69. HTS-an (2)

10 1 0
                                    

"Ehem......"

Kembali tersadar telah melamun, Tetto mengerjap sesaat. Kini ia ingat siapa sosok wanita di depannya yang tidak lain merupakan salah satu teman Jenisa, dan jika diingat kembali mengenai lokasi restoran Italia yang tengah di kunjungi saat ini persis berdiri di lokasi usaha kafe milik Jenisa dan temannya yang dulu sempat dia kunjungi. Kini Tetto paham alasan kenapa dia tidak pernah bisa menemukan kafe yang sama di tempat yang sama, menyadari itu sang pengacara hanya bisa tersenyum tipis.

"Saya ingin ketemu Jenisa." gumamnya pelan dengan mata menatap lurus ke depan.

"Maaf, gimana?"

Menaikkan mata pada sosok yang sedari tadi menunggu, Tetto memperjelas kalimatnya. Namun berbeda dengan sebelumnya yang hanya bergumam, kini pemuda itu bertanya dengan lebih jelas. "Di mana Jenisa?"

"Hah? Ah, Jenisa? Dia... di kitchen." seolah terintimidasi, wanita hamil bernama Sri itu menjawab dengan nada setengah ragu memberitahukan posisi sang sahabat berada.

Tidak lagi menunggu lama, Tetto sudah beranjak dari kursi yang di tempati. Pengacara itu melangkah dengan pasti menuju satu pintu ruangan khusus pegawai dengan tulisan dilarang masuk untuk orang yang tidak berkepentingan. Tetto sendiri tidak mengerti apa yang melatarbelakangi aksi spontannya tersebut, entah itu efek dari bernostalgia atau yang lainnya, hanya saja ada perasaan rindu yang harus dia tuntaskan hanya dengan melihat wajah seseorang.

Dulu saat mereka masih bersama semua terasa sangat sempurna, meski itu sederhana asal dilakukan bersama akan ada kesan yang berbeda. Namun karena terlalu terbuai, Tetto juga jadi teramat sangat membenci gadis itu saat kenyataan tidak pernah bisa sejalan dengan harapan.

Tapi kini semua memori yang bertebaran membangkitkan sebuah kenangan lama yang selalu coba ia kubur dan pendam, rasa yang selalu coba dia buang di bagian paling dasar dalam hatinya. Namun seakan tak peduli seberapa lama rasa itu terpendam, kini tanpa bisa dicegah perasaan itu kembali terangkat ke permukaan. Sekali ini saja, Tetto ingin melupakan kenyataan yang ada dan ingin berpura-pura bila semua masih baik-baik saja. Hanya sekali saja ia ingin memeluk gadis itu dan menyampaikan segala kerinduan yang selama ini dipendam, tidak peduli sekalipun jika nanti Jenisa akan mendorongnya.

Namun Tetto yang sebelumnya sudah seperti orang kesetanan dalam mencari keberadaan Jenisa. Langkah yang semula tergesa kini mulai memlambat saat yang dicari sudah berada dalam jarak radar penglihatan sang pengacara bahkan tidak lagi melangkahkan kaki barang seinci saat melihat jelas di depan sana Jenisa dengan satu pria terlihat tengah bermesraan dengan saling menyuapi makanan.

Senyum yang sedari tadi terkembang kian surut kala lelaki yang bisa dipastikan blasteran dengan pakaian ala chef itu tengah menyuapi sang pemilik restoran. Seolah belum cukup memperpanas hatinya, dua orang itu kian menjadi dengan mempertontonkan adegan berpelukan. Posisi mereka yang sangat dekat hampir membuat kepala Tetto merasa mendidih berada dalam dapur yang terasa panas dengan pemandangan yang tidak pantas untuk dipertontonkan. Senyum kedua orang itu yang terkembang sempurna sukses membuat Tetto tertampar kenyataan, ia seolah kembali tersadarkan jika apa yang diinginkan hanya sebatas khayalan. Seharusnya sedari awal Tetto paham dan mengerti jika Jenisa hidup di dunia yang berbeda, setiap saat selalu ada saja lelaki yang menginginkan gadis itu. Seharusnya ia juga sadar jika dirinya tidak lebih hanya bagian dari kepingan masa lalu gadis itu, lelaki yang dicampakkan hanya untuk dimanfaatkan. Seharusnya Tetto bersyukur tidak sampai memeluk gadis itu mengikuti nalurinya untuk menyampaikan kerinduan, sehingga harga dirinya masih bisa terselamatkan. Memilih memutar tubuh, pria itu mulai melangkahkan kaki kembali untuk menjauh. Dia harus selalu mengingatkan diri sendiri jika kedekatan mereka selama ini bukan apa-apa, dan seharusnya Tetto tetap menjaga jarak di zona aman agar hatinya tetap baik-baik saja tanpa harus kembali mendapat luka.

"Loh, Pak. Anda dari mana?" suara Rendi yang bertanya sukses membuat Tetto kembali tersadar telah melamun.

Pengacara itu menggeleng pelan dan lebih memilih memperhatikan mejanya yang kini sudah terisi makanan yang sebelumnya di pesan. Tak lagi banyak bicara, Tetto memilih menyantap hidangannya dengan tenang tanpa bersuara. Namun ketenangan yang sebelumnya hanya diisi suara deting garpu dan sendok dengan piring harus berubah jadi huru-hara kala sebuah suara lantang menggema di seisi penjuru ruangan dalam restoran.

"Hallo, selamat siang semua..." Teriak seorang pria dari ambang pintu.

Seolah tidak terganggu oleh teriakan si pria, seluruh pegawai tetap melanjutkan aktivitasnya sementara para pelanggan hanya melirik singkat dan memilih tak peduli. Begitu pun dengan Tetto, Lina, dan Rendi yang hanya melirik tak berminat lalu kembali melanjutkan makan siang.

Di sana tepat di depan pintu masuk, seorang pria dengan penampilan lusuh dan rambut acak-acakan seperti tak berkeramas berhari-hari muncul dengan senyum lebarnya. Namun senyum itu berubah menjadi ringisan saat sebuah tangan menarik telinga pemuda itu kuat. Tetto yang semula sudah tidak berselera sedikit terhibur mendapat tontonan gratis di depannya, terlihat si wanita hamil yang sama tengah memarahi pemuda itu dengan nada geram.

"Yak, bocah. Lo apa-apaan sih. Teriak-teriak kayak di hutan, mana penampilan elo merusak pemandangan lagi." Gerutu Sri tidak habis pikir.

"Awawawaw... Mbak Sri udah dong, bisa copot kuping gue." keluh pemuda itu memelas. "Sakit tau gak?" lanjutnya menggerutu.

"Makanya jangan kayak orang gila. Lo gak sadar penampilan lo bikin orang sakit mata?" tambah Sri sambil bersedekap.

"Terserah gue dong, toh calon pacarnya gue sukanya yang jelek."

Di tempatnya Tetto hanya menggeleng miris merasa tidak habis pikir, sejak kapan pula selera seorang wanita pada lelaki menjadi serendah itu. Realitasnya tidak ada wanita yang mau pada pria berpenampilan di bawah standar rata-rata, bila pun ada hanya ada tiga kemungkinan untuk menjelaskan fenomena tersebut. Pertama gadis itu rabun, kedua gadis itu cuma menginginkan harta si pria, ketiga mungkin memang benar cinta yang mendasari hingga membuat seorang tidak memandang dari fisiknya. Tapi di era ini, ketulusan menjadi hal yang tabu. Melihat bagaimana pemuda di depannya berkoar-koar mengatakan hal tersebut membuat Tetto ingin menertawakan, setidaknya tontonan di depannya cukup ampuh menjadi mood booster bagi sang pengacara untuk tetap melanjutkan makan siang.

"Udah rabun tuh cewek. Mana ada selera cewek kayak begitu. Lo udah gila, ya?" Sri menggeleng dramatis.

"Ada kok."

"Mana? Sini gue siram tuh cewek pakai air ketuban biar sadar." tantang Sri.

"Nah itu, calon masa depannya Alif udah keluar." tunjuk pemuda itu pada satu pintu.

Sontak baik Sri juga Tetto yang sedari tadi diam-diam mengamati ikut menoleh pada arah yang ditunjuk. Sejujurnya sedari tadi pun Tetto sudah curiga saat pemuda itu mengatakan kalimat terakhirnya. Tepat seperti apa yang dipikirkan, di sana Jenisa yang masih mengenakan apron berdiri dengan tampang kebingungan. Tetto yang saat itu tengah mengunyah suapan yang baru masuk di mulutnya harus menelan bulat makanan itu hingga membuat sang pengacara harus tersedak, beruntung Lina dan Rendi yang cepat tanggap langsung menyodorkan gelas minum masing-masing untuk membantu sang atasan meredakan batuk yang dialami.

"Lo gak apa-apa?" tanya Lina sambil menepuk punggung Tetto.

Sementara itu mengabaikan kondisi sang pengacara, pria bernama Alif itu sudah kembali berjalan dengan antusias mendekat pada seorang gadis yang masih kebingungan di tempatnya berdiri.

"Teh Jenisa."

"A-alif? Kamu di sini?" tanya Jenisa heran. Tak memedulikan raut bingung yang gadis itu tunjukkan. Tanpa diduga Alif kembali melanjutkan kalimat yang bahkan belum selesai dikatakan.

"Teh Jenisa, nikah yuk?"

BYURRR......

DANGEROUS WOMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang