9. Dia (Last)

101 17 0
                                        

Entah apa yang dia pikirkan hingga seorang owner harus mengurusi pekerjaan karyawan, tapi jika mempertimbangkan apa yang bisa dilakukan pria tersebut lakukan membuat Jenisa mau tak mau harus mengalah. Namun seakan Tuhan tengah menguji tingkat kesabarannya, pria yang ditanyai hanya diam tanpa menyebutkan pesanan dan hanya duduk dengan tangan terlipat.

"Kamu mau berdiri terus? Apa kita harus bicara sambil berdiri?" sindir pria itu dengan nada sinis.

Jenisa yang tidak mau ambil pusing kembali memilih mengalah, di dudukinya satu kursi yang tepat menghadap langsung pada sang tersangka. "Tetto, kalau kamu mau main-main, di sini bukan tempatnya. Lebih baik kamu pergi secara sukarela dari pada aku usir."

Berbeda dengan yang Jenisa bayangkan di mana bisa saja Tetto tersinggung setelah mendengar pengusiran yang dia tunjukkan secara terang-terangan, nyatanya pria itu tidak banyak bereaksi dengan tetap diam sementara matanya menyorot tajam dan bibirnya tersenyum miring seolah meremehkan.

"Jadi begini pelayanan di restoran ini?" Tak kurang, decakan tak suka keluar dari mulutnya. "Aku bisa saja loh complain dan hancurkan reputasi restoran kamu sekarang." Lanjutnya mengancam.

"Dan kenapa aku harus percaya kamu mau melakukannya"

Tetto sukses dibuat bungkam. Pria itu benar-benar kehabisan alasan dan tidak bisa untuk menjawab. Sulit untuk diakui tapi kenyataannya itu benar, dia tidak punya alasan untuk merealisasikan ancamannya pada gadis itu. Tetto sendiri ragu apakah dirinya bisa melakukan hal tersebut. Karena merasa tersudut, pemuda itu lebih memilih mengalihkan pembicaraan.

"Aku lapar."

"Terus apa peduliku."

Tetto yang mendapat nada ketus menarik nafas mencoba untuk bersabar, kenapa sesulit itu memulai pembicaraan yang baik. "Aku yakin kamu enggak sebodoh itu, Jenisa."

Kurang ajar itu mulut. Umpat Jenisa dalam hati.

"Kira-kira apa makanan yang enak buat sarapan?" lanjutnya.

Sang pemilik restoran melotot mendengar pertanyaan tersebut, sungguh tidak bermutu. Kabar baiknya Tetto memang tidak datang mengajaknya untuk mengibarkan bendera perang, tidak seperti kerisauan-nya yang terus Jenisa pikirkan semalam. Mungkin memang sikap Tetto yang pemaaf masih tidak berubah, dan kehadirannya saat ini mungkin hanya untuk menjalin tali pertemanan. Jenisa memilih bangkit berdiri meninggalkan pemuda itu dengan raut bingung tanpa mengatakan sepatah kata.

"Kamu mau ke mana? Aku belum selesai loh, aku bahkan belum pesan. Aku enggak bakal pergi sebelum mendapat pelayanan, ingat!" teriak Tetto menggema di seisi ruangan yang pasti di dengar para karyawan.

Jenisa sejenak kembali membalikkan badan dengan mata memicing tajam, jari telunjuk dan tengahnya terjulur membentuk huruf 'V' lalu menunjuk dengan kedua jari tersebut pada masing-masing bola matanya kemudian mengarahkan jari yang sama pada sepasang mata pria yang masih setia duduk di tempatnya. Tak kurang mulutnya terkatup rapat dengan jari menirukan gerakan menutup sebuah resleting.

Tetto hanya melotot tidak percaya saat Jenisa menggunakan bahasa isyarat padanya. Meski tidak begitu paham, pria berpenampilan necis itu tetap saja mengangguk patuh. Entah ke mana Jenisa menghilang, sang pengacara terus berdiam dan hanya menunggu dengan kesendirian. Kurang lebih lima belas menit waktu berlalu, selama itu pula restoran mulai terisi oleh para pelanggan yang satu persatu mulai berdatangan. Meski banyak dari pengunjung juga pegawai melirik pada kehadirannya penasaran, Tetto memilih tidak mau peduli dengan menolehkan mata ke luar dinding kaca. Tangannya tak berhenti mengetuk meja menciptakan irama sederhana dengan mulut yang menggumamkan lirik sebuah lagu dengan suara pelan.

Hingga sesaat kemudian Jenisa kembali datang dan sukses mengalihkan perhatian Tetto yang semula terfokus pada jalanan luar saat suara benda yang ditaruh di atas meja terdengar. Matanya mendapati Jenisa dengan apron yang melilit pinggangnya plus rambut tergulung ke atas memperlihatkan leher jenjang si gadis. Melihat itu Tetto dibuat sedikit tertegun melihat kembali keindahan paras seorang Jenisa yang memang terlalu sulit untuk diabaikan, namun sebisa mungkin sang pengacara berusaha menguasai diri dengan mengalihkan mata pada sembarang arah. Jujur hatinya sedikit terguncang dan tidak tenang, bukannya merasa lebih baik setelah menghindar untuk melihat seorang Jenisa, justru Tetto mendapati kenyataan menyebalkan yang membuat hatinya makin memburu saat mendapati mendapati banyak pasang mata dari pengunjung lelaki yang juga menatap tidak berkedip pada sosok seorang Jenisa.

What the hell are they looking at.

"Bisa aku minta ruang khusus." tanya Tetto pelan.

"Maksudnya?"

"VIP room, atau ruangan kamu mungkin"

Jenisa menautkan alisnya heran mendengar permintaan yang menurutnya tidak masuk akal tersebut. Kenapa pula ruangannya harus digunakan sebagai tempat santap sarapan. Hello, who are you? Pejabat? Menteri? Seenak jidat hendak menginvasi ruangannya sembarangan.

"Enggak ada, maaf saja seharusnya kamu sarapan di restoran mahal untuk mendapat pelayanan dan ruangan khusus untuk makan. Satu hal lagi, ruanganku itu juga ruangan privasi, jadi jangan seenak jidat mau dipakai sembarangan."

Mendapati penolakan Jenisa Tetto hanya bisa menarik napas pelan, seharusnya dia sadar posisinya dan tidak meminta sebuah permintaan lancang dengan menggunakan properti orang sembarangan. Bahkan jika bukan karena profesionalitas, bukan tidak mungkin Jenisa bisa mengusirnya, terlebih gadis itu melihat dia sebagai pelanggan yang tidak di harapkan. Meski begitu, Tetto juga tidak bisa menutup mata dan mengabaikan gemuruh di hatinya yang tak kunjung mereda saat menyadari masih banyak pasang mata dengan lancang mencuri lihat keindahan dari seorang Jenisa. Maka dengan bermodal kenekatan, pemuda tersebut mengulurkan sebelah lengan guna mengambil barang sialan yang mempertontonkan kecantikan seorang Jenisa di depan banyak orang.

"Kalau begitu aku sita ini buat sementara."

Dengan sengaja Tetto menarik lepas ikat rambut yang di kenakan Jenisa, membuat rambut sang pemilik langsung tergerai dengan tak kalah indahnya. Untuk kedua kalinya Tetto dibuat terpana, namun hanya sesaat karena pemuda itu langsung memejamkan mata seolah apa yang dilihat merupakan sesuatu hal yang berbahaya. Itu tidak sepenuhnya salah, paras Jenisa merupakan sebuah ancaman yang membuat kedamaian hatinya terus-terusan terusik tanpa alasan. Kenapa juga Jenisa selalu terlihat cantik bahkan dengan penampilan seperti apa pun.

"Nasi goreng?" Tanya pemuda itu beralih pada makanan di atas piring yang tersaji di atas meja. "Perasaan ini restoran pasta, ternyata ada nasi goreng juga."

Menghela napas pelan, Jenisa mencoba memperpanjang kesabaran mendengar komentar yang Tetto berikan. "Pertama itu omurice, tapi terserah kalau mau bilang nasi goreng doang. Kedua, restoran-ku masih menyajikan makanan Italian tapi kebetulan saja lagi ada nasi sisa." Balas Jenisa sekenanya.

"K-kamu... kamu kasih aku makan nasi sisa?"

"Nasi goreng kan memang gitu. Intinya terserah mau di makan atau enggak, karena it..."

"Aku akan makan." Balas Tetto yakin, lalu sejenak terdiam. "Apapun hasil masakan yang dibuat dengan usaha dan susah payah, aku pasti akan tetap makan." Meskipun telah mengambil keputusan spontan, nyatanya Tetto tidak menyesal karena mencicipi masakan hasil tangan seorang Jenisa. Dari awal gadis itu memang berbakat dalam hal memasak.

"Ini... enak."

"Ya?"

Jenisa tak yakin apa yang di dengar dari mulut seorang Tetto, karena itu ia bertanya ulang. Namun gadis itu tak perlu mendapat sebuah jawaban verbal saat melihat sendiri dengan lahapnya Tetto memakan hasil masakannya. Bukan sombong, Jenisa tahu ia pandai memasak, tapi melihat Tetto yang tengah makan seolah orang yang sudah kelaparan berhari-hari membuat Jenisa terkagum sendiri.

Apa benar seenak itu?

DANGEROUS WOMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang