Mendengar ketidakkonsistenan dari apa yang dikatakan membuat pemuda yang awalnya hanya berbasa basi untuk membunuh kebisuan saat dia menggunakan ponsel orang lain tersebut hanya bisa mengerutkan alis heran, bagaimana bisa pria itu mengatakan hari Anniversary tidak berarti. Jika melihat perwatakannya yang lempeng dan datar tanpa banyak menunjukkan ekspresi berarti, membuat pemuda itu ragu bila pria yang menolongnya tersebut seorang seorang pemain wanita yang memiliki banyak kekasih hingga menganggap hari anniversary bukan hal istimewa untuk dikenang. Tapi yang lebih penting dari memikirkan semua itu ialah kondisi mobil saat ini, dari pada ikut mencampuri urusan orang asing yang tidak dikenal dan sudah berbaik hati memberikan bantuan.
"Terima kasih sudah mau bantu." Ungkap pemuda tersebut setelah mengembalikan telepon genggam kepada pemiliknya kembali.
"Sama-sama. Kalau begitu saya permisi duluan."
"Ehhh, Wait. Tunggu dulu. Itu, Emmm, ada yang lupa gue bilang." Sejenak terdiam setengah ragu untuk mengungkapkan maksud yang ingin disampaikan, menarik napas terlebih dulu coba dilakukan. "Bisa minta tolong satu hal lagi?" lanjutnya dengan nada pelan.
Untuk kedua kalinya, Tetto yang dimintai bantuan tidak bisa untuk menolak permintaan tersebut. Bila dipikirkan lagi bahkan saat ini dirinya tidak sedang dalam kondisi bisa menolong orang, di saat ia sudah memiliki janji dengan orang lain. Tapi jika mengingat betapa memelasnya pemuda itu meminta bantuan sukses membuat sang pengacara yang awalnya tidak peduli mulai merasa tidak nyaman saat mereka menjadi tontonan dari pengguna jalan. Namun agaknya ada satu hikmah yang bisa dipetik dimana lain kali dia benar-benar harus lebih selektif dalam menolong orang dan menggunakan hati nurani, nyatanya hanya ada penyesalan karena salah mengambil keputusan yang sedari tadi ia sesali selama sisa perjalanan.
"Wah, ternyata enak juga ya naik motor butut kayak gini."
Itu jelas penghinaan, bukan ucapan terima kasih atau sejenisnya yang seharusnya diungkapkan seseorang yang mendapat pertolongan. Ia yakin dalam KBBI pun kata 'butut' itu digunakan untuk menghina atau menjelek-jelekkan suatu barang, dan dalam konteks kalimat pemuda itu barusan yang menjadi objek penghinaan ialah motornya 'si Juki'. Bukan satu kali, tapi ini sudah yang ke sekian kali pemuda itu berceloteh -entah dalam kondisi sadar atau tidak- menghina orang yang telah memberikan bantuan, kata butut hanyalah satu dari sekian penghinaan yang pemuda itu ucapkan. Tetto yakin tidak mengalami salah pendengaran karena pemuda yang tengah meminta dibonceng olehnya itu mengatakannya dengan berteriak dengan keras jika tidak ingin suara yang dikeluarkan tenggelam oleh suara knalpot motor vespa dan angin jalanan.
Cukup memakan waktu untuk sang pengacara mengantarkan pemuda dan berakhir menurunkannya di persimpangan jalan karena tidak tahan lagi mendengarkan segala penghinaan yang diucapkan. Hingga tidak terasa langit sudah menggelap, bahkan saat melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sang pengacara sukses dibuat menahan napas saat melihat arah jarum jam hampir melewati waktu yang dijanjikan.
"Gue udah gila..." Tak lupa sang pengacara mendaratkan pukulan pelan pada kepalanya yang masih terpasang helm. Namun seakan sadar tak ada gunanya merutuki kebodohan dengan hanya diam tanpa mengambil tindakan, maka tanpa menunggu lama Tetto segera mengeluarkan ponsel dan menelepon satu nomor dari seseorang yang kemungkinan besar tengah menunggunya.
"Ha-Hallo? Hallo, Jenisa. Aku minta maaf buat keterlambatanku." Sesal pria itu tanpa menunggu gadis itu balas menyapa didetik pertama panggilan mereka terhubung. "Kamu, marah, kah?" lanjutnya bertanya dengan nada ragu.
"Kamu ma-?"
"Lima menit, aku mohon tunggu aku lima menit di sana. Oke? Tunggu, jangan ke mana-mana!"
Tak ingin membuang waktu lebih lama, Tetto dengan segera memacu motor antiknya untuk mencapai tempat tujuan. Setidaknya si Juki yang di bilang butut masih sanggup menyalip berbagai kendaraan lain, karena itu juga ia kembali teringat perihal penghinaan kata butut pada motornya. Pemuda tadi tidak tahu saja harga motor yang dikatai butut ini bisa melebih-lebihi harga kendaraan roda dua jaman sekarang. Setelah mengerahkan usaha maksimal, beruntung Tetto bisa mencapai tempat yang dituju tanpa mengalami hambatan dan selamat sampai tujuan. Meski tidak seperti apa yang dijanjikan saat ia meminta Jenisa untuk menunggu dalam rentan waktu lima menit gunag meyakinkan gadis itu, namun itu adalah usaha terbaik yang bisa dilakukan.
Dari tempatnya memarkirkan motor, Tetto bisa melihat gadis itu tengah berdiri kebosanan di pinggir trotoar. Namun terlepas dari kesalahan dan segala skenario permintaan maaf yang harus dia sampaikan, Tetto tidak bisa untuk menyangkal jika malam ini Jenisa terlihat sangat memukau.
Menarik napas panjang coba dilakukannya untuk mempersiapkan diri mendapatkan semprotan, entah itu untuk masalah manajemen waktunya yang buruk, atau perihal mengingkari janji. Namun belum selesai sang pengacara mempersiapkan diri, gadis itu sudah lebih dulu menemukannya di antara banyak orang yang berlalu-lalang.
"Hai?" sapa Jenisa lembut dari kejauhan dengan melambaikan tangan.
Entah bagaimana kondisi bentuk rambutnya yang sebelumnya ditata sedemikian rapi kini harus berantakan kembali, atau kemejanya yang mulai kusut setelah melakukan aktivitas seharian, hanya saja Tetto tidak lagi peduli. Saat gadis itu menyapanya, semua seolah menjadi lebih sederhana dan seakan semua baik-baik saja tidak seburuk seperti apa yang dipikirkan. Serangkaian kata maaf yang sudah dipersiapkan dan segala alasan klise yang biasanya berhasil digunakan oleh lelaki macam Dendi bahan sempat terlintas dalam kepala, hamun semua itu lenyap tidak bersisa dengan hanya berganti satu kata.
"Hai..." gumam Tetto tanpa sadar menyapa balik dengan sebelah tangan yang juga terangkat.
Saat Jenisa berjalan semakin mendekat di antara banyak orang lain yang juga tengah berjalan, Tetto merasa seperti ditarik ke masa lalu seakan mengalami de javu. Sama seperti saat ini, Tetto ingat sosoknya di masa lalu yang dulu masih berstatus sebagai mahasiswa tengah berdiri diam terpukau pada gadis yang sama di antara banyak pejalan yang diburu waktu.
"Aku sudah lapar, bisa kita pergi sekarang?"
Tidak sadar sudah melamun, Tetto hanya bisa mengerjap terkejut saat suara lembut itu kembali menyapanya dari dekat. "Hah? Ahh... Tentu."
Sebuah restoran ayam yang menjadi tujuan mereka, restoran bergaya keluarga yang tidak mewah tapi cukup ramai. Jika bukan karena alasan kupon gratis makan, maka Tetto akan memilih restoran yang sedikit lebih baik dari tempat riuh ini. Entah karena kebiasaannya yang selalu makan sendiri, atau ia sudah terlalu lama tidak berada di tempat ramai, yang jelas hal itu sedikit membuat sang pengacara merasa sedikit tidak nyaman.
"Kamu nggak masalah kita makan di sini?" tanya Tetto ragu.
Bukan tanpa alasan pria itu menanyai kebersediaan gadis di depannya, karena setidaknya jika gadis itu tak menyukai tempat ini maka mereka bisa pindah ke tempat lain yang lebih baik. Hal itu juga bertujuan sebagai alat propaganda untuk Tetto menghindar dalam mengakui jika dirinya merasa tak nyaman, bisa hancur harga dirinya jika mengakui hal tersebut. Namun harusnya Tetto ingat, Jenisa itu gadis yang berbeda dari kebanyakan gadis lain pada umumnya yang memiliki selera tidak biasa.
"Kenapa harus bermasalah?" balas gadis heran.
Harusnya Tetto ingat, bahkan di kencan pertama mereka dulu gadis itu tampak tidak keberatan saat harus dinner di warung pinggir jalan dengan sajian mie instan. Setelahnya hanya itu obrolan yang bisa Tetto usahakan karena mulutnya seolah terasa kelu untuk membuka pembicaraan bahkan hanya untuk sekedar basa-basi membahas perkiraan cuaca. Hingga kebisuan di meja mereka terpecahkan saat satu sosok lain datang menghampiri meja sepasang mantan kekasih tersebut.
"Permisi?"
"Ya?" Tetto menjadi orang pertama yang menyahuti.
Tepat saat menoleh ke belakang, pengacara itu spontan anjak berdiri melihat seorang wanita yang dikenal. Tidak, wanita yang mendatangi meja mereka bukan merupakan wanita anak dari kenalan Nyonya Tegar yang berniat dijodohkan dengannya di setiap pertemuan arisan lalu akan terjadi pertengkaran karena dirinya dituduh seorang buaya darat seperti di kebanyakan sinetron, karena itu jelas tidak terjadi. Raut keterkejutan di wajah sang pengacara bukan karena takut dirinya dipergoki dengan Jenisa, melainkan karena pertemuan yang tidak diduga di situasi yang tidak seharusnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
DANGEROUS WOMAN
RomanceBagi Tetto menjalani hidup dengan tenang dan menghindari masalah adalah pilihan, itu karena Tetto remaja dengan sukarela menjerumuskan diri dalam sebuah masalah tanpa peduli resiko yang bisa saja menimpa. Karena kenaifan-nya dulu yang mempercayai se...