26. All About Business (Last)

24 8 0
                                    

"Aku akan melakukan perawatan berjalan, titik nggak ada bantahan. Berhubung akan melakukan perawatan di rumah, jadi kamu yang akan bertanggung jawab merawatku dan menggantikan rumah sakit memberiku makan."

"HAH?" pekik Jenisa tak kuasa untuk tak terkejut mendengar penuturan pria itu. "Kenapa pula harus begitu."

"Shttt... Sekarang giliran kamu yang diam, aku bahkan belum selesai." balas Tetto balik menyerang. Sementara di tempatnya, Jenisa mencoba sekuat mungkin menahan diri dengan tidak mengeluarkan segala kalimat protes yang siap dia keluarkan.

"Aku mau kamu melakukan itu selama satu bulan."

BRAKKK...

Tak kurang gebrakan yang sengaja ditimbulkan tersebut juga diiringi pelototan tajam seolah Jenisa yang sudah menjelma menjadi iblis yang siap mengamuk kapan saja. Jika sebelumnya gadis itu masih bisa menahan segala kalimat negosiasinya karena bagaimanapun hal tersebut akan lebih menguntungkan, namun pemikiran tersebut sudah berubah satu menit kemudian karena hal yang sama tidak lagi berlaku setelah Jenisa mendengar permintaan pria itu yang terdengar tidak masuk akal. Mungkin hanya umpatan dan keinginan untuk melakukan kekerasan yang kini tersisa di pikiran seorang Jenisa yang tidak lagi berpikir panjang dan menyertakan logika.

"Yang benar saja, kamu berniat menjadikan aku budak selama satu bulan?"

"Terserah mau bilang apa. Itu pilihan kamu kalau kamu masih mau memilih jalur kekeluargaan, aku nggak akan memaksa." Ucap Tetto ringan dengan senyumnya yang terlihat menyebalkan. "Seperti yang kamu bilang Jenisa, sebaiknya kita pisahkan masalah pribadi dengan profesionalitas. Anggap saja semua ini sebagai bisnis, jadi seharusnya enggak alasan buat kamu menolak, kan?"

Jenisa tahu betul jika dia menyetujui kesepakatan tersebut maka sama saja dengan membiarkan dirinya untuk masuk ke sarang iblis secara sukarela. Tapi jika mempertimbangkan kebebasannya yang terenggut karena masuk penjara, sepertinya itu merupakan bayaran yang sepadan. Untuk sesaat Jenisa dibuat dilema karena dari dua pilihan yang ada, kedua-duanya tidak memberikan jalan keluar yang lebih baik.

"Boleh aku mengatakan sesuatu."

"Tentu saja."

"Damn you, Tetto."

Setelah mengucapkannya, Jenisa berbalik badan lalu berjalan meninggalkan Tetto yang hanya bisa cengo dengan wajah melongo tak percaya. Persetanan dengan sopan santun dan segala penawaran karena jawaban yang dicapai diakhir kesimpulan setelah melalui pertimbangan, Jenisa lebih baik sengsara di dalam penjara dari pada jadi pesuruh seorang Tetto selama satu bulan.

"Iya, Pak. Saya mau melaporkan kasus percobaan pembunuhan ...." Jenisa yang memang belum keluar dari ruangan tersebut menghentikan langkah. Gadis itu tepaku sejenak dengan mencoba menajamkan indra pendengaran.

"Iya, saya minta tolong buat dibawa ke meja hijau juga buruknya management restoran sampai hampir membuat seseorang kehilangan nyawa. Kalau perlu kita juga tuntun restoran tersebut agar tidak lagi..."

Satu hal yang dipikirkan gadis berjulukan Dangerous Woman itu saat ini ialah bukan lagi penjara dan kebebasannya, melainkan bagaimana nasib bisnis yang dijalankan dengan banyak orang yang bergantung di dalamnya. Mungkin bila hanya menyangkut dirinya, Jenisa bisa tetap tegas menolak merendahkan harga diri di depan seorang pengacara gila. Namun bila kontes ancaman yang Tetto tebar sudah menyangkut-pautkan restoran-nya, Jenisa tidak lagi peduli bahkan jika harga dirinya harus dia hilangkan. Karena tanpa berpikir lama gadis itu sudah memutar badan dan dengan sigap merebut rebut ponsel yang tengah Tetto gunakan untuk berkomunikasi, tak lupa gadis itu juga mematikan sambungan komunikasi yang masih terhubung secara sepihak.

"Ahahaha... T-Tetto, soal apa yang aku bilang tadi, bisa kamu melupakannya?"

Malu untuk mengakui tapi Jenisa bahkan baru saja menjilat ludahnya sendiri. Tak lupa senyum marketing andalan dia tunjukkan untuk memikat lawan bicaranya -karena biasanya ini berhasil untuk memikat pelanggan- entah berhasil untuk kasus yang sekarang atau tidak, yang terpenting harus tetap dicoba.

"Negosiasi tadi. Ahhh... bukan, maksudnya penawaran yang tadi masih berlaku, kan?" pinta Jenisa yang tanpa sadar sudah menggenggam erat ponsel milik Tetto dengan kedua tangannya yang tertangkup memohon, berharap cemas menunggu reaksi pria di depannya.

"Kenapa pula itu masih berlaku. Aku pikir kamu bahkan nggak punya hati nurani untuk sekedar membayar ganti rugi pada korban dengan cara merawat orang sakit yang hendak kamu bunuh."

Rasanya seperti ditusuk pedang tak kasat mata, kini Jenisa paham arti dari kata-kata bisa lebih menyakitkan dari pada sayatan pisau. Sayangnya dia tidak bisa untuk mengelak, bahkan beberapa detik lalu dirinya dengan kesadaran penuh sempat mengumpati pria itu tanpa berpikir panjang, belum lagi ditambah dengan sumpah serapahnya dalam hati. Tetto benar soal dirinya memang benar-benar gadis yang tak punya hati nurani.

"Aku minta maaf soal itu, tadi itu cuma khilaf. Kamu tahu kan kadang manusia suka bertindak tanpa berpikir panjang saat terkejut."

Melihat hal tersebut sang pasien yang tengah duduk di ranjang rawat melipat kedua tangan di bawah dada layaknya seorang juri yang hendak memastikan kelayakan kontestannya. Tentu saja hal itu membuat Jenisa takut sendiri menunggu respons Tetto yang tidak bisa ditebak jalan pikirannya.

"Fine. Sekarang bisa kembalikan ponselku?"

Jujur saja Jenisa tidak bisa untuk menahan diri seolah keputusan Tetto ialah anugerah yang diberikan tuhan -meski nyatanya tidak demikian- tapi setidaknya untuk kali ini dia dan restoran-nya bisa selamat. Ia harus menarik kembali kalimatnya jika di penjara masih lebih baik dari pada menjadi pesuruh Tetto, dan tentu saja pernyataan itu berlaku jika Tetto tidak menyiksanya. Tetto tak akan menyiksanya, kan?

"Terimakasih." Setelah mengatakannya gadis itu langsung pergi dari ruangan tersebut dengan menghembuskan napas lega, meninggalkan Tetto yang hanya bisa menggelengkan kepala merasa takjub akan tingkah mantan di masa lalunya tersebut.

Bahkan Tetto tetap mengatakan jika gadis itu mantannya meski telah dicampakkan dengan cara yang kejam, bagaimanapun Jenisa pernah menjadi bagian yang berarti dalam hidupnya dan melihat bagaimana gadis itu tampak bahagia karena keputusannya -sekalipun itu hanya untuk terhindar dari ancaman- membuat senyum tipis terukir dari sudut bibirnya. Sejujurnya Tetto hanya sengaja ingin mempermainkan gadis itu agar dapat berbincang lebih lama, sebelum gadis itu kembali pergi meninggalkannya sendirian dan kesepian kembali menerkamnya. Amarah, kekesalan, makian, umpatan, itu masih lebih baik untuk Tetto terima dari seorang Jenisa, dari pada harus menghadapi rasa sepi lagi seorang diri.

Seperginya gadis itu dari ruang rawat-nya, Tetto kembali menghubungi sosok yang sempat berbincang dengannya sebelum Jenisa merenggut ponselnya secara paksa. "Halo Den, maaf soal tadi, itu cuma bercanda."

"Lagi di rumah sakit, tapi udah gak apa-apa. Besok juga udah pulang."

"Udah, ya, bye...."

Mematikan sambungan telepon sepihak sudah sering dia lakukan, terlebih saat Dendi -teman kuliahnya itu- hendak memulai aksi khotbah yang belum pasti kapan selesainya. Bahkan pria itu lebih sering menjelma jadi sosok Nyonya Tegar jadi-jadian untuk meneror Tetto perihal jodoh yang tak kunjung datang, atau memang sebenarnya Dendi kaki tangan nyonya Tegar dan berkoalisi dengan ibunya untuk mengganggu kedamaian hidupnya.

DANGEROUS WOMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang