63. Friend's (1)

11 2 0
                                    

Pagi di hari baru Jenisa melangkahkan kakinya mantap memasuki restoran Italia yang sudah lama dikelola. Sudah terhitung tiga hari gadis itu belum mengunjungi tempat usahanya tersebut dan tepat di hari keempat Jenisa membulatkan tekad sekalipun di tengah ruangan seorang bumil sudah bersedekap dengan tatapan garang layaknya preman yang menunggu korban. Bahkan bukan tidak mungkin bila sosoknya digambarkan dalam serial mangga sebagai salah satu karakter, sudah dipastikan akan ada listrik yang keluar dari kedua bola mata wanita tersebut.

"Apaan sih? Bumil jangan marah-marah. Inget lagi mengandung, kasihan sama bayinya!" tegur Jenisa memperingati.

"Serius elo mau nasihati gue?" tanya wanita tersebut tidak habis pikir. "Di sini yang bikin gue marah itu siapa, sih? HAH?"

Bahkan belum genap satu menit Jenisa menapakan kaki di dalam restoran Sri yang tengah mengandung menyemprotnya dengan nada tinggi membuat Jenisa shock di tempat. Diam dan meringis terlebih saat suara keras dari sahabatnya tersebut memasuki gendang telinga, hanya itu yang bisa dilakukan dengan kepala yang tak lupa menundukkan menatap ujung flat shoes yang dikenakan. Namun beberapa saat tak mendengar semburan kemarahan lanjutan membuat gadis itu jadi terheran sendiri, pasalnya dia tahu betul bagaimana watak seorang Sri Rahayu saat sedang marah. Wanita itu tak akan puas memuntahkan segala bentuk kekesalan yang dipendam sampai si objek kemarahan itu sendiri mengatakan mengerti dan menyesal karena telah melakukan kesalahan sampai membuat ibu hamil tersebut marah besar. Namun kali ini berbeda, Jenisa tak lagi mendengar suara Sri dengan nada tinggi seperti sebelumnya. Biasanya gadis itu akan berbicara layaknya MRT dengan kecepatan tinggi tanpa terbata-bata, dan tentu saja hal tersebut tidak akan selesai dalam waktu singkat, tidak seperti saat ini.

Satu hal lagi yang makin membuat Jenisa heran, ialah setelah jeda dari kalimat pertama bernada tinggi yang dilontarkan Sri yang tak kunjung keluar kembali. Kini suara isak yang memilukan semakin membuat Jenisa dilanda rasa heran, karena penasaran alhasil gadis dengan surai bergelombang tersebut mencoba mengangkat kepalanya ragu dan mendapati Sri yang tengah menangis pilu.

Awalnya Jenisa bingung akan alasan mengapa sahabatnya sampai berderai air mata seolah tengah menonton drama telenovela . Apa karena kehadirannya di sini yang membuat wanita hamil itu sampai menangis, hanya saja bila benar itu penyebabnya mungkin akan lebih masuk akal jika di situasi ini Sri mengamuk seperti penagih utang dan melakukan berbagai upaya dalam rangka mengusirnya dari pada menangis seperti orang kerasukan. Namun saat ditelaah lebih lanjut, Jenisa rasa tidak ada hal yang menyedihkan atau bawang di dekat mereka hingga bisa menjadi pemicu ibu hamil tersebut menitikkan air mata.

Masih dengan kebingungan Jenisa mencoba menghampiri sang sahabat guna menenangkan wanita tersebut meski awalnya Sri menolak untuk didekati. Setelah berhasil mengikis jarak dan meminta untuk tenang, barulah beberapa pertanyaan mulai disampaikan mengenai alasan dari tangis sang sahabat.

"Lo kenapa sih pakai acara nangis segala?" tanya Jenisa pelan.

"Ya gara-gara elo gak denger nasihat gue... Hikss. Kenapa sih...... hiks...... hiks...... susah banget dikasih tahu padahal cuma diminta cuti doang." balas Sri diselingi isak tangis.

Jujur saja mendengar alasan itu membuat Jenisa ingin bermeditasi guna memperpanjang kesabaran, pasalnya hanya karena kehadirannya yang menolak permintaan mengambil cuti dalam mengurus restoran -yang mana di sana tidak ada unsur menyedihkan- membuat seseorang sampai bisa menitikkan air mata. Namun meski kesal setengah mati, Jenisa mencoba tetap menenangkan baik diri sendiri agar tidak ikut terbawa emosi dan membuat semua semakin menjadi-jadi, atau sahabatnya yang masih menyisakan isak tangis yang masih terdengar.

"Lo kan selama ini kelola resto sendirian. Terus gue, gue...... gue cuma. Huaaaa..."

Lagi, Jenisa harus menahan diri karena kalimat yang disampaikan Sri tak kunjung diselesaikan dan berganti lagi dengan isak tangis yang semakin menjadi. Meski Jenisa tahu wanita hamil itu mungkin merasa bertanggung jawab juga pada usaha yang mereka rintis bersama namun tidak perlu sampai merasa tidak enak hati karena tidak ikut langsung dalam mengelola bisnis mereka selama ini.

"Iya-iya. Gue paham. Udah ya nangisnya."

Beruntung saat itu tanda di pintu restoran masih bertuliskan closed, para karyawan yang ada juga sibuk dengan pekerjaan dalam mempersiapkan pembukaan restoran. Bagi mereka, adegan Jenisa dan Sri di mana keduanya dikenal sebagai owner juga sahabat baik bukan menjadi hal baru lagi. Karena itu para karyawan tidak terlalu menghiraukan drama dari duang orang sahabat karib tersebut, terlebih di sini salah satu bos mereka sedang mengandung yang otomatis tingkahnya pasti akan luar biasa di luar nalar. Karena bukan untuk pertama kali wanita hamil itu melakukan aksi anehnya, melainkan sudah beberapa kali terhitung sejak Sri yang mengambil alih kendali restoran.

"Ya udah kita duduk, yuk." Ajak Jenisa sambil menuntun kawannya.

Setelah duduk pun Sri masih tetap menangis pilu, bahkan saat ini wanita hamil itu lebih mendramatisi perannya dengan menarik keluar lendir dari hidung menggunakan tisu yang Jenisa berikan.

"Udah dong, jangan nagis terus. Biasanya juga elo lebih suka marah-marah dari pada nangis."

"Gue tuh gak tega sama lo, Jen. Selama ini lo yang urus restoran kita sendirian."

Mendengar kembali alasan yang sama membuat gadis itu hanya bisa menghela napasmerasa jengah. Di situasi seperti ini entah kenapa Jenisa sedikit merindukan watak seorang Sri yang normal dan tidak dipengaruhi hormon kehamilan, sekalipun dia harus menguatkan diri menghadapi amukan wanita itu. Hanya saja Jenisa pikir itu lebih baik untuk dialami dari pada membuat wanita itu tenang yang justru ikut menguras emosinya sendiri.

"Sementara gue cuma asyik mesra-mesraan sama Maulana, sampai gak sadar sudah bunting. Gue baru sadar selama ini gue kejam membiarkan elo kerja terus tanpa mikir kisah asmara sendiri. Gara-gara gue, elo gak pernah punya pacar lagi."

Salah satu hal yang paling menyebalkan bagi seorang Jenisa adalah meladeni lelaki yang selalu meliriknya, dimana bisa dipastikan isi kepala mereka tak jauh dari hal mesum. Namun mendengar kemesuman itu dilontarkan oleh kawannya sendiri secara terang-terangan jauh membuat Jenisa lebih risi. Dia sadar Sri mungkin sudah mengalaminya, hanya saja eentah apa maksud dari kata 'Asyik mesra-mesraan sama Maulana sampai gak sadar sudah bunting'. Apa ibu hamil itu hendak memanas-manasinya? Jenisa juga tidak munafik jika pembahasan seperti itu terjadi karena ia sadar dirinya juga seorang wanita dewasa, hanya saja mendengar kefrontalan Sri secara gamblang memamerkan kemesraan dengan Maulana yang menghasilkan seorang janin membuat Jenisa kesal setengah mati. Di tambah kalimat 'gara-gara gue, elo gak pernah punya pacar lagi.' Jenisa ingin tertawa mendengarnya bila dia tidak sadar satu orang lain di meja yang sama bisa tersinggung dan mengeraskan kembali tangisannya yang kini mulai berhenti. Maaf saja tapi di pinggir jalan cukup banyak lelaki yang rela dijadikan sebagai pasangannya.

"Udah Sri gak usah bahas itu lagi. Lagian elo tahu gue itu siapa? Masalah begituan gue masih belum tertarik."

"Tapi kalo lo juga gak bisa nyusul buat hamil. Nanti kita gak jadi besan. Huhu....."

Drama apa pula ini tuhan.

Ingin rasanya Jenisa ingin mengais tanah saat itu juga, bahkan butuh beberapa saat untuknya berpikir dan sukses dibuat tidak bisa berkata-kata akan ucapan tidak masuk akal Sri tentang besan. Namun bersyukur dia tak sampai harus melakukannya karena kehadiran Arin yang datang di saat yang tepat. Mungkin lain kali Jenisa harus mentraktir temannya yang satu itu karena dengan kehadiran Arin otomatis dirinya bisa terbebas dari ucapan ngawur seorang wanita berbadan dua yang emosinya terus-memerus berubah karena hormon kehamilan.

DANGEROUS WOMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang