendiri juga tidak jauh lebih menyedihkan. Karena ulah yang disebabkan pemuda itu dengan mengajak berbincang di tempat yang salah membuat Tetto ikut terkena imbas-nya dengan harus menerima hukuman dari Pak Ari yang meminta mereka mengembalikan semua buku yang dipinjam para mahasiswa ke tempatnya semula. Menarik napas dalam berulang kali dilakukan berharap rasa jengkel-nya bisa berkurang, pasalnya bukan hanya menghabiskan waktu sia-sia dengan menjalani hukuman, Tetto bahkan harus pasrah karena meninggalkan tugas yang sebelumnya tengah dikerjakan hingga terbengkalai. Sadar tidak ada gunanya marah pada hal yang sudah terjadi -meski mulutnya tidak bisa berhenti misuh-misuh sambil berjalan di sepanjang rak perpustakaan yang luasnya bisa membuat seseorang memijat kaki- kesialan yang dialami seolah belum enggan untuk berhenti menyambangi dengan hanya pada permasalahan luas perpustakaan yang membuat pegal di kaki, beban buku yang dibawa berkeliling juga cukup membuat tangannya ikut dibuat kesemutan.
Satu persatu buku selesai dikembalikan hingga sampai di buku terakhir, buku yang ukurannya cukup besar layaknya kamus bahasa asing satu-satunya yang tersisa untuk di kembalikan. Tetto berkeliling 'lagi' untuk menemukan di mana rak dari buku yang dibawa berada, hingga pemuda berkacamata tersebut berhasil menemukan sebuah rak besar yang sesuai dengan buku yang ada di tangan. Niat hati ingin mengembalikan buku tersebut pada tempatnya semula diantara celah yang terbentuk antara buku yang serupa, hanya saja niat tersebut urung dilakukan saat matanya tak sengaja melihat sosok yang terlihat familiar dari sisi lain rak tempatnya berdiri di mana seseorang tengah serius membaca sebuah buku tanpa menyadari bila tengah diawasi. Tanpa sadar Tetto yang semula hanya berniat mengembalikan buku pada tempatnya semula telah mengamati cukup lama sosok tersebut dalam diam, kesadarannya kembali saat ia menyadari bila gadis itu tengah dalam kesulitan mengembalikan sebuah buku pada rak yang sulit dijangkau.
Satu bagian dari dirinya merasa tergerak untuk menawarkan bantuan, namun bila kembali melihat situasi yang terjadi saat ini, akan terasa canggung bila Tetto tiba-tiba menawarkan bantuan seperti pahlawan kesiangan. Namun bila hanya diam menyaksikan gadis itu berusaha tanpa hasil sementara dirinya hanya diam menunggu kata pertolongan terdengar juga dirasa tidak benar. Tetto yakin dirinya bukan anak remaja tanggung yang dilanda rasa bimbang saat hendak menentukan universitas pilihan untuk masa depan, dia juga yakin keputusan yang saat ini akan diambil tidak lebih dari sekedar rasa kemanusiaan. Namun rasa ragu itu kembali menggerogoti tekad Tetto yang sudah bulat berniat menawarkan pertolongan saat menyadari orang yang hendak ditolong bukan sekedar mahasiswa biasa. Dia Jenisa, karena itu banyak pertimbangan yang harus Tetto pikirkan sebelum mengambil keputusan.
"K-kak Jensia." panggil Tetto pelan namun panggilan tersebut cukup untuk sang pemilik nama bisa mendengar.
"Ya?"
Tetto tidak tahu apa yang dia lakukan karena semua seolah di luar kendali, saat kakinya bergerak sendiri berjalan menuju lorong tempat Jenisa berdiri, saat mulutnya seolah berbicara sendiri, segala macam hal rumit dan ketakutan tidak beralasan yang sebelumnya sempat Tetto pikirkan lenyap saat gadis itu menatapnya dengan binar penasaran. Kini giliran tangannya yang terulur meminta dengan lancang sebuah buku dari tangan Jenisa yang hanya menatapnya dalam diam.
"Biar saya saja." Ungkap Tetto dengan nada pelan.
"Kenapa?"
"Bukunya, biar saya saja yang balikkan ke tempatnya." Pinta Tetto pada buku yang Jenisa bawa.
Mendapat apa yang diinginkan, sebisa mungkin Tetto mencoba menyembunyikan wajahnya saat Jenisa menatap dengan sorot memicing curiga. Meski bukan hal sulit untuk Tetto mengembalikan buku tersebut ke tempatnya karena memiliki tinggi badan di atas rata-rata, namun entah kenapa Tetto mencoba mengulur sebanyak mungkin waktu berniat menghindari mata seorang Jenisa dengan terus membelakangi gadis itu dan menghadap rak buku.
"Kamu... kamu cowok siomay waktu itu, kan?" tebak Jenisa buka suara setelah lama terdiam melakukan pengamatan.
Tanpa bisa dicegah Tetto hampir tersedak ludahnya sendiri saat si gadis masih mengingatnya. Jujur saja ia tidak banyak berharap bila Jenisa masih mengingat dirinya untuk ukuran seorang lelaki yang menjalani kehidupan transparan tanpa banyak dikenal orang seperti yang Tetto lakukan, terlebih akan ada obrolan lain yang berlangsung diantara mereka selain tolong-menolong dalam mengembalikan buku. Bahkan kejadian itu sudah cukup lama berlalu untuk dua orang asing saling mengingat apalagi sosok yang cukup terkenal dan sering bertemu banyak orang seperti Jenisa. Hanya saja pemikiran bila Jenisa akan kebosanan menungguinya membalikkan badan hanya tinggal harapan saat gadis itu bertanya mengenai identitasnya, akan terkesan sangat tidak sopan bila Tetto hanya diam dan mengabaikan pertanyaan Jenisa yang mana dalam situasi ini gadis itu sama saja seperti senior-nya. Karena itu meski ragu Tetto perlahan membalikkan badan dengan wajah menunduk dalam.
"Iya, kak."
"Benar, kan?" Seru Jenisa yakin seolah tebakan-nya merupakan hal yang membanggakan. "Wajah kamu punya karakter unik dan nggak pasaran, jadi enggak mudah dilupakan makanya tebakan ku benar."
Mendengar hal tersebut membuat Tetto tanpa sadar merasa tertarik dengan apa yang Jenisa jelaskan, terlebih gadis itu tengah membahas mengenai dirinya yang mana ia sendiri masih mempertanyakan arti pujian seorang Jenisa sementara Tetto sendiri masih belum tahu alasannya.
"Boleh saya tanya satu hal?"
"Asal jangan pertanyaan berat." Gurau Jenisa dengan wajah tersenyum jenaka.
"Arti pujian waktu itu, apa maksud pujian yang kak Jenisa berikan?" tanya Tetto berterus terang. "Saya masih bingung mengenai maksud dari apa yang kak Jenisa katakan. Saya masih belum menemukan jawabannya sampai sekarang."
Terdiam sejenak seolah gadis itu kesulitan untuk memahami maksud pertanyaannya, namun bukannya sebuah jawaban yang Tetto dapatkan untuk memuaskan rasa penasaran-nya Jenisa justru balik bertanya. "Apa butuh alasan?" tanya Jenisa balik.
Tidak seperti di awal pembicaraan di mana gadis itu lebih banyak menarik sudut bibirnya membentuk senyuman, untuk sesaat Tetto merasa bila Jenisa sedang melamun hanyut dalam pikiran meninggalkan raganya yang masih di tempat sementara pikirannya berkelana entah ke mana.
"Setelah saya dibuat mati penasaran dan frustrasi mencari jawabannya..." memilih men-jeda kalimatnya, Tetto berusaha mengembalikan kesadaran gadis itu untuk fokus dalam pembicaraan. "Maka jawabannya 'iya', saya benar-benar butuh alasan."
"Kalau begitu sebegitu frustrasi mencari jawaban kamu bisa lupakan saja dan menganggap saya tidak pernah memuji kamu sebelumnya."
"Kenapa begitu kalau sekarang saya bisa tanya langsung pada orangnya?"
"Anggap saja itu sebuah kesalahan." balas Jenisa tegas. "Karena itu jangan mencari hal yang nggak ada sejak awal, karena itu hal yang sia-sia."
KAMU SEDANG MEMBACA
DANGEROUS WOMAN
RomanceBagi Tetto menjalani hidup dengan tenang dan menghindari masalah adalah pilihan, itu karena Tetto remaja dengan sukarela menjerumuskan diri dalam sebuah masalah tanpa peduli resiko yang bisa saja menimpa. Karena kenaifan-nya dulu yang mempercayai se...