Masa lalu...
Semenjak berkunjung untuk mencari sebuah jawaban dari maksud kalimat pujian yang Jenisa berikan, Tetto jadi lebih sering berkunjung ke perpustakaan. Meski sudah banyak buku yang Tetto jajal dari mulai filsafat, ensiklopedia, KBBI hingga filosofi pemuda berkacamata itu masih belum menemukan jawaban yang pasti, karena itu sudah sedari sebulan yang lalu ia memutuskan untuk menyerah mencari jawaban. Namun kali ini kedatangan Tetto ke perpustakaan bukan untuk memecahkan teka-teki dari kalimat Jenisa, melainkan menyelesaikan tugas mengenai analisis sebuah kasus pidana yang diberikan dosen-nya. Tetto tengah fokus menekuni setiap kata dibuku Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau yang lebih umum dikenal dengan KUHP, kitab yang ketebalannya mungkin bisa mencerdaskan para narapidana. Suasana perpustakaan yang hening cukup mendukung dalam sesi belajar yang tengah dilakukan. Namun semua buyar saat sebuah suara decitan pintu begitu membuatnya penasaran, ditambah suara keras lain yang menyusul setelahnya.
"Tetto!" seru seseorang yang baru datang.
Di sana Dendi datang dengan wajah tanpa rasa bersalah, mengabaikan fakta bila suaranya yang menggelegar sukses membangunkan para singa perpustakaan yang tengah hanyut dalam kesunyian. Sadar mendapat tatapan mengancam dari setiap orang membuat Dendi meringis sendiri dan meminta maaf dengan menangkup kedua tangan. Sementara itu dibalik buku yang tengah dibaca, Tetto sebisa mungkin mencoba menyembunyikan wajahnya dari radar pemuda itu dalam mengenalinya. Ada rasa malu yang menjalar untuk mengakui jika orang sembrono yang tidak punya sopan-santun saat ditempat sakral seperti perpustakaan tersebut membuat Tetto berharap dia bisa menghilang. Namun tindakannya menyembunyikan diri sia-sia semata, karena tidak lama kemudian Dendi tetap datang dengan senyum pasta gigi andalan.
"Hoi, kenapa pakai tutup muka segala."
"Shttttt..... Inii perpustakaan. Jangan berisik!" tegur Tetto dengan suara pelan.
Dendi memilih abai akan peringatan sang teman meski mulutnya ikut terkatup setelahnya. Tapi bukannya ikut seperti pengunjung lain yang sibuk membaca buku, Dendi hanya tersenyum-senyum sendiri layaknya orang gila. Meski begitu, Tetto tidak mau ambil pusing dengan bertanya penasaran mengenai hal apa yang membuat pemuda itu tersenyum seperti orang kesurupan, lebih baik dia kembali menekuni bukunya. Namun hal tersebut percuma untuk dilakukan, karena meski Tetto memilih abai tetap saja Dendi yang terlihat sangat bahagia itu seolah tak tahan untuk memamerkan kebahagiaannya.
"Lo enggak mau tanya gue kenapa?"
"Hmmm......" respons Tetto datar.
"Jangan begitu, dong. Coba tanya?"
"Den, ini perpustakaan. Jangan berisik, bisa?" tanya Tetto berharap dengan nada lelah sambil menghela napas pelan. Namun saat melihat Dendi yang menyipitkan mata, dia tahu jika ini tidak akan berakhir dengan mudah. Jangan harap pria di depannya akan berdiam diri sebelum Tetto menanyakan apa gerangan penyebab pria itu terlihat bahagia. "Oke, kamu kenapa?"
"Gue ke pilih jadi ketua angkatan coba. Keren nggak?" tanya Dendi bangga. "Apa karena gue tampan ya makanya dipilih jadi perwakilan angkatan?" gumam pemuda itu sendiri.
"Weh, selamat ya." Balas Tetto datar. Hal itu mengundang decakan tak suka dari mulut sang kawan.
"Kok responsnya begitu doang sih."
"Yah terus yang kamu harapkan itu kayak gimana?"
"Terkejut, kek. Atau apa, kek, jangan kayak orang yang nggak peduli lah."
Meski pada kenyataannya Tetto memang tidak peduli, dia tahu Dendi tidak akan selesai bila permintaannya belum terpenuhi. Maka dari itu sebisa mungkin Tetto menebalkan wajah untuk memakai topeng raut bahagia mendengar berita sang kawan meski tugas yang kini tengah dikerjakan harus tertunda.
"Omong-omong elo masih aja nongkrong di perpustakaan, mana cewek yang bilang Tetto Tegar Sebastian cowok manis? Sini bilang, gue mau tahu." Tanya Dendi penasaran.
Bukan hal baru lagi bila Tetto mengunjungi perpustakaan, seolah tempat tersebut sudah menjadi kost-an kedua yang sangat nyaman bagi pemuda itu bersemayam. Namun frekuensi kunjungan Tetto ke perpustakaan meningkat dimulai sejak pemuda itu bertanya arti sebuah pujian yang seorang gadis berikan, saat itu Aji dan Dendi yakin bila kawannya tengah dilanda kasmaran sehingga sering berkunjung ke perpustakaan. Hanya saja sampai sekarang Aji dan Dendi yang memilih tidak ikut campur dalam urusan asmara seorang Tetto belum mendapatkan kabar bila sang kawan telah membuat sebuah kemajuan dengan mengubah statusnya menjadi sudah memiliki pasangan. Bahkan semakin ke sini Aji dan Dendi jadi meragukan teori mereka bila Tetto yang lebih sering mengunjungi perpustakaan hanya alasan untuk bertemu seorang perempuan, karena sampai sekarang baik Dendi dan Aji bahkan masih belum mengetahui identitas gadis misterius yang memuji kawannya.
"Cewek apaan sih." Elak Tetto memilih menghindar.
"Jangan bilang selama ini cewek yang puji elo manis itu cuma khayalan? Jadi dia cuma cewek fiktif doang?"
Menyadari bila Tetto bahkan tidak berniat menyangkal membuat Dendi dilanda rasa syok hebat terlebih sikap terdiam sang kawan membuat Dendi semakin yakin bila Tetto memang tidak bisa menyangkal karena apa yang dia katakan memang benar.
"Terserah kamu mau bilang apa." Meski Tetto merasa geram dengan tuduhan Dendi dang mengatakan bila Jenisa yang memberinya sebuah pujian dianggap hanya seorang wanita fiktif, ia lebih memilih diam dan tidak ingin banyak berkomentar.
"Tetto kalau elo se-kesepian ini sampai berkhayal dapat pujian dan buat gue sama Aji berpikir elo punya gebetan, harusnya elo bilang sama gue, To. Biar gue kenalkan sama para mantan pacar gue buat elo PDKT."
"Maksudnya?"
"Elo mau punya pacar, kan? Karena udah lama bersolo karir jadi pria lajang yang nggak punya pasangan."
Saat itu Tetto benar-benar dibuat kehabisan kata-kata hanya untuk menghadapi Dendi sorang. Mungkin memang benar dia tidak memiliki pasangan, namun Tetto juga tidak se-putus asa itu hanya karena tidak memiliki pacar. Namun tanpa mereka berdua sadari karena telah terlalu larut dalam perbincangan, sudah terdapat satu orang lain yang sudah berdiri tepat di belakang dan menyaksikan perdebatan tersebut.
"Kalian berdua!" tegur orang ketiga menyela pembicaraan.
Seketika keduanya dibuat terdiam. Hawa dingin yang terasa mulai mencekam membuat -baik Tetto maupun Dendi- tidak berani untuk menoleh karena sadar betul siapa sosok dibalik suara berat tersebut. Meski begitu mereka juga tahu jika tidak menoleh sekalipun bukannya selamat yang akan di dapat, justru neraka yang menunggu akan semakin mendekat. Alhasil dengan sangat terpaksa keduanya serempak menolehkan kepala, seakan persendian putar di leher mereka seperti baut yang karatan keduanya dibuat kesulitan untuk menolehkan kepala ke belakang. Di sana Pak Ari sudah berdiri dengan tangan terlipat dengan mata di balik kacamatanya yang melorot menunjukkan sorot tajam. Tetto hanya bisa menundukkan kepala merasa malu atas kesalahan yang dia lakukan. Sementara Dendi sendiri, pria itu dalam kondisi yang tidak jauh berbeda dengan berusaha menampilkan kembali senyum pasta gigi andalan yang dimiliki sebaik mungkin, berharap kelakuannya bisa dimaklumi dan dimaafkan. Namun salah besar jika Dendi berpikir senyum andalan pemuda berinisial 'D' tersebut mampu meluluhkan seorang Pak Ari yang terkenal kejam untuk menindak pelanggar. Nyatanya Pak Ari yang tengah berdiri tersenyum tidak sedang menunjukkan sikap beramah-tamah, Tetto dapat melihat itu dari ekor matanya yang mencoba mengintip. Karena bukan rasa lega yang dirasakan keduanya saat melihat senyum pria paruh baya tersebut, melainkan perasaan merinding dan was-was menantikan apa yang akan pria paruh baya itu perbuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANGEROUS WOMAN
Roman d'amourBagi Tetto menjalani hidup dengan tenang dan menghindari masalah adalah pilihan, itu karena Tetto remaja dengan sukarela menjerumuskan diri dalam sebuah masalah tanpa peduli resiko yang bisa saja menimpa. Karena kenaifan-nya dulu yang mempercayai se...